,

Asia Pulp and Paper Terus Lolos Uji SVLK Kendati Klien Berlarian

Kehilangan klien akibat sumber kayu yang dinilai meragukan, ternyata tidak menghalangi Asia Pulp and Paper serta beberapa perusahaan yang bernaung di bawahnya untuk lolos uji dan dianggap pantas mendapat sertifikat produk yang ramah lingkungan. Sertifikasi SVLK atau Sistem Verifikasi Legalitas Kayu ini dianggap sebagai sebuah kunci untuk memasuki pasar Eropa di masa mendatang, karena dinilai setara dengan standar Voluntary Partnership Agreement (VPA) dibawah Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) Action Plan yang dianut oleh Uni Eropa.

Dua pekan silam, tepatnya tanggal 7 November 2012, sertifikasi final diterima oleh salah satu anak perusahaan Asia Pulp and Paper (APP) bernama Pindo Deli Perawang. Ini adalah sertifikasi yang berhasil diterima oleh anak perusahaan Asia Pulp and Paper yang kesembilan kalinya, setelah delapan perusahaan pemasok kayu  lainnya menerima sertifikasi serupa bulan Juli tahun ini.

Sistem SVLK yang diterapkan oleh Pemerintah Indonesia untuk menjamin legalitas sumber kayu yang dimulai sejak 2009 silam ini dikeluarkan dari hasil audit yang dilakukan oleh PT TUV Rheinland Indonesia. Di bulan Juli 2012 lalu, selain PT Pindo Deli Pulp & Paper Mills di Karawang, sertifikat ini juga diterima oleh Pabrik Kertas Tjiwi Kimia di Sidoarjo dan PT Ekamas Fortuna di Malang, yang semuanya berlokasi di Jawa. Asia Pulp and Paper berencana akan membereskan seluruh sertifikasi ini hingga akhir tahun 2012, agar mereka siap menembus pasar Eropa mulai awal Januari 2013 mendatang.

Ian Lifshitz, Direktur Keberlanjutan Program Asia Pulp and Paper di Amerika Utara menyatakan bahwa dengan sertifikasi ini, produk APP mereka membuktikan bahwa mereka bisa memenuhi kewajiban pasar terhadap kayu yang legal dan membuktikan bahwa kayu yang diimpor dari Indonesia berasal dari sumber yang sah, dan bisa terlacak. “Kami gembira bisa meraih target kami jauh sebelum tenggat waktu yang kami terapkan sendiri,” ungkap Lifshitz kepada Financial Times.

Amerika menerapkan sistem standar bernama Lacey Act sejak 2008 silam, dimana semua sumber kayu impor harus berasal dari kayu yang legal dan bisa dilacak. Sama seperti SVLK yang bertujuan menekan pencurian kayu seperti Lacey Act, ia juga memiliki peran penting untuk bermain dalam membantu perusahaan di Indonesia memenuhi European Timber Regulation (EUTR). Pada bulan April 2011, Indonesia dan Uni Eropa menandatangani Perjanjian Kemitraan Sukarela (VPA) di bawah Rencana Aksi Penegakan Hukum Kehutanan, Tata Kelola dan Perdagangan (FLEGT) . Berdasarkan perjanjian ini, SVLK diakui sebagai sistem yang kredibel untuk menjamin legalitas kayu dari Indonesia. Perjanjian VPA antara Uni Eropa dan Indonesia diharapkan mulai beroperasi pada tahun 2013.

SVLK kini wajib bagi Indonesia untuk menembus Eropa. Foto: Aji Wihardandi

Sementara itu, Dr Ir. Dwi Sudharto, M.Si, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan di Departemen Kehutanan Republik Indonesia, menyatakan: “Sebagai standar legalitas kayu nasional, SVLK memberikan jaminan kepada pasar global bahwa semua produk berbasis kayu Indonesia dapat dilacak ke sumbernya. Standar kami diakui secara internasional dan memfasilitasi ekspor produk Indonesia di seluruh dunia. Hal ini tidak akan mungkin tanpa dukungan dari industri, dan APP telah menjadi pendukung kuat program ini dari awal. Kami memuji APP pada pencapaian memiliki semua pabrik yang bersertifikat.”

Fakta ini agak ironis, mengingat beberapa peristiwa yang terjadi beberapa bulan terakhir ini, dimana Asia Pulp and Paper menjadi salah satu perusahaan yang dihindari oleh berbagai bisnis besar dunia karena dinilai terkait perusakan hutan hujan tropis di dunia, terutama di Sumatera, Indonesia.

Sebelumnya tanggal 11 Oktober 2012 silam, Walt Disney perusahaan bisnis anak-anak yang memiliki 25.000 pabrik di seluruh dunia memutuskan untuk tidak membeli kertas dari Indonesia atas konsultasinya dengan Rainforest Action Network karena dinilai merusak hutan tropis Indonesia.

Walt Disney merupakan perusahaan penerbitan kesembilan yang sudah mengambil langkah tegas memutus rantai deforestasi dengan pebisnis yang melakukan penggundulan hutan, sebagai sebuah tanggapan nyata dari penelitian yang dilakukan oleh Rainforest Action Network di tahun 2010, yag memuat data-data ilmiah serta bukti-bukti bahwa buku-buku yang diterbitkan untuk anak-anak selama ini sudah menggunduli hutan dunia.

Penebangan yang dilakukan APP di Sumatera. Foto: Greenpeace

Sementara itu, berdasar laporan dari Greenomics, raksasa kayu Indonesia PT Asia Pulp and Paper (APP) memberikan data jauh dari kenyataan mengenai area moratorium penyiapan lahan hutan alam pada konsesi ‘milik’ mereka maupun pemasok  di Sumatera dan Kalimantan. Fakta di lapangan, ‘hutan alam’ yang disiapkan seluas hampir 200 ribu hektar itu ternyata mayoritas berkonflik dengan masyarakat.

Demikian laporan Greenomics Indonesia yang dirilis 22 Oktober 2012, berjudul “Mengapa Asia Pulp and Paper (APP) direkomendasikan oleh Kementerian Kehutanan Indonesia untuk merevisi “APP Sustainability Roadmap 2020 and beyond?”

Laporan Greenomics itu juga menyebutkan, areal moratorium penyiapan lahan pada hutan alam di sembilan konsesi seluas 198.841 hektar mayoritas sudah tidak lagi hutan alam tapi areal berkonflik dengan masyarakat. Jadi, tidak tepat jika disebutkan sebagai areal moratorium penyiapan lahan pada hutan alam dalam pembangunan HTI seperti yang disebutkan dalam APP Sustainability Roadmap.

APP sendiri mengakui, sebagian besar areal moratorium itu berupa belukar atau lahan garapan masyarakat (lahan berkonflik karena dikuasai pihak ketiga), namun masih ada sebagian kecil berupa hutan alam. APP menyebutkan, ada areal hutan alam seluas 204 hektar berada satu blok, tidak terpencar-pencar, yang terkena kebijakan moratorium. “Dengan luas izin sembilan HTI milik APP seluas 1.082.934 hektar, areal moratorium hutan alam yang benar-benar masih berupa tutupan hutan alam dan berada dalam satu blok hanya 204 hektar, tentu klaim moratorium hutan alam itu tidak tepat,” tulis laporan itu.  Areal 204 hektar itu terdapat di konsesi HTI milik APP, yakni PT Satria Perkasa Agung Unit Merawang.

KFC Inggris Raya, tak lagi gunakan kertas dari Asia Pulp and Paper. Foto: Greenpeace

Selain Walt Disney, raksasa bisnis lain yang meninggalkan APP adalah jaringan Kentucky Fried Chicken di Inggris Raya. Dalam pernyataan kebijakan mereka, KFC Inggris Raya berkomitmen untuk menggunakan kertas hanya dari produksi kertas yang berkelanjutan di seluruh rantai produksi mereka, termasuk pembungkus makanan siap saji mereka. Menurut Greenpeace, hal ini termasuk juga menghentikan penggunaan kertas dari Asia Pulp and Paper dari Indonesia.

Dalam pernyataannya, KFC lebih lanjut menjelaskan bahwa mereka akan mewajibkan setiap penyuplai kertas untuk memberikan sertifikasi dan bukti bahwa semua produk mereka sudah memenuhi standar manajemen kehutanan yang berkelanjutan. Lebih lanjut, jaringan makanan siap saji ini hanya akan menerima kertas pembungkus makanan yang bersertifikat Forest Stewardship Council (FSC) dan sistem sertifikasi nasional yang tergabung dalam Program for Endorsement of Forest Certification, seperti misalnya Sustainable Forestry Initiative.

KFC akan melangkah lebih jauh menggunakan kertas FSC 100% di tahun-tahun mendatang.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,