Para Aktivis Lingkungan Meminta KLH Kaji Sistem dan Hapus Penghargaan Proper

“Hentikan Proper Tindak Penghancur Lingkungan.” “Proper Pelindung Perusak Lingkungan.” “Proper Topeng Perusahaan Perusak Lingkungan.”

Begitu bunyi spanduk dan  poster yang dibawa gabungan organisasi lingkungan kala aksi di Kementerian Lingkungan Hidup, Jumat(21/12/12).

Mereka antara lain dari Walhi, Jatam, Telapak, Kiara, ICEL, Satu Dunia, dan AMAN, protes atas pemberian trophy Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (Proper) hijau dan emas kepada perusahaan-perusahaan perusak lingkungan, seperti PT Lapindo Brantas. Perusahaan milik keluarga Aburizal Bakrie unit Wunut ini, mendapatkan Proper hijau.  Padahal, seharusnya, Proper hijau dan emas itu, sebagai label bahwa perusahaan telah berkinerja baik dalam mengelola lingkungan.

Untuk itu, mereka meminta  KLH serius mengkaji ulang sistem dan pelaksanaan Proper serta menghapus pemberian penghargaan bagi peserta. Sebab, menaati ketentuan peraturan UU sudah menjadi kewajiban perusahaan.

Gabungan aktivis lingkungan ini meminta KLH memperbaiki indikator dan kinerja Proper, antara lain, mekanisme jelas bagi partisipasi masyarakat, konsultasi publik atas kinerja peserta Proper, dan perbaikan maupun peninjauan standar lingkungan. Lalu, memasukkan dampak sosial perusahaan terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar dalam penilaian sebagai implikasi operasional dan kinerja perusahaan, menindak tegas perusahaan penerap standar ganda pada unit bisnis atau anak perusahaan. Juga menghapus pemberian penghargaan pada peserta Proper. Lalu, Proper dijadikan salah satu sistem environmental compliance history atau catatan ketaan kinerja lingkungan perusahaan yang dapat diakses publik.

Pius Ginting,  Manajer Kampanye Tambang dan Energi Walhi dalam orasi mengatakan, Proper itu digunakan perusahaan  sebagai alat jualan bahwa mereka sudah baik. “Padahal, di lapangan perusahaan itu merusak lingkungan,” katanya di Jakarta, Jumat(21/12/12).

Dia menyesalkan,  Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) memberikan penghargaan dengan begitu mudah. Padahal, Proper itu sebuah kebijakan negara jadi memiliki kekuatan hukum. “KLH menyatakan perusahaan itu baik tidak melakukan pencemaran, padahal mereka banyak dosa.”

Dalam aksi itu, mereka mengajukan beberapa keberatan dan desakan kepada KLH.  Mereka protes standar ganda perusahaan peserta Proper, seperti Lapindo unit Wunut menerima Proper hijau. Padahal, perusahaan ini menimbulkan bencana nasional dampak luapan lumpur di area operasi di Sidoarjo, sekitar 4,2 kilometer dari unit Wunut. “Proper hijau kepada Lapindo ini menimbulkan sesat pikir dan menjadi greenwash perusahaan,” ucap Pius.

Lalu, katanya, KLH berkelit menyatakan, Proper hanya melihat unit bisnis dari suatu korporasi, bukan korporat. “Metode penilaian ini sesat pikir, sangat dangkal dan tidak mendorong penataan hukum lingkungan oleh korporat.” KLH, seharusnya mendorong penataan kinerja lingkungan oleh perusahaan secara menyeluruh sesuai prinsip extended producers responsibility dan corporate social responsibility serta polluter pays principle.

Perusahaan,  harus menjamin penerapan standar lingkungan dan keselamatan yang tinggi, tidak hanya pada induk perusahaan juga pada anak dan unit bisnis mereka. “KLH sengaja membiarkan penerapan standar ganda perusahaan. Di satu unit dinilai baik, sedang unit lain menimbulkan masalah lingkungan yang tak kunjung selesai.”

Standar ganda ini, tak hanya pada PT Lapindo Brantas, tapi pada PT Indah Kiat Pulp and Proper (PT IKPP). Perusahaan ini mendapatkan Proper hijau tahun ini dan biru pada 2011. Padahal, PT IKPP yang beroperasi di Serang, Banten, menimbulkan pencemaran berat di Sungai Ciujung. Lucunya, masalah PT IKPP Serang ini  ditangani KLH tapi tidak menjadi dasar pertimbangan dalam memperbaiki metodologi Proper.

“PT Lapindo Brantas dan PT IKPP, jelas tak layak mendapatkan Proper hijau. Begitu juga perusahaan lain yang mendapatkan Proper biru, hijau dan emas yang menerapkan standar ganda dalam unit bisnis.”

Setelah aksi di depan Kantor KLH, para aktivis ini ingin bertemu Menteri Lingkungan Hidup.  Karena menteri tak bisa ditemui, aksipun bubar.

Dari KLH, Djurit Teguh Prakoso, Kabid Energi pada Asisten Deputi Pertambangan Energi dan Migas, ditugaskan berdialog dengan peserta aksi. Urung berdiskusi dengan aktivis, Djurit pun menjelaskan pemberian Proper kepada wartawan. “Ini khusus yang pertambangan ya, kalau yang manufaktur, bagian lain,” katanya.

Djurit menjelaskan secara teknis penilaian peserta Proper,  terutama PT Lapindo Brantas unit Wunut. “Saya ini orang teknis. Hasil penilaian kami beritakan kepada Dewan Pertimbangan Proper yang menerapkan kebijakan Proper ini.”

Menurut dia, penilaian Proper berdasarkan unit bisnis per area. “Kalau sektor Wunut, Wunut aja, ga yang lain.” Penilaian itu, dengan melihat lima aspek, yaitu analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), upaya pengelolaan lingkungan (UKL)-upaya pemantauan lingkungan (UPL),  pengelolaan limbah B3, pengendalian pencemaran air, dan pengendalian pencemaran udara.

Untuk PT Lapindo Brantas, unit Wunut, semua sudah terpenuhi. Perusahaan ini mendapatkan nilai total 280,125 dari beberapa kriteria penilaian sistem manajemen lingkungan, pemanfaatan sumber daya dan efesiensi bidang, serta CSR.

Dia menjelaskan sejarah ‘rapor’ Lapindo unit Wunut. Pada 2003-2004, Proper merah, 2004-2005 biru, Lalu, 2006-2007 biru, 2007-2008 biru minus, 2008-2009 sampai 2011 mendapatkan proper biru. Berdasarkan kebijakan, jika tiga kali Proper hijau berturut-turut maka bisa menjadi kandidat mendapatkan Proper hijau.

Menilai 1.317 perusahaan peserta Proper dalam satu tahun tentu KLH memerlukan biaya besar, tak hanya untuk operasional tim, juga ongkos-ongkos tes sampel. Program ini, kata Djurit, semua dibiayai KLH tetapi dia tidak menjelaskan berapa besaran anggaran ini.

Dia mengaku, tim KLH turun ke lapangan satu per satu untuk verifikasi, setelah mendapatkan laporan swa pantau dari perusahaan. “Seperti di Lapindo Wunut, tim turun ke sana. Kita lihat aspek-aspek penilaian, semua bagus. Memang, kalau di bawah, ngebor satu sumber, tapi kita lihat yang di atas.”

Bagaimana usulan agar sistem atau kriteria penilaian Proper diperbaiki demi mengingkatkan kredibilitas program ini? Djurit tak dapat menjawab pasti karena dia bukan pembuat kebijakan. Namun, jika melihat rekam jejak Proper ini, ada beberapa kali perubahan kriteria, seperti periode 2005-2006 yang sempat kosong karena sedang menggodok kriteria.

“Ya, pengkajian kriteria masih mungkin. Itu jadi masukan kita,” katanya.

Semoga saja, terjadi perbaikan kriteria, bukan perubahan kriteria yang hanya lebih memberikan keringanan standar kepada perusahaan.

Aksi gabungan organisasi lingkungan di Kementerian Lingkungan Hidup. Foto: Sapariah Saturi
Protes aktivis lingkungan kepada KLH yang memberikan penghargan Proper Hijau dan Emas kepada perusahaan-perusahaan yang di lapangan ternyata merusak lingkungan. Foto: Sapariah Saturi
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,