Walhi: Penambangan Rusak Kawasan Hutan

Banyaknya ekspansi yang mendesak kawasan ekologis untuk kepentingan eksploitasi dan eksplorasi, mengakibatkan sebagian besar wilayah di Sulsel potensial terkena bencana. Pertambangan dan perkebunan banyak mengubah kondisi ekologis.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulsel, Zulkarnain Yusuf, mengungkapkan di Sulsel, ada dua hal paling berkontribusi dalam kerusakan ekologis lingkungan. Hal ini sangat terkait dengan upaya eksplorasi dan eksploitasi untuk kepentingan pemanfaatan sumber daya alam, yakni perkebunan dan pertambangan.

Lolo, panggilan akrab Zulkarnain, memetakan untuk wilayah pertambangan tersebar di beberapa titik seperti kawasan karst Maros-Pangkep, pertambangan di Luwu Timur dan Selayar, dan beberapa daerah lainnya. Untuk sektor perkebunan berada di Luwu, Bulukumba dan daerah sekitarnya.

Eksploitasi dan eksplorasi sumber daya alam (SDA) massif membawa dampak buruk bagi ekologis yakni kualitas ekosistem hutan, sungai, danau, udara, pesisir, dan kelautan, menurun drastis. Selain itu, keanekaragaman spesies flora dan fauna juga terancam dan perlahan-lahan punah.

“Dari 24 kabupaten/kota di Sulsel, 20 di antaranya memiliki risiko yang tinggi mengalami bencana,” ujar Lolo dalam konferensi pers di Warkop 76, Minggu, 22 April.

Potensi bencana dimaksud bervariasi, misalnya banjir, longsor, abrasi, serta bencana lain sebagai implikasi turunan dari peristiwa tersebut. Namun bencana banjir paling dominan menjadi langganan hampir semua daerah Sulsel. “Tidak bisa dipungkiri kerusakan itu terjadi akibat aktivitas eksploitasi SDA di Sulsel. Ini juga diperparah dengan tidak adanya regulasi turunan undang-undang yang bisa mengeksekusi para perusak lingkungan,” tandas Lolo.

Ia membeberkan, sekitar 80 persen pertambangan marmer yang ada di Sulsel beroperasi di kawasan hutan lindung. Hal ini terjadi akibat mudahnya izin dikeluarkan terkait pengelolaan SDA. Ia mencontohkan, ada salah satu desa di Sulsel ini, pemerintah setempatnya bahkan mengeluarkan 40-an izin tambang. Warga lokal juga tak berdaya untuk melawan hal itu.

Selain itu, kajian strategis pemanfaatan SDA oleh hampir semua pemerintah daerah di Sulsel, tak dijalankan. Di kawasan Quarles sebagai jantung hutan Sulsel pun hingga kini masih terdapat indikasi penyalahgunaan hak kelola hutan. Karenanya, tandas Lolo, program pemulihan ekologis adalah niscaya dan itu harus berdasarkan kerakyatan dan berkelanjutan.

Aktivis Walhi Sulsel lainnya, Sudirman, mengungkapkan, eksploitasi dan eskplorasi SDA dilakukan oleh pemda karena mengejar PAD. Padahal, besaran PAD yang didapatkan oleh pemda, tidak akan sebanding dengan dampak yang akan terjadi. Kerusakan akibat pertambangan misalnya di kawasan karst, akan mengakibatkan daerah resapan air terganggu.

Indah Fatinaware, peneliti Sawit Watch dan Solidaritas Perempuan, mengatakan, di masa datang Sulsel akan jadi wilayah sawit terbesar. Kini 10 juta hektare lahan akan digunakan untuk target tersebut, bersama dengan daerah lain di Sulawesi, Maluku, dan Papua.

Sumber: Fajar.co.id

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,