Jerih payah masyarakat Desa Segamai dan Serapung, Kabupaten Pelalawan Riau yang selama tiga tahun terakhir didampingi LSM Yayasan Mitra Insani untuk memperoleh hak kelola legal terhadap hutan akhirnya mulai berbuah. Izin pencadangan hutan desa seluas sekitar 4.000 hektar bagi dua desa terpencil itu kini telah disahkan dan diserahterimakan.
“Dahulu kita banyak memberikan izin ke perusahaan, terus rakyatnya dimana. Rakyatnya tidak kebagian. Karena itu kebijakan ini kita koreksi. Saya sudah cadangkan 600 ribu hektar untuk hutan tanaman rakyat. Jadi kalau ada kawasan hutan, kita bagi kepada rakyat untuk dikelola untuk tanam karet, sehingga masyarakat kita memiliki pendapatan dan penghasilan yang lebih sehingga anak-anaknya bisa sekolah,” demikian kata Zulkifli Hasan, Menteri Kehutanan dalam sambutannya di Desa Segamai, Senin 29 Juli 2013. Mendengar pernyataan ini, masyarakat sontak bertepuk tangan senang.
Bagi 277 kepala keluarga Desa Segamai, kehadiran sang menteri kemarin adalah hari yang bersejarah mengingat tidak pernah sebelumnya pejabat setingkat gubernur, apalagi sekelas menteri mengunjungi desa mereka yang berada di ujung Sungai Kampar.
Menanggapi serah terima ini, Ridwan, Kepala Desa Segamai mengatakan bahwa pengakuan hak atas Hutan Desa ini akan secara nyata mendorong upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat sambil dapat menjaga hutan tetap lestari.
Bagi Yayasan Mitra Insani dan LSM pendukunganya seperti Jikalahari, Telapak dan Greenpeace, Hutan Desa berarti adanya peluang bagi masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan dengan cara memanfaatkan hutan dan isinya secara sah seperti sumber pendapatan produk non kayu.
Namun Hutan Desa bukan saja soal kesejahteraan masyarakat, tetapi juga diharapkan mampu melindungi dan mendorong penyelamatan lansekap hutan Semenanjung Kampar yang sebagiannya kini menghadapi deforestasi oleh perusahaan-perusahaan.
“Hutan desa ini berada di lansekap Semenanjung Kampar yang merupakan hutan lindung gambut seluas 680 ribu hektar yang memiliki kekayaan hayati tinggi dan merupakan habitat penting harimau Sumatra. Gambut Semenanjung Kampar juga memiliki kandungan karbon tinggi dan penting bagi upaya menahan laju pemanasan global dari deforestasi, sehingga Hutan Desa ini juga memiliki signifikansi global,” kata Muslim Rasyid, Koordinator Jikalahari.
Berdasarkan riset terakhir soal tingkat biodiversitas, hutan rawa gambut ini memiliki kedalaman hingga 20 meter dengan dua kubah gambut dalam yang jika rusak akan melepaskan emisi karbon yang cukup besar dan memperkukuh Indonesia sebagai pelepas emisi terbesar ketiga dunia setelah Amerika dan China. Di hutan ini juga terdapat empat kawasan lindung, Suaka Margasatwa Danau Pulau Besar, Tasik Belat, Tasik Metas dan Tasik Serkap dengan ekosistem hutan mangrove di bagian pesisir utaranya.
Senada dengan itu, Greenpeace mengatakan penetapkan status hutan desa ini juga harus dilihat sebagai bagian dari program perlindungan keseluruhan Semenanjung Kampar secara kawasan dan tolak ukur keberhasilan pemerintah melindungi hutan Indonesia.
“Namun pantauan terakhir menunjukkan adanya aktifitas penebangan hutan di kawasan ini yang dilakukan sejumlah perusahaan besar seperti yang dilakukan oleh RAPP. Praktik buruk perusahaan ini akan dapat menyia-nyiakan komitmen pemerintah menyelamatkan hutan Indonesia,” kata Rusmadya, Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia.
Selain berpacu dengan laju deforestasinya, izin Hutan Desa dari Menhut ini ternyata masih memerlukan waktu panjang untuk diandalkan menjadi pelindung gambut Kampar. Prosesnya masih jauh. Masih ada izin penetapan dan pengelolaan yang nantinya dikeluarkan oleh Gubernur.
“Berdasarkan izin pencadangan Hutan Desa oleh Menhut, nantinya akan ditindaklanjuti oleh Bupati untuk mengirimkan surat rekomendasi kepada Gubernur untuk dikeluarkannya izin penetapan dan pengelolaan. Izin Menhut saja butuh tiga tahunan untuk diterbitkan. Semoga di tingkat provinsi prosesnya cepat,” kata Herbert, dari Yayasan Mitra Insani.