Moratorium Sawit Hanya Dua Tahun, Cukupkah buat Benahi Tata Kelola?

 

Memasuki penghujung 2017, aturan moratorium sawit– sudah proses pasca Presiden Joko Widodo, mengumumkan rencana itu April 2016—belum juga keluar. Dari beberapa bahasan lintas kementerian, muncullah kemungkinan-kemungkinan masa moratorium berlangsung dari lima sampai dua tahun. Teranyar, Darmin Nasution, Menteri Koordinator Perekonomian pada agenda Indonesian Palm Oil Conference 2017 bertema Growth Through Productivity Partnership with Smallholders di Bali, awal November lalu menyebutkan Instruksi Presiden mengenai moratorium perkebunan sawit hanya berjenjang waktu dua tahun.

Dalam masa itu, industri wajib melaporkan data pembelian sawit secara transparan dan mengevaluasi penerapan kebijakan 20% luas lahan untuk kemitraan dengan petani. Poin-poin ini diharapkan mampu memperbaiki citra sawit di Indonesia.

Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan merespon dengan mengatakan, waktu dua tahun itu cukup alias tak ada masalah. ”Menurut saya cukup, tidak ada masalah. Sebenarnya kan kita sudah mengerjakan sejak Presiden memerintah di April 2016, kita sudah meneliti dan melakukan pengecekan,” katanya ditemui di kantornya, baru-baru ini.

Regulasi ini, katanya, akan menyentuh lahan-lahan yang menjadi land bank perusahaaan. Lahan-lahan berizin yang belum terkelola. ”Yang terpenting tak boleh ada izin baru di perkebunan sawit karena kita menekankan replanting, agar peningkatan di hilir,” katanya.

Siti melihat, moratorium sawit ini tak boleh parsial, kebun sawit di kawasan hutan harus dikeluarkan meskipun dengan kriteria tertentu. Saat ini, katanya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, masih menginventarisasi kebun-kebun sawit yang ada di kawasan hutan.

”Misal, kemarin di Musi Banyuasin, daerah itu bekas transmigran yang oleh kebijakan masa lalu sudah dikeluarkan sebetulnya dari hutan. Tapi tidak diselesaikan dan itu banyak. Karena pemerintah masa lalu, banyak hutan produksi dikonversi menjadi transmigran,” katanya.

Dalam satu tahun terakhir, kata Siti, untuk perkebunan sampai 40.000 hektar sudah keluar dari kawasan hutan dan buat pemukiman, fasilitas umum dan fasilitas sosial 750.000 hektar.

Tak hanya itu, inventarisasi 20% dari konsesi untuk kebun rakyat sedang berjalan dan sudah 206.000 hektar. ”Perlu dicek lagi (eksekusinya). Kalau sudah dilepaskan menjadi kebun kan tanggung jawab kementerian lain,” katanya.

Langkah ini, katanya, dapat dilakukan melalui kerangka reforma agraria dan perhutanan sosial, meski perlu dilihat kondisi lapangan menyeluruh sebelum mengeluarkan status hutan terutama wilayah transmigrasi.

”Pekerjaan tidak mudah dan koordinasi harus kuat.”

 

Tak cukup

Zenzi Suhadi, Kepala Departemen Kajian, Pembelaan, dan Hukum Lingkungan Walhi Nasional menyebutkan, moratorium sawit perlu sesuai usia hak konsesi yang diberikan pemerintah kepada perusahaan. ”Itu dua tahun tidak cukup. HTI sekitar 5-10 tahun, Sawit, minimal 25 tahun,” katanya. Dia bilang, dalam pemulihan ekosistem, alam memerlukan waktu pemulihan diri akibat kerusakan yang ditimbulkan manusia.

Meski periode dua tahun ini belum diketok palu, Zenzi menilai, dari tahun ke tahun kedudukan pemerintath makin lemah di hadapan korporasi. Dia menilai, dalam periode dua tahun ini akan muncul transaksi politik dari para pelaku-pelaku kejahatan lingkungan.

Herry Purnomo, peneliti Cifor mengatakan, banyak masalah mendasar terkait sawit di Indonesia. Moratorium sawit memiliki pengaruh cukup baik, katanya, sebaiknya pemerintah melakukan pembenahan status lahan terlebih dahulu. Dari 12 juta hektar lahan perkebunan sawit belum termasuk lahan ilegal, lahan yang sudah terverifikasi tidak sampai 20%.

”Kalau dibilang dua tahun tidak efektif, ya mungkin. Lima tahun lebih make sense. Pertama untuk menyelesaikan legalitas dan meningkatkan produktivitas dari smallholder. Termasuk restorasi gambut.”

Dia memahami, menyelesaikan masalah legalitas tidak mudah. Banyak perusahaan perkebunan dan penyulingan (refinery) di Indonesia memasang tinggi kuota pengelolaan, hingga menyebabkan kebutuhan pasokan tandan buah segar tinggi.

Dalam membenahi tata kelola yang amburadul ini, katanya, perlu peta jalan jelas, termasuk peningkatan produktivitas dan transparansi rantai pasok. Dia sebutkan, Indonesia sedang siapkan penguatan standar sawit berkelanjutan (ISPO). “Menuju aturan ISPO yang baru juga seperti apa mentransformasi hitung-hitungannya terhadap refinery kita dan devisa negara.”

Pemerintah, kata Herry, perlu tegas dalam menegakkan hukum lahan-lahan ilegal. Penyelesaian masalah konflik lahan, katanya, bisa pakai Perpres 88 tahun 2017. ”Perpres ini melihat jika di hutan produksi ada sawit, akan dilihat apakah sudah lama, 20 tahun lebih atau apakah hutan sudah cukup dikonversi, jika memang iya, dibentuk tim yang memungkinkan pelepasan kalau bisa dilepas,” katanya.

Perdebatan ini memang cukup kencang. Herry bilang, sawit di kawasan hutan terutama di hutan produksi juga tak bisa dibiarkan begitu saja. ”Kalau dibiarkan, ini kawasan hutan tapi fakta sawit.”

Idealnya, kata Guru Besar Manajemen IPB ini, perlu reforestrasi, membuat kembali menjadi hutan. “Tentu, keputusan yang tepat perlu diambil oleh beberapa pihak terkait,” katanya, seraya memberikan gambaran sawit memiliki carbon stock hanya 42 ton CO2 per hektar, sedangkan hutan 300 ton CO2 per hektar.

Pelepasan kawasan hutan itu, katanya, itu di hutan produksi kalau hutan konservasi dan lindung tidak bisa diganggu gugat. Untuk hutan produksi konversi ada 10 juta hektar dicadangkan untuk pertanian. Ada 29 juta hektar hutan produksi Indonesia seharusnya tetap dipertahankan jadi hutan, kalaupun berubah ke sawit perlu kembali jadi hutan. Kecuali, pemerintah pusat, daerah, organisasi masyarakat sipil, sampai akademisi menginginkan itu jadi bukan hutan. “Itu kan sudah multistakeholder.”

Jadi, katanya, legalitas lahan jadi sangat penting karena 45% petani swadaya tak bisa melakukan peningkatan produktivitas karena lahan tak jelas. Selain itu, penyelesaian masalah sawit ini diharapkan tak hanya melakukan melalui pendekatan lahan, namun lebih pada kepemilikan.

Menurut dia, kalau memang itu rakyat kecil, miskin dan tak memiliki lahan bisa mendapatkan akses. Langkah pemberian akses ini perlu cermat, katanya, karena banyak permainan lahan oleh aktor-aktor pengusaha lokal dan migran yang sebenarnya sudah kaya.

”Perlu ada pendekatan aktor, pemerintah memiliki lahan cukup jelas tapi aktor lahan tidak jelas. Selama ini cukong-cukong memiliki suara dan kesempatan mengusulkan, sedangkan masyarakat kecil tidak bisa bersuara dan tidak bisa difasilitasi pemerintah juga.”

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , ,