Indonesia berlimpah sumber pangan. Negeri ini setidaknya memiliki 77 jenis sumber karbohidrat, 26 jenis kacang-kacangan, 389 buah-buahan, 75 sumber lemak dan 232 jenis sayuran. Sayangnya, sebagian pangan malah masih dipenuhi dari impor
Kondisi di lapangan, komoditas-komoditas unggulan pangan nasional tahun 2012 sebagian besar masih tergantung impor. Sebut saja, impor beras 1,95 juta ton, jagung 2 juta ton, kedelai 1,9 juta ton, dan gandum 7 juta ton. Lalu, daging sapi setara 900 ribu ekor, ayam indukan 900 ribu ekor, gula 3,06 juta ton dan teh US$11 juta. Termasuk garam, ikan, susu, buah-buahan dan sayuran.
Tejo Wahyu Jatmiko, Koordinator Nasional Aliansi untuk Desa Sejahtera (ADS) bertepatan dengan Hari Pangan Sedunia, 16 Oktober ini mengatakan, hingga saat ini, kebijakan mengatasi masalah pangan selalu mengambil jalan pintas dengan impor. Padahal, negeri ini menyediakan sumber pangan melimpah.
“Keragaman hayati menyediakan sumber pangan karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral yang dapat mencukupi kehidupan rakyat,” katanya di Jakarta.
Keadaan tambah parah kala keragaman produk pangan rakyat, dialihkan ke monokultur. Achmad Surambo, Koordinator Pokja Sawit ADS, merasa aneh saat sumber pangan yang beraneka ragam malah diseragamkan secara membabi buta. “Antara lain diubah menjadi deretan perkebunan sawit, lebih dari 80 persen untuk ekspor.”
Lahan-lahan pertanian pangan dan hutan, sebelumnya menyediakan berbagai jenis umbi, sagu, sukun juga berbagai sumber protein, perlahan dihilangkan. “Pola makan masyarakat sekitar berubah, sebagian besar pangan harus dibeli dari wilayah jauh, karena sudah tidak bisa lagi ditemukan di lingkungan sekitar,” ucap Surambo.
Abdul Halim, Koordinator Pokja Perikanan pun angkat bicara. Dia mendesak, pengelolaan sumber protein laut yang berkelanjutan dan berkeadilan. Kini, sumber protein melimpah di laut Indonesia malah tidak bisa dinikmati rakyat. “Pencurian ikan, pembatasan akses masih berjalan, menyebabkan protein dari laut sulit dicari.”
Dampak perubahan iklim pun harus segera diantisipasi cerdas .“Bukan hanya mengiyakan berbagai tawaran benih atau teknologi dari luar yang lagi-lagi hanya menciptakan ketergantungan. Tetapi melihat apa yang sudah dimiliki, mengembangkan dan menggunakan sesuai kebutuhan,” ucap Tejo. Selain itu, masyarakat perlu diajak mengenal kembali kekayaan pangan dan mengkonsumsi sehari-hari.
Masalah pangan dan kelaparan, kata Tejo, tidak bisa selesai hanya dengan memacu produksi. Namun, harus mengubah cara pandang dan menangani masalah pangan secara cermat, cerdas dan berkeadilan.
Laporan PBB, ada lebih dari 870 juta orang di dunia, atau satu dari delapan menderita kelaparan dan kekurangan gizi. Sebanyak 97,9 persen orang kelaparan hidup di negara berkembang. Sebesar 870 juta orang kelaparan dan kekurangan gizi hidup ini hidup bersama 1,4 miliar orang yang obesitas, kelebihan berat badan.
Lebih parah lagi, 80 persen orang kelaparan adalah mereka yang justru terlibat langsung dalam proses penyediaan pangan. Kondisi tambah buruk kala dukungan dana pemerintah untuk produsen pangan skala kecil seperti petani, nelayan tradisional, dan pekebun berkurang hingga 77 persen dari 1996-2003. Dan terus terjadi hingga kini.
Selain itu, di Hari Pangan Sedunia ini, gabungan organisasi masyarakat sipil mengadakan aksi dimulai di Stasiun Gambir, Kementerian Perdagangan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, sampai Istana Negara. Aksi ini untuk mengingatkan negara terhadap kewajiban memenuhi hak atas pangan untuk kedaulatan pangan.
Organisasi ini, antara lain Koalisi Anti Utang (KAU), Walhi, SPI , Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Field Indonesia, Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), dan Solidaritas Perempuan (SP). Lalu, Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA), Lembaga Studi-Aksi Untuk Demokrasi Indonesia (LS-ADI), dan Green Student Movement (GSM)