Pada Kamis, 16 Mei 2013 sidang putusan terhadap dua aktivis lingkungan dari Walhi Sumatera Selatan, Anwar Sadat dan Dedek Chaniago, digelar di PN Palembang. Majelis Hakim diketuai Arnela, memutus mereka melakukan tindak pidana penghasutan dan divonis tujuh bulan penjara dipotong masa tahanan. Hakim menggugurkan pasal pengrusakan yang didakwakan kepada dua aktivis ini.
Munhur Setyaphrabu, Manager Advokasi Kebijakan dan Pembelaan Hukum Eksekutif Nasional Walhi sekaligus tim kuasa hukum Anwar Sadat dan Dedek Chaniago, menilai hakim berpendapat lain dari jaksa penuntut umum (JPU) dengan menggunakan pasal 160 KUHP sebagai dasar hukum keputusan. “Ini berbeda dari surat tuntutan JPU yang mendasarkan tuntutan pasal 170 ayat 2 ke-1 KUHP,” katanya, Jumat(17/5/13).
Perbedaan ini, sangat jelas mempengaruhi kekuatan pembuktian selama persidangan mereka berlangsung. Dia mengatakan, Anwar Sadat dan Dedek Chaniago oleh Majelis Hakim telah divonis karena bertanggung jawab atas aksi di depan markas kepolisian daerah Sumsel. Saat itu, kapasitas Dedek Chaniago sebagai koordinator aksi. Pengenaan pasal 160 KUHP menunjukkan hakim gagal memahami konstruksi fakta dan pasal hukuman.
“Jika dihubungkan antara pasal yang didakwakan dengan fakta di persidangan, putusan ini putusan mistake yuris atau salah.” Sebab, selama persidangan tidak ada satupun saksi ataupun bukti rekaman menunjukkan orasi mereka menimbulkan akibat pidana. Mengingat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-VII/2009 menyatakan Pasal 160 KUHP adalah delik materiil, jadi pasal ini haruslah diikuti perbuatan pidana lain.
Khalisah Khalid, Kepala Departemen Jaringan dan Pengembangan Sumber Daya Walhi Nasional juga angkat bicara. Dia mengatakan, pasal penghasutan yang digunakan sebagai dasar hukum majelis hakim itu pasal usang. “Buruknya ini selalu digunakan kekuasaan untuk membungkam aktivis yang lantang menyuarakan praktik ketidakadilan oleh penguasa baik korporasi dan negara terhadap petani dan rakyat.”
Menurut dia, yang disuarakan Anwar Sadat dan Dedek Chaniago merupakan perjuangan mendapatkan kedaulatan dan keadilan bagi petani. Selama ini, tanah petani diambil lewat cara-cara kekerasan demi mewujudkan perusahaan negara: PTPN VII Cinta Manis. Seharusnya, perjuangan ini dilindungi Konstitusi dan perundang-undangan antara lain UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal, 66 menyebutkan, memberikan perlindungan terhadap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup dari tuntutan pidana dan perdata. “Sayangnya, pasal cukup progressif ini diabaikan majelis hakim.”
Meskipun para aktivis diupayakan dibungkam lewat penangkapan sampai pemenjaraan, Walhi tak akan menyurutkan semangat terus memperjuangkan hak-hak rakyat atas lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan. Saat proses persidangan, tim pengacara Walhi menilai banyak pelanggaran dan kejanggalan. Sampai-sampai, aliansi melaporkan dugaan pelanggaran ini ke Mahkamah Agung.
Penangkapan Anwar Sadat cs berawal dari, pada Selasa (29/1/13), aksi sekitar 500 orang terdiri dari aktivis berbagai organisasi masyarakat sipil di Sumsel dan petani Ogan Ilir di depan Mapolda Sumsel, berakhir bentrok dengan polisi. Serbuan aparat kepada peserta aksi di tengah guyuran hujan itu menyebabkan beberapa aktivis dan petani menderita luka-luka, termasuk Anwar Sadat, Direktur Eksekutif Walhi Sumsel, bersimbah darah dengan robek di kepala.
Dari aksi itu, sekitar 25 orang diamankan, 11 ditahan di Polda Sumsel, 14 di Polresta Palembang. Dalam perkembangan, semua tahanan dilepas, hanya tiga menjadi tersangka, kini terdakwa, Anwar Sadat, Dedek Chaniago dan Kamaludin.
Perjuangan masyarakat petani di Kabupaten Ogan Ilir untuk mendapatkan lahan mereka kembali telah dimulai 1980 an. Sejak awal mulai, tanah-tanah mereka diambil alih dengan berbagai dalih dibarengi cara-cara kekerasan aparat TNI dan Polri, kala itu. Puluhan ribu hektar lahan petani harus dilepas demi kepentingan ‘negara’ membangun perusahaan produsen gula, PT PN VII unit Cinta Manis, yang sampai kini sebagian lahan operasi tanpa hak guna usaha (HGU). BPN enggan memberikan HGU karena lahan masih berkonflik dengan masyarakat. Meskipun sengketa ini sudah diakui pemerintah daerah sampai BPN, namun aparat keamanan seakan berada di sisi perusahaan. Hingga perjuangan warga kerab kali berhadapan dengan moncong senjata. Pertengahan tahun lalu, seorang bocah tak bersalah, tewas bersimbah darah ditembak Brimob, yang datang ke desa mereka.