Bila Pembangkit Batubara di Jabodetabek Bertambah, Berikut Ini Kandungan Udara Bakal Kamu Hirup…

 

 

Jakarta akan menjadi ibukota negara yang di kelilingi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara baru terbanyak di dunia, dalam radius 100 kilometer dibandingkan ibukota lain. Kesimpulan ini menjadi temuan utama laporan Greenpeace Indonesia terbaru diluncurkan minggu lalu.

“Kondisi polusi udara di Jakarta sangat memprihatinkan dan dapat diindikasikan menempati level bahaya. Sumber polusi ini tak hanya dari sektor transportasi dan pemukiman juga PLTU. Emisi PLTU yang akan dibangun ini akan meningkatkan paparan polutan NO2, partikulat, dan SO2 setara emisi 10 juta mobil,” kata Didit Wicaksono, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace.

Analogi ini dihitung berdasarkan faktor emisi dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) Nomor 12/2010 tentang Pelaksanaan Pengendalian Pencemaran Udara di daerah, dengan asumsi setiap mobil menempuh perjalanan 30 kilometer per hari.

Di Tiongkok, menutup PLTU di Beijing, dengan mengurangi polusi berbahaya, Indonesia malah sebaliknya. Pemerintah Indonesia mengusulkan membangun empat PLTU baru, atau tujuh unit untuk menambah delapan PLTU yang telah beroperasi, atau sebanyak 22 unit.

Semua PLTU ini berada di sekitar ibukota yakni Cilegon, Serang, Banten, Bogor, Bekasi, Tangerang dan Cikampek. Jika rencana ini tetap berjalan, katanya, Jabodetabek akan di kelilingi PLTU yang bakal mencekik kota ini beserta sekitar 30 juta penduduknya.

Emisi PLTU yang ada maupun direncanakan ini, akan meningkatkan risiko kesehatan pada penduduk Jabodetabek, di mana 7,8 juta anak-anak. Mereka bakal terpapar PM 2,5 jauh di atas standar World Health Organization (WHO).

 

Standar lemah

Peraturan dan penerapan standar emisi untuk polutan utama seperti PM 2.5, SO2, NO2 dan debu, katanya,  masih sangat lemah di Indonesia. Dibandingkan PLTU baru terbangun di negara lain, di Indonesia masih boleh mengeluarkan emisi SO2 sebanyak 20 kali lebih tinggi dibandingkan PLTU baru di Tiongkok, tujuh kali lebih tinggi dari pembangkit baru di India.

Dia perkirakan, estimasi paparan PM 2.5 per 24 jam dari PLTU beroperasi mencapai 2.8 juta µg/m3. Ambang batas WHO hanya 20 µg/m3. Diperkirakan jika pembangkit baru beroperasi mencapai 30.7 juta µg/m3.

 

Sumber: Laporan Greenpeace

 

Dampak kesehatan dari polusi ini, katanya akan menyebabkan 10.600 kematian dini dan 2.800 kelahiran dengan berat lahir rendah per tahun.

“Hampir setengah dari dampak ini ada di Jabodetabek,” kata Didit.

Selain itu, PLTU juga sumber utama penghasil emisi merkuri. Merkuri merupakan sumber polutan beracun yang merusak sistem saraf, terutama saraf janin dan anak dalam masa pertumbuhan.

“PLTU baru akan menghasilkan emisi merkuri sekitar 400 kilogram per tahun dan mengakibatkan pengendapan yang berpotensi tak aman di daerah padat penduduk.”

Catatan Greenpeace, total merkuri tersebar di Jawa dan Sumatera Selatan diperkirakan mencapai 140 kilogram.

“Hukum dan peraturan di Indonesia belum menetapkan batasan emisi merkuri PLTU. Ini makin diperburuk dengan kurangnya peralatan mengontrol emisi SO2 di PLTU yang menyebabkan emisi merkuri yang dihasilkan sangat tinggi.”

 

Sebaran polutan

Greenpeace menggunakan sistem permodelan atmosfer yang dikembangkan Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (US Environmental Protection Agency) untuk memproyeksikan dampak kualitas udara dan dampak kesehatan dari PLTU di sekitar Jakarta.

Emisi PLTU dihitung pada level operasi penuh berdasaran analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dengan asumsi utilisasi kapasitas 80%.

Selanjutnya, data emisi untuk permodelan dampak kualitas udara PLTU dengan sistem Calmet-Calpuff untuk menggambarkan rentang persebaran emisi PLTU.

“Hasilnya mengindikasikan emisi gabungan PLTU yang telah beroperasi. Yang baru akan memiliki dampak besar pada peningkatan kadar polusi di kota-kota yang berlokasi di sebelah utara dan barat pembangkit listrik.”

Greenpeace memperkirakan, kadar SO2, level PM 2.5, dan NO2 tertinggi dari PLTU beroperasi berada di Cilegon, Tangerang, Bogor, dan Jakarta.

Pembangkit yang akan dibangun ini berpotensi meningkatkan polutan tak hanya di daerah itu juga Bekasi, Depok, Tambun dan Karawang. Semua area ini berpotensi tingkat paparan polusi udara tinggi.

 

Sumber: Laporan Greenpeace

 

Aturan lemah

Peraturan mengenai emisi PLTU telah diatur dalam Permen LH Nomor 21/2008 hasil revisi peraturan tahun 1995 tentang standar emisi untuk pembangkit listrik termal. Sayangnya, kata Didit, masih lemah.

Aturan ini,  hanya mencakup NOx mengacu pada NO2 dan NO, SO2 dan PM. PM hanya mengacu pada partikulat total, tak termasuk PM 2.5.

Selain itu, Permen ini masih mempertahankan standar 1995 yang longgar untuk PLTU yang sedang dibangun sebelum Desember 2008.

Pembangkit saat itu wajib memenuhi standar 1995 dalam masa transisi dan diminta mematuhi standar baru di Permen LH Nomor 21/2008 mulai Januari 2015. “Pelaksanaan regulasi ini kurang terpantau.”

Indonesia juga belum mengembangkan sistem pemantauan polusi udara memadai untuk mengukur emisi PLTU di Indonesia, dengan informasi yang dapat diakses publik.

Masyarakat, katanya, tak dapat informasi mengenai kualitas udara. Sistem pemantauan emisi berkala (CEMS) juga belum terlaksana sepenuhnya di Indonesia.

Berdasarkan catatan Indonesia Center of Environmental Law (ICEL), tak ada informasi mengenai berapa banyak CEMS terhubung ke jaringan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebabkan ketidakjelasan apakah pemerintah dapat mengakses data pemantauan dari pembangkit listrik.

“Tanpa data dipercaya, pemerintah tak mungkin menerapkan peraturan dengan benar dan memastikan PLTU mematuhi standar emisi.”

Untuk itu Greenpeace Indonesia meminta pemerintah membatalkan rencana pengoperasian PLTU baru, baik akan dibangun maupun penghentian proyek yang sedang berjalan.

“Inilah titik di mana pemerintah menentukan pilihan antara kesehatan masyarakat Indonesia atau investasi kotor PLTU yang saat ini bahkan membahayakan keuangan negara.”

Pemerintah, katanya, diminta mengutamakan kesehatan manusia dalam pembangunan energi Indonesia.

 

Menunggu 2025

Mengenai penggunaan energi fosil, termasuk batubara dalam ketenagalistrikan, Andriah Feby Misna Kepala Seksi Program Konservasi Energi Dirjen EBTKE Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengakui saat ini bauran energi primer masih 94% didominasi energi fosil.

Mengutip kebijakan pengembangan energi dalam PP No 79/2014, katanya, prioritas pengembangan energi nasional akan memaksimalkan penggunaan energi terbarukan namun dengan memperhatikan tingkat keekonomian.

“Kita juga akan mengoptimalkan pemanfaatan gas bumi dan energi baru serta meminimalkan penggunaan minyak bumi,” katanya.

Penggunaan batubara sebagai andalan pasokan energi nasional berada di angka 34.6%, akan berkurang jadi 30% pada 2025. Begitu juga minyak bumi berkurang dari 33,8% menjadi 25% pada 2025 sesuai kebijakan energi nasional. Sedang porsi energi terbarukan pada 2016 tercatat 7,7%  naik jadi 23% pada 2025.

Pemerintah,  kata Feby,  membuat berbagai kebijakan untuk pengembangan energi terbarukan. Salah satu, dengan Permen ESDM No 3/2017 yang membolehkan penggunaan dana alokasi khusus (DAK) untuk revitalisasi pembangkit skala kecil.

 

Sumber: Laporan Greenpeace

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , ,