Kisah proyek pelestarian hutan di Indonesia lewat program REDD, nampaknya kini menemui jalan terjal. Setelah menuai kritik dari senator Australia, Christine Milne, yang menyatakan bahwa proyek REDD di Kalimantan sebagai sebuah kegagalan total, masyarakat di tingkat akar pun kini mulai kesal dengan program yang dinilai tidak jelas. Mereka bahkan menyebutnya REDD tak ubahnya dengan ‘kentut’.
Kisah proyek pelestarian hutan Indonesia lewat skema REDD ini dimulai 5 tahun silam saat seorang pebisnis Australia, Dorjee Sun memulai misi ambisiusnya untuk menyelamatkan hutan dunia, sebuah upaya yang bahkan memberinya gelar “Pahlawan Lingkungan” dari Majalah Time, saat itu. Di saat bersamaan, politisi John Howard juga menyatakan bahwa perubahan iklim kini semakin mengkhawatirkan. Singkatnya, Sun dan Howard akhirnya menemukan kesamaan, salah satu solusi mempertahankan hutan dunia adalah menyelamatkan hutan gambut Indonesia.
Setelah memutuskan untuk memilih ‘aksi langsung’ dan menolak menandatangani Protokol Kyoto di tahun 2007, akhirnya pemerintahan Howard memutuskan untuk menumpas kerusakan hutan yang menargetkan menekan emisi hingga 3 miliar ton karbon dalam setahun, sepuluh kali lipat dari target Protokol Kyoto.
Sementara di bulan Desember di tahun yang sama, PBB menyepakati mekanisme REDD sebagai sebuah cara untuk menekan deforestasi dan degradasi.
Lima tahun pun berlalu, tembakan yang dilancarkan pemerintahan John Howard dalam skema REDD lewat bantuan dana dari pemerintah Australia, menuai badai kritikan. Pada tanggal 21 Mei 2012 silam, dalam sebuah rapat dengar pendapat di senat Australia, senator dari Partai Hijau Australia, Christine Milne menyebut upaya REDD di Kalimantan Forest Carbon Partnership sebagai sebuah ‘kegagalan total’.
Dari sudut pandang sektor swasta, kondisi ini bahkan lebih parah. Dorjee Sun yang memimpin proyek ini telah membangun kesepakatan dengan pemerintah Propinsi Aceh untuk melestarikan hutan lewat skema REDD di lahan seluas 770.000 hektar, yang kini dalam kondisi tidak jelas. Sial bagi Dorjee Sun, dirinya sudah menjual asetnya senilai jutaan dollar untuk menangani proyek ini, bahkan setengah bisnisnya sudah dijual ke perusahaan tambang Kanada.
Mitranya dalam kerjasama ini, gubernur Aceh Irwandi Yusuf juga ternyata juga terlalu optimis dengan skema yang dinilai menggiurkan ini. Dia bahkan menyebut komunitas global memakai wilayah udaranya sebagai ‘toilet karbon’. “Masyarakat internasional berpikir bahwa hutan kami adalah toilet gratis untuk karbon mereka. Tiap hari mereka menginginkan udara bersih dan berniat melindungi hutan….tapi mereka tetap ingin menghirup udara segar tanpa harus membayar apa pun,” ungkap Irwandi. Namun belakangan baru terbukti, optimisme ini rupanya justru berbanding terbalik dengan fakta di lapangan.
Fakta kegagalan ini diperkuat dengan temuan penelitian Erik Olbrei dan Stephen Howes di Australian National University, yang meneliti Kalimantan Forest Carbon Partnership menemukan bahwa:
1. Target utama KFCP telah diturunkan secara drastis. Hanya sepuluh persen, dari target awal yang digembar-gemborkan, karena target awal terlalu bombastis.
2. Perkembanga di lapangan sangat lambat. Blokade kanal-kanal utama belum dimulai, hanya 50.000 pohon yang ditanam, mekanisme pengukuran emisi belum tuntas, dan baseline emisi bahkan belum dijelaskan secara detail.
3. Deforestasi dan konversi lahan gambut tetap berlangsung dengan cepat dan dalam skala besar di Indoneia. Penanaman dan ekspansi perkebunan sawit makin meluas.
Ketiga faktor ini saling melengkapi keraguan publik di Australia akan terus berjalannya proyek REDD di berbagai wilayah Indonesia. Apalagi, pihak otoritas lokal pun terbukti tidak serius menangani ini, setelah gubernur Aceh saat itu, Irwandi Yusuf setuju untuk memberikan izin bagi PT Kallista Alam untuk mengubah wilayah konservasi Rawa Tripa menjadi kebun sawit.
Lima tahun berlalu setelah gelombang pasang REDD ini, Indonesia hingga tahun 2012 ini masih mendapat gelar negara dengan tingkat deforestasi tertinggi di dunia. Bahkan proyek yang sudah menghabiskan dana 30 juta dollar Australia ini, menurut senator Christine Milne, hanya berhasil mengembalikan hutan seluas 1000 hektar di Kalimantan. Dari target awal 50.000 hektar reforestasi hutan.
Bahkan sejak digulirkan sejak lima tahun lalu, tak satu pun kredit karbon terjual dari semua proyek percontohan REDD yang ada di Indonesia. Masyarakat sekitar hutan, yang terlibat dalam proyek REDD pun kini semakin frustasi. “REDD? itu seperti kentut,” ungkap seorang warga bernama Anwar Ibrahim di desa Ulu Masen, Aceh. “Itu seperti menjual angin, tidak masuk akal.” Anwar tinggal di tepian hutan Ulu Masen yang menjadi bagian proyek REDD ini.
“Mereka hanya mengundang warga untuk rapat di Banda Aceh, dan menginapkan kami di hotel mewah. Namun tak ada apa pun yang berubah setelah itu,” sambung Anwar.
Nampaknya, Pemerintah Indonesia harus berpikir ulang soal upaya menjaga tegakkan hutan lewat mekanisme satu ini. Apalagi, jelang konferensi Rio mendatang, Indonesia akan memegang peran penting dalam pertemuan ini setelah presiden SBY didaulat menjadi co-chairman dalam Rio+20. Sejumlah kegagalan proyek utama seperti REDD di lapangan, bukan sebuah kisah yang manis untuk dibagikan kepada dunia nampaknya…