Di Desa Siju, Hampir 90 Persen Masyarakatnya Mengakses SM Padang Sugihan Sebokor

 

 

Sekitar 90 persen dari 2.000-an warga Desa Siju, Kecamatan Rambutan, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, mengakses Suaka Margasatwa (SM) Padang Sugihan Sebokor. Selain bersonor pada musim kemarau, mereka juga mencari ikan dan kayu gelam di kawasan konservasi tersebut.

“Hampir 90 persen masyarakat desa ini memanfaatkan kawasan (SM Padang Sugihan Sebokor),” kata Marwah, Kepala Desa Siju, pekan pertama November 2017, kepada Shabilliani Mareti dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Selatan.

“Jika ada informasi mengenai titik api dekat desa kami karena aktivitas warga, saya tidak dapat membantahnya. Warga desa tidak ada lagi lahan untuk digarap. Lahan yang sebelumnya digarap sudah menjadi konsesi perusahaan perkebunan sepuluh tahun lalu,” kata Marwah.

Sebagian besar warga Desa Siju sekitar 2.368 warga dari 700 kepala keluarga memiliki pendapatan dari berkebun karet. Perkebunan ini sudah dikelola masyarakat sejak pemerintah kolonial Belanda mengembangkan karet di Indonesia.

“Dulu pembakaran lahan untuk bersonor tidak memberikan dampak seperti ini, sebab hutan masih lebat. Banyu (air) masih banyak meskipun musim kemarau. Tapi, sejak ada HPH tahun 1980-an hingga 1990-an, hutan habis dan lahan mudah terbakar,” katanya.

Bagaimana mencegah masyarakat untuk tidak mengakses kawasan? “Jika targetnya 100 persen, saya tidak dapat menjamin. Upaya penegakan hukum mungkin memberikan dampak mengurangi kegiatan warga di kawasan,” lanjutnya.

Jika dilakukan pemberdayaan ekonomi, kata Marwah, harus serentak dan memberikan dampak bagi 2.000-an warga. “Jika hanya sebagian, saya khawatir menimbulkan kecemburuan yang mendorong segelintir orang melakukan kejahilan dengan membakar lahan.”

“Itu bukan berarti saya menolak berbagai upaya pencegahan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat di sini, tapi saya menjelaskan agar targetnya tidak muluk-muluk atau nantinya mengecewakan pemerintah,” jelasnya.

 

Kawasan gambut yang menjadi lintasan gajah di Desa Ulak Kedondong rusak, sehingga gajah masuk ke perkebunan warga mencari makan. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Terhadap pernyataan Marwah, Shabilliani Mareti menyatakan SM Padang Sugihan Sebokor merupakan wilayah konservasi yang tidak dapat dikelola oleh siapa pun. “Masyarakat harus mendukung upaya ini, caranya dengan tidak merusaknya. Sebab kawasan ini merupakan tempat hidup gajah dan hewan lainnya yang dilindungi,” katanya.

“Menjaga SM Padang Sugihan Sebokor dari kerusakan akan memberikan dampak positif bagi kita, khususnya masyarakat sekitar. Selain bebas dari ancaman kabut asap, persedian air terjaga, dan kekayaan alam yang ada lestari,” ujarnya.

Dijelaskan Shabilliani, melindungi wilayah SM Padang Sugihan Sebokor, bukan semata tanggung jawab BKSDA dan masyarakat, juga pihak lainnya, termasuk pelaku usaha. “Saya juga mengharapkan pelaku usaha menjaga wilayah konsesinya, seperti tata kelola air. Termasuk juga membina atau mengupayakan pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar, sehingga mereka tidak merusak kawasan konservasi karena alasan ekonomi,” katanya.

 

Peta Suaka Margasatwa Padang Sugihan Sebokor di antara konsesi HTI, perkebunan sawit, dan lahan pertanian masyarakat. Peta: Forum DAS Sumsel

 

Dana Desa

Pada 2017 ini, Pemerintah Desa Siju telah mengeluarkan dana desa untuk membali sejumlah peralatan pemadaman api atau kebakaran di lahan gambut. Sebut saja mesin pompa air dan selangnya, tabung api, baju pemadaman, dan peralatan komunikasi. “Tahun depan, kami masih menganggarkan dana untuk masyarakat peduli api,” kata Marwah.

Saat ini, Pemerintah Kecamatan Rambutan, Kabupaten Banyuasin, mendorong sejumlah desa yang dekat SM Sebokor-Sugihan membentuk kelompok masyarakat peduli api (MPA). Kelompok ini minimal beranggotakan 10 orang. Semua kebutuhan, seperti peralatan pedamanan api menggunakan dana desa. Desa itu antara lain Baru, Tanjungkerang, Suka Pindah, Plaju, dan Siju. Anggaran ini dikeluarkan setiap tahun. “Kami juga mengharapkan bantuan pihak lain. Saat ini kami baru mendapatkan pelatihan dari Manggala Agni,” kata Marwah.

Kawasan SM Padang Sugihan Sebokor kali pertama ditetapkan pemerintah melalui Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor 004/Kpts-II/1983 tertanggal 19 April 183 seluas 75 ribu hektar. Lokasi ini eks HPH PT. Wijaya Murni da DAya Penca. Pada 2014, berdasarkan SK Menteri KLHK No.454/MENLHK/SETJEN/PLA.2/6/2016 luasnya menjadi 88.148,05 hektar.

“Penetapan wilayah konservasi dikarenakan terdapat sekitar 232 individu gajah liar yang terkurung di area transmigran Sugihan. Guna menghindari konflik, kawanan gajah tersebut dikosentrasikan di wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi,” jelas Shabilliani.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,