,

Terancam Tambang, 10 Ribu Warga Berencana Duduki Kantor Bupati Belitung

Sekitar 22 desa pesisir dan 9.000 nelayan akan terancam jika pertambangan laut terus diberi izin.

KONDISI di Kabupaten Belitung, makin memanas. Sejak 10 September 2012,  kegelisahan dan kekesalan masyarakat pesisir utara meningkat. Mengapa?  Ternyata, karena PT. Bumi Hero Perkasa (BHP) memasang spanduk pengumuman berisikan rencana kegiatan penyusunan studi analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Perusahaan tambang ini berniat beroperasi di daerah ini.

Masyarakat bersama-sama dengan Walhi, B-Care, Lembaga Adat Kabupaten Belitung, Persatuan Kedukunan se Belitung, mahasiswa, Mapala, pelaku pariwisata dan aliansi lain berencana menduduki kantor Bupati Belitung pada Rabu 17 Oktober 2012. Massa yang turun diperkirakan sekitar 10.000 orang.

Tumpak Winmark Hutabarat, Staf Media dan Publikasi Eksekutif Nasional Walhi, di Jakarta, Selasa(16/10/12) mengatakan, masyarakat menuntut bupati mencabut semua perizinan tambang laut di wilayah perairan Belitung.  “Bupati diminta menggagalkan Amdal PT. BHP yang saat ini dalam proses pengesahan,” katanya.

Menurut dia,  sejak beberapa tahun terakhir masyarakat di Pulau Belitung hidup dalam kegelisahan. Pemerintah daerah terus berusaha memasukkan pertambangan laut di perairan sana.

Jika pertambangan tetap berjalan, sedikitnya ada 22 desa pesisir dan 9.000 nelayan di Kabupaten Belitung dalam kondisi terancam. Dari hitungan sederhana penghasilan dari laut di satu desa pesisir dalam satu tahun minimal Rp13, 464 miliar.

Penolakan tambang laut PT BHP pun muncul dari berbagai desa, antara lain, Desa Tanjung Binga, Desa Keciput, Desa Tanjung Tinggi, Desa Sijuk, dan Desa Sungai Padang.

Kekhawatiran warga bertambah karena saat ini perusahaan makin gencar memasukkan kapal isap produksi. Mereka beroperasi memegang Surat Keputusan Bupati Belitung No. 004/IUP-E/DPE/2009 direvisi Surat Keputusan Bupati No. 067/REV.IUP-E/DPE/2011. “Masyarakat sering berjuang,  menolak. Sangat sering dilakukan. Mulai dari pengumpulan tanda tangan sampai aksi.”

Warga khawatir, karena belajar dari kerusakan perairan Pulau Bangka. Kini, di Bangka, ada 72 unit kapal isap produksi dan ribuan tambang inkonvensional (TI) atau tambang tradisional  apung yang rentan terjadi konflik horizontal.

Padahal, Pulau Belitung ditetapkan sebagai destinasi wisata ketiga di Indonesia. “Mayoritas masyarakat juga menggantungkan hidup dari laut seperti nelayan, pemandu wisata dan travel.”

Kegelisahan masyarakat pesisir masih panjang. Penyebabnya, antara lain wacana pemerintah membangun Dolpin Island, pertambangan laut di perairan Olivir, pertambangan di perairan Membalong dan pertambangan di perairan Pering. Lalu pertambangan di perairan Sijuk serta masih ada puluhan perizinan tambang laut yang akan dikeluarkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk beroperasi di perairan Pulau Belitung.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,