Salah satu hal terbaik dari pertanian organik adalah kemampuan sosial pertanian ini terkait kemandirian para petani. Apalagi, di tengah krisis kebijakan ketahanan pangan nasional yang perlu perhatian khusus dari pemerintah untuk saat ini. Salah satnya, persoalan krisis kedelai yang menghantam ketahanan pangan Indonesia. Sangat aneh, di negeri yang penduduknya menyukai tahu dan tempe, serta menghasilkan sendiri kedua produk itu, para petani justru bersandar pada kedelai impor.
Sektor pertanian lainnya tidak menutup kemungkinan akan mengalami krisis pangan pada sektor kacang kedelai. Kebutuhan Nasional akan kacang kedelai mencapai 2,6 Juta Ton/Tahun, sedangkan kemampuan produksi kedelai lokal hanya 779.740 Ton biji kering/Tahun jumlah itupun semakin menurun pada tahun-tahun berikutnya.
Ada beberapa hal yang segera bisa dilakukan untuk menyelesaikan persoalan ketahanan pangan. Pertama, pemerintah harus menyediakan lahan tambahan untuk produksi pada sektor pertanian. Kedua, memperkecil, mengendalikan dan menanggulangi atau mentralisir terhadap upaya konversi lahan pertanian. Ketiga, dengan meningkatkan sektor pertanian organik berbasis komunitas atau wilayah. Keempat, secara bertahap mengurangi ketergantungan pada impor.
Terkait upaya-upaya tersebut, Menurut TO Suprapto, pendiri Joglo Tani, di Kecamatan Seyegan, Kabupaten Sleman, menegaskan bahwa pertanian organik bisa membantu ketahanan pangan, apabila pemerintah mau melakukannya. “Konsep pertanian berbasis pada suatu wilayah bisa digunakan secara maksimal. Persoalanya, pemerintah tidak pernah mau melakukannya, semuanya terlanjur pada ketergantungan di sektor impor,” ungkap Suprapto kepada Mongabay Indonesia tanggal 27 Juli 2012 silam.
Solusi pertanian organik dalam membantu ketahanan pangan bisa dijadikan satu aksi progresif bagi pemerintah. Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam hayati tropis, pasar produk pertanian organik yang meningkat dengan pesat setiap tahunnya, ini akan menjadi bisnis yang sangat menguntungkan bila ditekuni, apalagi untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Saat ini volume produk pertanian organik mencapai 5 % – 7 % di pasar International.
Harga produk hasil pertanian organik lebih baik apabila dibandingkan dengan pertanian non-organik, menjadi daya tarik bagi petani untuk beralih pada sektor ini. Untuk itu, pemerintah dituntut untuk mempersiapkan lahan-lahan terlantar untuk dijadikan pertanian organik, mengupayakan intensif harga yang memadai dan memastikan pasar pertanian organik.
Namun saat ini, petani di Indonesia masih mengalami enam tekanan, yaitu tekanan ekonomi, tekanan alam, tekanan sosial, tekanan budaya, tekanan global dan tekanan kebijakan. “ Untuk membangun kedaulatan pada sektor pertanian, maka yang paling utama adalah Sumber Daya Manusia (Petani), Sumber Daya Alam (lahan), sosial, fisik dan finansial. Sedangkan untuk mewujudkan pertanian yang benar-benar organik kuncinya adalah kejujuran,” tambah Suprapto.
Produk pertanian yang benar-benar organik adalah hasil pertanian, perikanan, maupun peternakan yang terbebas dari zat kimia, baik dari sisi pemeliharaan, benih, maupun lingkungan. Tidak hanya sebatas pada tidak menggunakan pestisida kimia, namun juga harus menggunakan benih yang bukan hasil rekayasa genetika, air yang tidak tercemar, dan nutrisi alami.
Begitu halnya dengan mewujudkan ketahanan pangan, keseriusan dari pemerintah untuk melakukan evaluasi pada kasus krisis kacang kedelai harus segera di lakukan dan dicarikan jalan keluar. Sehingga ketergantungan pangan tidaklah ditentukan oleh pasar, namun diperkuat oleh kekuatan pangan di negara sendiri.
“Selama pemerintahan ini masih di kendalikan oleh kapitalisme pasar yang bebas, sehingga menjadikan sektor ketahanan pangan lemah. Pemerintah harus berbenah dan evaluasi segala kebijakan yang lebih menguntungkan negara sendiri dan mensejahterakan penani,” harap Suprapto.
Jika tidak mulai melirik pertanian organik, maka kebijakan pangan Indonesia hanya akan selesai sebatas ketersediaan pangan, dan tidak akan mencapai swasembada pangan.