,

Jatam: 70 Persen Kerusakan Lingkungan Akibat Tambang

JARINGAN Advokasi Tambang (Jatam) memperkirakan, sekitar 70 persen kerusakan lingkungan Indonesia karena  operasi pertambangan.  Sekitar 3,97 juta hektare kawasan lindung terancam pertambangan, termasuk keragaman hayati di sana. Tak hanya itu, daerah aliran sungai (DAS) rusak parah meningkat dalam 10 tahun terakhir. Sekitar 4.000 DAS di Indonesia, 108 rusak parah.

Priyo Pamungkas Kustiadi, Media Communication and Outreach Jatam mengatakan, lebih parah lagi, industri ekstraktif ini dengan mudah melabrak dan mengakali berbagai aturan yang bertentangan dengan kepentingan mereka, termasuk UU 32/2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (PPLH).

“UU ini malah dianggap penghambat investasi. Tak heran, UU ini terkatung-katung dan pelan-pelan dipreteli kekuatannya,” katanya di Jakarta, Jumat(29/9/12).

Jumat pagi ini, Jatam melakukan aksi di depan Kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Jatam meminta Kementerian ESDM tunduk kepada UU No 32/2009.

Menurut Priyo, bagi ESDM, UU PPLH tak sejalan dengan jiwa eksploitatif dan keserakahan industri pertambangan. “Seolah-olah UU PPLH hanya sekumpulan pasal-pasal dikertas yang tak perlu ditaati.”

Hampir 34 persen daratan Indonesia telah diserahkan pada korporasi lewat 10.235 izin pertambangan mineral dan batubara (minerba). Jumlah itu belum termasuk izin perkebunan skala besar, wilayah kerja migas, panas bumi dan tambang galian C.

“Kawasan pesisir dan laut juga tidak luput dari eksploitasi, lebih 16 titik reklamasi, penambangan pasir, pasir besi dan menjadi tempat pembuangan limbah tailing Newmont dan Freeport.”

Kementerian ESDM,  seakan membiarkan kehancuran ini. “Dibayar dengan kematian warga, kerusakan lahan dan pola ekonomi masyarakat yang berubah.”

Melihat kondisi ini, Jatam, menuntut Kementerian ESDM tunduk kepada UU No 32/2009 dan tidak mengintervensi Kementerian Lingkungan Hidup. Lalu, segera hentikan izin usaha pertambangan dan evaluasi perusahaan penjahat lingkungan. “Tutup segera tambang di wilayah hutan untuk menahan laju daya rusak tambang.”

Suku Lauje Kilo 7, Kecamatan Dondo, Sulteng, tak tahu daerah sekitar mereka akan ada pertambangan. Kehidupan merekapun terancam. Foto: Jatam Sulteng

Penolakan masyarakat terus terjadi. Namun, izin-izin tambang terus saja bermunculan tanpa peduli protes warga sekitar.  Salah satu protes warga Sinjai menuntut  izin eksplorasi tambang Bonto katute dicabut.

Pada Selasa(25/9/12), ratusan warga tergabung dalam Gerakan Rakyat Tolak Tambang Bonto Katute ( GERTAK ) Sinjai, aksi unjuk rasa menolak pertambangan di Desa Bonto Katute, Kecamatan Sinjai Borong, Kabupaten Sinjai.

Massa warga dari Desa Bonto Katute, ratusan mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Sosial politik dan Sekolah Tinggi Agama Islam Muhammadiyah Sinjai serta organisasi yang tergabung dalam front GERTAK.

Dikutip dari laman Facebook Jatam Sulawesi Tengah (Jatam Sulteng), menyebutkan, dalam aksi ini, massa menyatakan bentuk perlawanan dengan orasi politik keliling kota. Mereka mengepung kantor pemerintah daerah Sinjai. Warga menuntut kepada pemerintah daerah mencabut delapan izin eksplorasi tambang yang dikeluarkan Bupati A. Rudiyanto A, terutama izin eksplorasi di Desa Bonto Katute.

Tak hanya itu, investasi tambang, kerap masuk tanpa sosialisasi dengan masyarakat sekitar. Seperti dialami Suku Lauje Kilo 7, Kecamatan Dondo. Dari Jatam Sulteng, menyebutkan, mereka adalah masyarakat adat diapit dua kawasan konservasi: Cagar Alam Tinombala dan Cagar Alam Sojol. Setiap hari mereka bertani padi ladang, bawang, ubi, jagung, kacang dan sayur-sayuran.

Masyarakat juga  menanam cengkeh dan kakao. Mereka mendapatkan pengetahuan dari pembinaan dari gereja Kristen di daerah itu.

Periode 2008 hingga kini Pemerintah Kabupaten Toli-Toili menerbitkan 23 izin usaha pertambangan (IUP) persis di tengah-tengah pemukiman dan peladangan warga. Di sana juga ada Blok IV Dondo – Tolitoli seluas 28.420 hektare kontrak karya CPM anak perusahaan PT Bumi Resources Mineral (BRM).

Andika, Manajer Riset dan Kampanye Jatam Sulteng mengatakan, jarak perkampungan dengan pusat eksplorasi PT Sulawesi Molibdenum Management (SMM), salah satu perusahaan Australia dan China yang memiliki lima IUP di kawasan ini, hanya tujuh kilometer.

“Namun,  tak satu pun diantara mereka ketika ditanyai mengetahui rencana tambang itu. Bahkan apa itu industri tambang, sema sekali informasi asing bagi mereka,”katanya. Yang jelas, pembangunan berbasis perluasan tambang, akan menjadi ancaman bagi mereka.

Danau di Kecamatan Dondo yang terancam tambang. Kawasan sekitar telah dikapling-kapling untuk tambang. Foto: Jatam Sulteng
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,