Pertobatan Pembalak Liar Hutan Desa Segamai (Bagian II): Bertahan dari Bisik Menggiurkan Kelapa Sawit

Berpenduduk 277 kepala keluarga, penduduk Segamai menggantungkan hidup dengan berkebun seperti pohon kelapa dan jagung. Akses yang jauh dari ibukota kabupaten membuat biaya hidup cukup tinggi. Karena satu-satunya transportasi menuju desa hanyalah melalui sungai.

Tidak ada fasilitas listrik dari pemerintah. Jalan-jalan di perkampungan masih sangat minim. Pemerintah membangun sarana jalan dengan semenisasi sepanjang kurang dari 500 meter dan lebarnya tidak cukup luas untuk dua motor yang berpapasan.

“Di sini solar 8.000 rupiah per liter. Kalau bensin 10 ribu per liter. Sebulan bisa 500 ribu kami habiskan untuk minyak genset. Sementara hasil kebun tak seberapa. Harga jual kebun murah,” ujar Manaf, pemuda Segamai.

Mata pencaharian warga Segamai adalah petani jagung, kelapa dan pedagang barang harian. Murahnya harga jual produk kebun lebih disebabkan keterisolasian desa dalam akses transportasi yang membuat pemborong menekan harga jual petani.

Kini sejumlah warga mulai meninggalkan komoditi kelapa dan jagung dan beralih menanam sawit. Peralihan komiditi tersebut setelah setelah mendengar kisah petani sawit di desa lainnya yang dinilai lebih sukses. Sawit memang sebuah komoditi yang menguntungkan secara ekonomi namun sangat bergantung pada ketersediaan lahan dan air.

Sejak lima tahun lalu kini sudah ada puluhan warga yang beralih menanam sawit. Termasuk Manaf. Kurangnya lahan tak membuatnya kehilangan akal. Bibit sawit disisipnya di sela-sela pohon kelapa.

“Sekarang ada dua hektar yang sudah berumur tiga tahun. Sudah menghasilkan. Ada dua hektar lainnya yang masih disiapkan untuk ditanam,” katanya.

Namun demikian harga tandan buah sawit segar petani di sini jauh lebih rendah dibandingkan di ibukota kecamatan. Satu kilogram buah sawit dihargai 400 rupiah. Sangat rendah dibandingkan harga normal saat ini yang mencapai 1.000 rupiah per kilogram.

Berakhirnya masa membalak liar dan tuntutan ekonomi yang tinggi dikhawatirkan mendorong warga Segamai mengkonversi kebun kelapa dan jagungnya menjadi sawit atau bahkan memungkinkan ekspansi ke wilayah-wilayah yang berhutan.

Selain mendorong perolehan akses legal atas pengelolaan hutan oleh masyarakat, penyelamatannya dari ekspansi kelapa sawit ini juga yang menjadi alasan bagi Yayasan Mitra Insani memperkenalkan konsep hutan desa kepada masyarakat Segamai pada tahun 2007.

“Target hutan desa sebenarnya memastikan ruang kelola legal terhadap hutan. Secara umum dengan hadirnya hutan desa, masyarakat memahami konsepnya sesuai dengan konteks kehutanan dan pemanfaatannya. Dan secara tidak langsung masyarakat akan berpikir dua kali jika mereka melakukan ekspansi kelapa sawit di kawasan berhutan,” kata Herbert dari Mitra Insani.

Seorang warga Desa Segamai di Serapung di hutan adat mereka seluas 4000 hektar. Foto: Greenpeace
Seorang warga Desa Segamai di Serapung di hutan adat mereka seluas 4000 hektar. Foto: Greenpeace

Hal ini ditunjukkan oleh masyarakat Desa Serapung yang juga mengajukan proposal hutan desa. Setelah SK hutan desa ditandatangani per 8 Maret 2013 lalu, mereka berkomitmen untuk tidak lagi menebang hutan. “Kalau sawit itu memang lebih cepat menguntungkan. Tiga tahun saja sudah bisa menghasilkan. Tapi kami tidak akan menanam sawit di hutan desa,” kata Manaf.

Komoditi sawit memang sangat menggiurkan bukan saja bagi pengusaha besar, tapi juga masyarakat kecil seperti Manaf. CIFOR, lembaga riset kehutanan menyatakan secara global terjadi peningkatan permintaan minyak sawit makan di Cina dan India yang menempatkan posisi negara agraris ini menjadi produsen utama minyak sawit mentah dunia.

Pada tahun 2011, luas perkebunan sawit Indonesia saja sudah mencapai 7,8 juta hektar termasuk 6,1 juta hektar perkebunan produktif yang tengah dipanen. Pada 2010 perkebunan ini menghasilkan 22 juta ton CPO dan meningkat hingga 23,5 ton pada tahun 2011. Dan pemerintah telah menargetkan 40 juta ton produksi CPO per tahunnya di tahun 2020 dengan memperluas portfolio perkebunan dengan tambahan 4 juta hektar. Konsekwensinya adalah ekspansi ke kawasan yang berhutan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,