“Mau ziarah ya pak, mau saya antar?” demikian tukang ojek di KM 23 Pameungpeuk menebak tujuan Mongabay, sekaligus sebagai respon saat saya bertanya arah menuju ke Cagar Alam Leuweng Sancang. Saat itulah saya tersadarkan bahwa Leuweung (bahasa Sunda artinya: hutan) Sancang memang lebih dikenal sebagai destinasi peziarahan daripada dikenal sebagai kawasan Cagar Alam yang memiliki berbagai keunikan hayati maupun bentang alam.
Sesampainya di desa Sancang, yaitu desa terakhir sebelum memasuki kawasan hutan haripun beranjak senja. Tepat di batas desa, saya menjumpai pos sederhana, yang rupanya menjadi semacam pintu batas yang membatasi antara batas kawasan dengan pemukiman terakhir penduduk. Pos jaga tersebut malam itu dipakai duduk-duduk oleh beberapa pemuda kampung. Dari penampilannya saya berkesimpulan, mereka adalah para tukang ojek yang menunggu rejeki untuk mengantar peziarah ke dalam hutan.
Tidaklah aneh, jika di kampung Sancang ini, tukang ojek dan jasa antar siap melayani tamu menuju ke lokasi ziarah di tengah hutan. Bahkan, para tukang ojek siap 24 jam khusus untuk tanggal dan malam-malam tertentu.
Setelah menghabiskan malam dengan menginap di salah satu rumah penduduk di kampung Sancang, paginya kami berdua berangkat ke hutan diantar oleh dua orang pemuda lokal yaitu Arsyad dan Rian. Dengan bahasa Sunda yang patah-patah, beberapa kali saya merasa perlu mengulangi kepada mereka bahwa maksud kami berkunjung ke Sancang bukanlah untuk berziarah tetapi hanya untuk berjalan-jalan di dalam hutan.
Kelompok hutan primer tersisa di Sancang
Saat mulai berjalan memasuki hutan Sancang, saya mulai dihinggapi perasaan kecewa ketika menjumpai di sepanjang sisi jalan setapak hutan hutan primer telah berubah menjadi semak belukar bekas log over area. Saya agak sedikit terhibur, ketika sang pemandu meyakinkan saya bahwa di sekitar sungai Sancang kita akan menemukan hutan yang masih lebat. Berbelok di percabangan jalan, mengambil arah ke timur, apa yang dikatakan oleh sang pemandu ternyata benar, hutan semakin melebat, seiring dengan jalan setapak menurun menuju langsung ke sungai Sancang.
Tepat di dekat tebing batu yang menjulang di arah utara itulah, kami menjumpai pohon meranti merah (Shorea javanica) yang menjulang tinggi. Shorea ini sendiri merupakan jenis pohon raksasa hutan dipterocarpaceae asli Jawa yang masih tersisa hingga saat ini. Mungkin untuk saat ini, hanya segelintir spesimen spesies ini yang berada di hutan alam konservasi saja yang masih tersisa dari periode pembalakan liar. Sesekali dari atas tajuk, kami mendengar suara owa (Hylobates moloch), primata tangkas endemik Jawa yang sedang mencari makan, yang berlompatan diantara dahan pohon tinggi.
Dalam sebuah kesempatan saya sempat bertanya kepada pemandu saya, tentang keberadaan bunga padma (Rafflesia padmae) yang pernah saya temukan literaturnya dari hasil sebuah riset di hutan Sancang sekitar dua dekade lalu. Namun respon sang pemandu tampaknya negatif. Ia tidak memahami apa yang saya maksud. Dalam hati saya bergumam, apakah jenis Rafflesia ini telah punah karena tanaman inangnya liana pemanjat (Tetrastigma sp.) telah habis dijarah?
Melanjutkan perjalanan menyusuri tepian sungai Sancang, saya amat tertarik untuk mengamati perubahan tipe vegetasi yang ada. Jika di sekitar tebing batu hutan ditutupi oleh vegetasi hutan dataran rendah yang didominasi oleh pohon bertajuk tinggi berbanir raksasa, maka melanjutkan perjalanan di sepanjang sungai Sancang, yang kadang melewati rawa kecil, vegetasi perlahan berubah dengan dominasi nipah dan jenis rotan berduri.
Semakin menuju ke pantai, jenis vegetasi pun mulai kembali berubah menjadi hutan pantai, dengan dominasi vegetasi pandan pantai (Pandanus odoratissimus) berbuah merah seperti nenas, ketapang (Terminalia catappa) dan waru laut (Thespesia populnea) berbatang kokoh. Rupanya inilah bagian akhir dari enclave hutan primer yang masih tersisa di hutan Sancang.
Pantai Pasir Putih Mempesona
Dari sini perjalanan kami berubah dengan menyusuri garis pantai. Bergerak menyusuri garis pantai menuju ke arah barat, pemandangan pantai memberikan dua perbedaan kontras. Udara berbau asin, panas, deburan ombak memecah, bercampur dengan angin dari arah hutan di sela-sela pohon ketapang dan waru yang membawa kesejukan.
Pasir putih di bawah kaki memberikan kerepotan sendiri saat berjalan, terlebih ketika beberapa butir-butir kecil sisa karang tersebut terselip diantara jari-jari kaki. Sepanjang perjalanan garis pantai ini mau tak mau decakan kagum muncul penuh pesona. Untuk para peminat fotografi inilah tempat yang tepat untuk mencurahkan keinginan untuk mengabadikan keindahan bentang alam yang masih alami ini.
Di sebuah pondok yang ada di pantai, beberapa nelayan berkumpul di pondok untuk menghitung hasil tangkapan yang diperoleh dari perburuan di karang-karang pantai. Ternyata memang bukan tangkapan hasil laut biasa, tetapi lobster! Ya, lobster yang diambil dari kawasan cagar alam Leuweung Sancang merupakan komoditi ekonomi tinggi. Dengan harga jual di tempat Rp 400.000/kg lobster ini merupakan komoditi yang dicari, untuk kemudian dari tempat ini langsung dibawa ke Jakarta, dan mungkin langsung diterbangkan ke destinasi terakhirnya di Hongkong dan Singapura. Selain lobster, maka jenis-jenis ikan hias air laut eksotispun diambil dari kawasan ini.
Melanjutkan perjalanan, kami mulai menjumpai jenis mangrove yang tumbuh berkelompok di tepi muara sungai Cipalawah, di sisi tepi barat batas dari hutan Sancang. Pohon ini dikenal dengan nama Kaboa (Lumnftzera racemosa), sejenis vegetasi endemik yang menurut literatur hanya tumbuh dan hidup di hutan Sancang. Deskripsi tumbuhan ini memiliki batang utama yang rapat, dengan akar yang solid (tidak berbentuk akar lutut), memiliki bentuk daun kecil, serta memiliki batang cabang yang keras liat.
Sebagai tumbuhan endemik, saat ini ancaman dari keberadaan vegetasi ini adalah pengambilan batang pohon kaboa secara liar, terutama dari para peziarah. Meskipun telah terdapat larangan, tetapi terdapat kepercayaan bahwa jika berziarah ke Sancang akan menjadi tidak lengkap tanpa adanya buah tangan berupa tongkat dari batang pohon kaboa.
Sancang, Wilayah Open Access
Melihat apa yang saya alami hari ini, dalam perjalanan pulang kembali ke kampung Sancang, terus berputar di dalam kepala saya sebuah pikiran menggelitik tentang masa depan hutan Sancang. Apakah hutan ini dapat terus bertahan dan lestari? Apakah satwa, tumbuhan, bentang alam yang saat ini masih ada akan tetap bertahan?
Saat ini, hutan Sancang telah menjadi area open access dimana simbol-simbol kehadiran negara terasa absen. Tidak ada panduan otoritas negara di kawasan ini, bahkan pelang papan nama sekalipun. Disisi lain saya tidak akan menyalahkan penduduk sekitar Sancang jika pemerintah abai memberikan pendidikan akan pentingnya kawasan cagar alam ini. Apakah pemerintah ‘takut’ dengan para penjarah dan backing dibelakangnya?
Dalam perjalanan pulang, bahkan saya sempat melihat seseorang, -tampak dari wajahnya lelaki ini orang dari kota,- mencangklong senapan buru burung di punggung sambil mengendarai motor trailnya. Mungkin saja saat itu ia sedang merasa melakukan perjalanan safari heroik di Afrika.
Satu fenomena yang dapat saja simpulkan dari perjalanan singkat hari ini ialah, blok hutan primer Sancang masih dapat bertahan hingga saat ini, -bukan karena adanya keberadaan negara,- namun karena adanya petilasan yang dikeramatkan oleh masyarakat, tempat para peziarah berdatangan. Para penjarah hutan yang paling berani pun, -selama masih waras,- tentunya tidak akan melakukan vandalisme untuk merusak hutan yang berada di lokasi ini.
Dengan logikanya sendiri, mitos telah menyelamatkan hutan primer Sancang dari kerusakan lebih dalam, ketika institusi modern yang diwakili oleh Kementerian Kehutanan dan Pemda ternyata tidak mampu untuk menggantikan perannya.
Pertanyaannya, sampai kapan ini semua akan bertahan?
Fakta singkat dan cara menuju Leuweung Sancang
Kerusakan hutan alam di Cagar Alam Leuweung Sancang melalui pembalakan liar terjadi sistematis sejak awal milenium bertepatan dengan saat reformasi. Sejak itu, luas hutan alam semakin menyusut dengan kerusakan lebih dari 200 hektar. Kerusakan hutan berdampak kepada hilang dan berkurangnya satwa liar endemik seperti macan tutul (Panthera pardus), banteng (Bos sondaicus), rusa (Cervus sp.), merak (Pavo muticus), julang (Aceros undulatus) dan satwa liar lainnya. Selain kerusakan hutan, maka perburuan satwa menjadi masalah serius di Sancang.
Leuweung Sancang sendiri mulai ditetapkan melalui peraturan Menteri Pertanian sebagai Cagar Alam dengan luas 2.157 ha sejak tahun 1978, ditambahkan kedalamnya lewat peraturan Menteri Kehutanan sejak tahun 1990 seluas 1.150 ha luas laut yang memanjang dari sungai Cimerak hingga Cikaengang.
Untuk menuju kawasan ini, maka dapat ditempuh dari Bandung melalui Garut dan Pameungpeuk (kota kecil terakhir di pantai selatan Garut), kemudian menuju timur searah garis pantai Samudera Hindia, hingga berbelok di KM 23 menuju arah selatan di tengah perkebunan karet PTPN VIII Miramare.