Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur mengingatkan bahaya yang dapat ditimbulkan dari hilangnya sumber mata air, akibat alih fungsi lahan dan perusakan hutan.
Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur, Ony Mahardika mengatakan, bahaya krisis air akibat alih fungsi lahan tidak hanya berbahaya bagi manusia, melainkan juga dapat menyebabkan bencana ekologi yang lebih besar.
“Kalau mengamati kerusakan di hulu sungai Brantas, pertama karena alih fiungsi lahan dimana hutan lindung dijadikan industri pertanian ekstraktif, serta bangunan hotel atau villa yang dibangun diatas sumber matra air. Artinya bencana ekologi yang akan dialami masyarakat Jawa Timur tinggal menghitung hari,” kata Ony Mahardika kepada Mongabay-Indonesia.
Ony Mahardika mengatakan, krisis air yang diperkirakan Sekjen PBB akan terjadi pada 2025, sebagian besar disebabkan oleh alih fungsi lahan serta pembangunan di kawasan hutan lindung.
“Tidak hanya Batu sebagai hulu sungai Brantas, di daerah lain di Jawa Timur juga harus diwaspadai bahaya krisis air dan banjir bandang, akibat alih fungsi lahan,” ujar Ony Mahardika.
Data yang dimiliki Walhi Jawa Timur menyebutkan, jumlah sumber mata air di hulu sungai Brantas sebelun 2005 berjumlah 421 tempat, pada 2005 terdapat 221 lokasi, 2009 tinggal 57 titik, dan pada 2012 menyisakan 13 sumber mata air.
Merosotnya jumlah sumber mata air di hulu sungai Brantas menjadi perhatian serius Walhi Jawa Timur, terutama dengan munculnya ijin pembangunan hotel dan villa di daerah pegunungan yang merupakan daerah sumber mata air.
Salah satu perhatian Walhi Jawa Timur yaitu menyelamatkan sumber mata air Umbul Gemulo, yang akan terancam hilang dengan adanya pembangunan rumah peristirahatan The Rayja, di Kota Batu, Jawa Timur.
Dikatakan oleh Ony, pada kasus ini masyarakat menyatakan penolakannya terhadap berdirinya bangunan di atas sumber mata air, karena dikhawatirkan akan menghilangkan sumber mata air yang menjadi sumber kehidupan masyarakat.
“Masyarakat murni ingin menyelamatkan sumber mata air, karena air merupakan kebutuhan dasar manusia untuk bertahan hidup, tidak hanya untuk mandi tapi juga untuk produksi pada sektor pertanian dan peternakan,” lanjut Ony.
Selama 3 tahun terakhir masyarakat yang menolak telah mengadu pada Kementerian Lingkungan Hidup, Ombudsman, Komnas HAM, serta beberapa lembaga terkait lainnya. Namun sejauh ini belum ada tanggapan dan perkembangan positif, termasuk hasil pertemuan dengan Walikota Batu Eddy Rumpoko.
“Harusnya Pemkot Batu tegas menghentikan pembangunan dan mencabut ijinnya, serta membeli lahan itu untuk konservasi sesuai janji Walikota,” imbuhnya.
Sejauh ini pihak pengelola The Rayja melayangkan gugatan kepada warga, dalah hal ini Rudy selaku Koordinator Forum Masyarakat Peduli Mata Air (FMPMA), dengan gugatan perdata senilai 30 milyar rupiah, yang menurut Walhi Jawa Timur dibuat mengada-ada.
“Gugatannya tidak masuk akal dan mengada-ada, salah satunya masyarakat yang mengirim surat ke instansi-instansi itu termasuk ke bank dianggap mengganggu. Padahal ini negara demokrasi yang semua orang berhak menyuarakan hak, serta menuntut kesejahteraan mereka,” tukas Ony yang meminta keseriusan Pemerintah Kota Batu untuk menegakkan aturan.
Forum Masyarakat Peduli Mata Air (FMPMA) saat ini balik menggugat (rekonvensi) pihak pengelola The Rayja sebesar 318 milyar rupiah atas kerugian materiil maupun imateriil yang dialami warga, atas fakta pelanggaran hukum yang dilakukan pihak The Rayja.
“Kita gugat balik dalam proses persidangan ini, kita juga akan laporkan KPPT (Komisi Perijinan) Kota Batu ke Polda Jawa Timur, karena ditemukan beberapa bukti penyalahgunaan aturan dan melanggar pidana juga,” tegas Ony yang mengungkapkan akan melakukan aksi bersama aktivis lingkungan dan warga, untuk menyelamatkan sumber mata air Umbul Gemulo.