Kinerja Perikanan Nasional Tercoreng Kegagalan Ekspor 2017, Kenapa Bisa Terjadi?

 

Tahun 2017 tersisa sepekan lagi. Namun pekerjaan rumah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) masih tersisa banyak dan bahkan bertumpuk. Salah satunya, adalah perihal ekspor perikanan yang menjadi tugas dari Direktorat Jenderal Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (DSPKP) KKP. Hingga sekarang, realisasi ekspor baru mencapai USD3,61 miliar dari target USD7 miliar yang ditetapkan KKP pada 2017.

Pencapaian tersebut, menurut Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch Indonesia Moh Abdi Suhufan, bisa menjadi penanda kegagalan dari kepemimpinan KKP saat ini. Penyebabnya, karena pada saat bersamaan, stok ikan di laut Indonesia sedang mengalami peningkatan signifikan setelah pemberantasan praktik illegal, unreported, and unregulated fishing (IUUF) berhasil dilakukan sejak 2014.

“Indikasi dan fakta menurunnya nilai dan volume ekspor perikanan yang terjadi sepanjang tahun 2017 perlu diantisipasi oleh pemerintah Indonesia,” ucapnya di Jakarta, awal pekan ini.

baca : Amanat Inpres : Percepatan Pembangunan Industri Perikanan Harus Segera Dimulai. Ada Masalah Apa?

Menurut Abdi, walau waktu yang tersisa tinggal menunggu hitungan hari menuju 2018, namun KKP tetap harus mencari cara agar realisasi ekspor tahun ini bisa mencapai target yang telah ditentukan sebelumnya. Kata dia, hambatan produksi, pengolahan dan pemasaran hasil perikanan yang berorientasi ekspor mesti diberikan treatment khusus.

“KKP mesti menjaga momentum meningkatnya stok ikan di laut Indonesia agar sejalan dengan peningkatan nilai ekspor. Meningkatnya nilai ekspor akan mendorong perekonomian domestik,” tuturnya.

Abdi mengatakan, ada dua hal yang bisa menjadi momentum KKP untuk memacu ekspor produk perikanan. Kedua hal itu, yaitu kondisi domestik dengan peningkatan stok ikan dan kondisi eksternal dengan meningkatnya permintaan ekspor dari negara tujuan.

Akan tetapi walau terdapat dua hal momentum untuk menaikkan nilai ekspor, pada kenyataannya masih ada proses yang mengganggu kelancaran momentum tersebut, yaitu masih adanya unit pengolahan ikan dalam negeri yang mengeluhkan tentang penurunan ketersediaan bahan baku.

“Masalah perizinan kapal ikan oleh KKP perlu mendapat perhatian agar tidak menjadi hambatan pelaku usaha perikanan. KKP perlu menelusuri hal ini dengan membuat peta masalah dan solusi agar peluang peningkatan ekspor bisa segera dipenuhi oleh pelaku perikanan dalam negeri,” jelas dia.

baca : Pembangunan Industri Perikanan Bakal Mandek Tahun Depan, Benarkah?

 

Aktivitas pengolahan ikan di Pelabuhan Perikanan Sadeng, Gunung Kidul, Yogyakarta pada awal Desember 2015. Foto : Jay Fajar/Mongabay Indonesia

 

Di luar permasalahan penurunan bahan baku, menurut Abdi Suhufan, ekspor Indonesia masih memiliki potensi besar menyusul pemberlakuan yellow card oleh Uni Eropa untuk komoditas tuna. Kartu kuning tersebut, diberikan kepada negara eksportir besar seperti Vietnam, Tiongkok, dan Filipina.

Indonesia sendiri hingga saat ini masih menjadi negara produsen perikanan tangkap dunia nomor dua di dunia setelah Tiongkok. Status tersebut bisa menjadi modal utama bagi Indonesia untuk meningkatkan ekspornya. Hingga 2014, produksi perikanan tangkap Indonesia sudah mencapai 6,016 juta ton, sementara Tiongkok jumlahnya mencapai 14,8 juta ton.

“Sayangnya kedigdayaan perikanan tangkap Indonesia, tidak berarti apa-apa sebab dalam sepuluh negara terbesar eksportir perikanan, Indonesia tidak masuk dalam list,” sebut dia.

Dalam hal kinerja ekspor perikanan, Abdi menjelaskan, Indonesia dikalahkan oleh Norwegia, Vietnam, India dan Thailand yang sudah masuk dalam negara produsen sepuluh besar di dunia. Fakta tersebut, harus menjadi pelajaran bagi Indonesia jika ingin meningkatkan jumlah ekspor pada 2018.

baca : Indonesia Minta Jepang Bebaskan Bea Ekspor Masuk Produk Perikanan dan Kelautan

Peneliti DFW Indonesia Nilmawati menambahkan, untuk bisa meningkatkan nilai dan volume ekspor perikanan, KKP harus menaikkan level sistem ketelusuran yang diberlakukan sekarang. Sistem tersebut, menjadi berpengaruh karena membantu tranparansi proses produksi yang dapat terakses atau terlacak oleh semua pelaku bisnis yang terlibat dalam rantai pasok.

“Ketertelusuran penting bagi pasar luar, karena mereka sangat sensitif dengan proses produksi yang harus bisa diakses oleh keseluruhan actor supply chain. Era demokrasi informasi kini melanda sektor perikanan dan itu mesti dipenuhi oleh pemerintah dan pelaku usaha perikanan dalam negeri jika ingin menembus pasar internasional,” pungkas dia.

 

Upaya percepatan industrialisasi perikanan di Indonesia, diprediksi tidak akan berjalan mulus pada 2018. Ada faktor yang harusnya menjadi fokus perhatian tapi tidak menjadi prioritas. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Turunkan Target

Kegagalan mencapai target ekspor perikanan pada 2017, membuat KKP berpikir ulang untuk menetapkan target ekspor perikanan pada 2018. Jika sebelumnya KKP sempat menetapkan target 2018 sebesar USD8,53 miliar, namun setelah target 2017 gagal tercapai, target 2018 diturunkan menjadi USD5,4 miliar.

Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) KKP Nilanto Perbowo mengakui, dengan target yang ditetapkan pada 2017, pihaknya sulit untuk mewujudkannya. Meski demikian, dia menyebut kalau nilai ekspor Indonesia pada 2017 meningkat dibandingkan tahun sebelumnya.

“Target nilai ekspor tidak mungkin tercapai dari target yang ditetapkan tahun 2017. Namun, nilai ekspor perikanan Indonesia periode Januari hingga Oktober 2016 sebesar USD3,4 miliar, sementara periode sama 2017 sudah mencapai USD3,6 miliar. Atau, naik sekitar 3,68 persen,” jelas dia.

“Tampaknya kita terlalu optimis dalam dua tahun terakhir. Karenanya kita turunkan target ekspor perikanan untuk tahun depan,” tambah dia.

baca : Ini Dia Pelabuhan Ekspor Pertama di Sulawesi Selatan

Di sisi lain, Nilanto menambahkan, walau nilai ekspor mengalami kenaikan dibandingkan tahun sebelumnya, volume ekspor produk perikanan pada periode yang sama justru mengalami penurunan. Kata dia, volume ekspor produk perikanan periode Januari-Oktober 2017 sebesar 862.100 ton, sedangkan periode yang sama tahun lalu mencapai 881.140 ton.

“Peningkatan nilai ekspor disebabkan oleh berbagai hal, salah satunya adalah kenaikan harga ekspor dan meningkatnya ekspor produk yang memiliki nilai tambah. Karena itu, penurunan volume ekspor tidak berpengaruh pada nilai ekspor,” papar dia.

Untuk penurunan volume ekspor pada produk tertentu, Nilanto menyebut, itu bisa terjadi karena produk tersebut memiliki harga yang rendah. Tetapi, dia menambahkan, pada produk dengan harga tinggi, pada 2017 juga mengalami penurunan volume produksi. Produk-produk tersebut adalah udang, rajungan dan kepiting, cumi, sotong, dan gurita serta rumput laut.

baca : Dari Pulau Terluar, Indonesia Ekspor Produk Perikanan dan Kelautan

Menurut Nilanto, dari lima produk unggulan, hanya kelompok tongkol, tuna, dan cakalang (TTC) yang mencatat kenaikan volume ekspor dibandingkan tahun lalu. Ekspor TTC per periode Januari-Oktober 2017 mencatat angka sebesar 167.160 ton. Sementara, pada periode yang sama tahun lalu sebesar 147.660 ton.

Adapun negara tujuan utama ekspor adalah Amerika Serikat, Jepang, kawasan ASEAN, Tiongkok dan Uni Eropa.

 

Suasana bongkar muat ikan di Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman Muara Baru, Jakarta Utara pada November 2016. Foto : Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Walaupun pada 2017 gagal mencapai target ekspor perikanan, Nilanto sebelumnya pernah meyakini bahwa Indonesia akan menjadi negara eksportir perikanan besar di dunia dan berpotensi menjadi eksportir terbesar di dunia. Optimisme tersebut muncul, karena Indonesia memiliki potensi perikanan yang sangat besar.

“Namun, agar potensi besar tersebut bisa dimanfaatkan dengan baik, perlu ada regulasi yang konsisten dan berkelanjutan. Termasuk di dalamnya adalah regulasi untuk menjaga ikan dari para pencuri. Jika itu sudah dilakukan, kita optimis Indonesia segera menjadi negara perikanan besar di dunia,” sebut dia.

Untuk diketahui, badan pangan dunia PBB (FAO) sebelumnya juga sudah memprediksi negara-negara yang akan menguasai pasar ekspor dunia pada 2024. Tetapi, dari nama-nama yang disebut FAO, tidak terdapat nama Indonesia di dalamnya. Hanya ada nama Tiongkok, Vietnam, Norwegia, Amerika Serikat, Thailand, dan Uni Eropa yan diprediksi menguasai pasar ekspor 2024.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,