Nasib buruk menimpa kambing saanen di Sumatera Utara (Sumut). Kambing yang awal mula dari lembah Saanen di Swiss bagian barat ini, banyak mati, akibat perawatan tak layak. Banyak dari mereka keracunan karena mengkonsumsi makanan berbahaya sampai suntikan berbahan kimia.
Agusriwal, Kepala Bidang Bina dan Usaha, Dinas Peternakan Sumut, mengatakan, penyebab kelangkaan kambing Saanen ini, karena para pemilik kurang peduli dan dianggap tak mampu merawat dengan baik.
Selama ini, pihaknya sudah mencoba sosialisasi soal menjaga keberlangsungan hidup kambing ini. Bahkan Sumut, sempat mengimpor langsung dari Swiss dengan kualitas bibit cukup baik. Namun, para pemilik hanya buat memproduksi susu. Sebagian hanya sebagai hobi, tanpa merawat dengan serius.
Dalam memberikan pakan ternak, pemilik meminta oranglain buat mengurus. “Makanan berupa rumput, gabah padi, dan gabah batang sawit mengandung pestisida dan racun, diberikan kepada kambing. Akibatnya sangat buruk, pencernaan dan aliran darah hingga mengakibatkan kematian,” katanya di Medan, pertengahan Desember 2013.
Data Dinas Peternakan Sumut, saat ini kambing ini tak sampai 20 ekor. Bahkan kelompok penyayang dan peternak kambing etawa menyebutkan, di Sumatera, total kambing saanen, hanya tinggal 50 ekor.
Suryono, ketua kelompok peternak kambing etawa mengatakan, kambing ini menyusut karena banyak peternak tak mengerti cara merawat. Mereka hanya memikirkan memeras susu, tanpa tahu kondisi kesehatan kambing. Pola makanan tak sehat, kondisi kandang buruk, dan pemberian vitamin kurang, menyebabkan hewan ini sering sakit dan kurang gizi. “Mereka sakit dan akhirnya mati,” katanya.
Para pemilik, katanya, hanya berpikir bagaimana menghasilkan susu banyak, tanpa mempedulikan kehidupan kambing. Tak jarang, peternak memberikan makanan mempercepat atau memperbanyak susu menggunakan bahan kimia. “Ini sama sekali tak layak dikonsumsi hewan ini.” Karena sering dipaksa meminum atau memakan makanan berbahan kimia, kambing mulai terlihat lemas, matapun sayu, dan mengeluarkan kotoran berbeda.
“Bahkan, peternak menyuntik dengan bahan kimia yang bisa membantu hormon kambing agar bisa memperbanyak susu yang dapat diperas. Perbuatan cukup kejam. Mereka tidak memperhitungkan dampak terhadap kambing.”
Awalnya peternak kambing saanen di Sumut, hanya ingin mengoleksi karena bentuk unik dan cantik. Terlebih hewan ini memiliki bulu putih, dengan ukuran besar dibandingkan kambing lokal. Lambat laun, minat masyarakat mengkonsumsi susu kambing ini cukup tinggi. Kini, tinggal hitung-hitungan profit, tanpa memperhatikan kesehatan hewan yang sulit berkembang di wilayah tropis ini, karena kepekaan terhadap matahari.
Enam tahun lalu, ujar dia, ada belasan ekor saanen hidup di Deli Serdang, Kota Tanjung Morawa, Kabupaten Simalungun, dan Kabupaten Mandailing Natal (Madina). Di Jambi, Sumatera Barat, Sumatera Selatan dan Riau, tiga tahun lalu juga masih banyak. “Satu tahun terakhir, saat perlombaan terkait kesehatan dan kualitas susu yang diproduksi, jumlah turun drastis. Tidak sampai 50 ekor lagi di Sumatera, ” kata Suryono.
Dia menyebutkan, akhir November 2013, komunitas peternak dan pecinta kambing etawa, pernah bertemu di Pekanbaru, Riau. Mereka membicarakan penyelamatan saanen dan sejumlah kambing jenis lain yang sudah makin sedikit, akibat mati keracunan, ataupun sakit karena keracunan.
“Ada beberapa kesepakatan untuk menyelamatkan hewan ini. Salah satu kawin dengan hewan sejenis, ataupun kawin silang. Kambing Saanen jantan sangat sedikit, hasilnya tidak maksimal. Harga mengawin silang juga mahal, jadi banyak malas melakukan.”
Suryono mengatakan, satu kambing betina asli saanen per hari mampu memproduksi susu antara 1,5-3 liter. Harga kambing saanen tergolong mahal, per ekor anak mencapai Rp4,5- 7 juta. Jantan dewasa, Rp30-39 juta per ekor. Meski harga mahal, tak dibarengi perawatan baik, menyebabkan populasi turun drastis.
Kambing saanen, memiliki hidung lurus dan muka segitiga. Telinga sederhana dan tegak ke sebelah dan ke depan, ekor tipis dan pendek. Jantan dan betina bertanduk. Berat dewasa sekitar jantan 68-91 kilogram, dan betina 36 sampai 63 kilogram. Kambing ini memiliki tinggi ideal sampai 81 centimeter.