Greenpeace merilis briefing paper yang memuat fakta-fakta merugikan terkait dampak proyek pembangunan PLTU Batang pada Selasa(11/2/14). Kajian Greenpeace menyebutkan, jika PLTU terbesar di Asia Tenggara itu dijalankan, dalam setahun akan mengeluarkan emisi karbon 10,8 juta ton. Ia bertolak belakang dengan komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menurunkan emisi karbon 26% tahun 2020.
Arif Fiyanto, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, mengatakan, PLTU Batang ancaman komitmen SBY menurunkan emisi gas rumah kaca. “ Sebanyak 10,8 juta ton karbon per tahun ini gak main-main. Ini besar sekali. Sama dengan emisi karbon Myanmar tahun 2009,” katanya di Jakarta, hari itu.
Rencana pembangunan PLTU ini sebenarnya hampir tiga tahun terakhir. Pada awal pembangunan, nilai proyek hanya Rp30 triliun. Karena penundaan dua tahun berturut-turut terjadi peningkatan nilai proyek menjadi Rp40 triliun. “Ini luar biasa mahal! Ini karena permasalahan-permasalahan yang dialami investor di lapangan. PLTU Batang sudah mendapatkan sorotan dari banyak pihak nasional dan internasional.”
PLTU ini bertenaga 2.000 megawatt, menelan biaya sekitar US$4 miliar—dana itu bisa untuk proyek-proyek energi terbarukan. Tak hanya itu. Kini, pemerintah berencana membangun 116 PLTU lain. “Jika PLTU Batang diteruskan, sudah pasti SBY tidak bisa memenuhi komitmen mengurangi emisi karbon 26% tahun 2020.”
Tamuan Greenpeace lain jika PLTU Batang terealisasi, akan mengeluarkan 226 kilogram merkuri per tahun. “Ini luar biasa dampaknya terhadap lingkungan hidup masyarakat.”
Limbah merkuri akan memberikan kerugian sangat besar mengingat 0,907 gram merkuri dapat mencemari 11 hektar danau dan membuat ikan tak layak dikonsumsi. “Emisi merkuri seberat 226 kg ini sangat berdampak buruk bagi perairan laut di Batang yang selama ini menjadi sumber pencaharian puluhan ribu nelayan,” ucap Arif.
Padahal, jika merujuk pada peraturan pemerintah No. 26/2008 dan peraturan pemerintah Jateng No. 6/2010 tentang tata ruang, jelas kawasan Pesisir Ujungnegoro-Roban sebagai kawasan konservasi laut. Pembangunan PLTU ini akan menyebabkan hujan asam di sekitar PLTU. “Ini juga akan berdampak buruk kepada petani.”
Sayangnya, pemerintah tidak memperhitungkan suara-suara warga Batang yang menolak pembangunan. “Pemerintah hanya berpikir proyek ini sangat besar dan bisa lancar dibangun. Terlebih PLTU ini dibangun dengan skema public private partnership. Kemitraan swasta dengan pemerintah.”
Selama dua tahun terakhir, warga Batang aktif menolak pembangunan PLTU. Berkat perjuangan mereka, pembangunan ditunda. Seharusnya, peletakan batu pertama 6 Oktober 2012, ditunda karena protes keras dari masyarakat. Hingga akhirnya Presiden SBY mengeluarkan perpres menunda pembangunan PLTU hingga 2014. “Jika warga Batang bisa mempertahankan ini, PLTU dipastikan batal dibangun.”
Arif juga mempersoalkan pembuatan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) PLTU yang tidak pernah mengakomodir suara warga penolak. Aspirasi petani dan nelayan penolak hanya angin lalu. “Proses mengabaikan perlawanan masyarakat sangat jelas. Tanggapan masyarakat tidak masuk dalam catatan sidang pendapat Amdal. Forum final Amdal meminimalkan partisipasi terdaftar, penduduk terverivikasi termasuk partisipasi kelompok-kelompok tanpa rekam jejak dan tidak ada hubungan dengan masyarakat atau tanah,” kata Arif.
Masyarakat menduga, beberapa peserta forum final Amdal sengaja didatangkan dari tempat jauh oleh perusahaan. Amdal diduga disetujui 26 Agustus 2013 dan izin lingkungan diterima di hari yang sama. Penyelidikan bank-bank swasta dilakukan Juni tahun sama.
Proyek ini, mengalami masalah besar dalam pembebasan lahan. Sebanyak 50 pemilik lahan berani menolak menjual lahan dengan luas sekitar 55 hektar. Jumlah ini tambahan hingga sekitar 15-20 persen tanah yang diperlukan untuk proyek ini. Luas tanah untuk proyek sekitar 200-350 hektar.
Menurut arif, banyak pihak di balik PLTU Batang, yakni, World Bank melalui Internationa Finance Corporation terlibat. Ada perusahaan patungan PT Bhimasena Power Indonesia. Perusahaan itu satu dari Indonesia (Adaro Power of Indonesia saham 34%), dan perusahaan Jepang yaitu J-Power–dikenal sebagai Electric Power Development Co, saham 34%), dan Itochu Corp–rumah perdagangan Jepang, dengan saham 32%.
“Jika PLTU Batang ini jadi dibangun, Adaro akan mensuplai batubara ke sana. J-Power adalah perusahaan yang akan menangani pembangunan instalasi PLTU itu.”
Pihak lain yang bermain dalam pembangunan ini, yaitu Japan Bank for International Coproration (JBIC). Ini pihak yag tertarik mendanai PLTU Batang sekaligus investor utama proyek ini.
“Kemudian Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, yang sedang mempromosikan proyek ini. Di dalam negeri ada Komite untuk Percepatan pembangunan Ekonomi Indonesia. PLTU ini seringkali didorong oleh beberapa pihak, antara lain menkoperekonomian Hatta Rajasa, Ketua Bappenas dan yang lain.”
Bank BRI, telah menyediakan uang tunai untuk pembebasan lahan. Bank-bank asing swasta membuat sejumlah perjanjian pinjaman selama satu tahun untuk mendanai proyek antara lain, Smitomo Mitsui Trust (US$135 juta), Tokyo Mitsubishi UFJ (US$62 juta), Mizuho ( US$18 juta), The Development Bank of Singapore (US$18 juta), dan OCBC ( US$18 juta).
IFC, mengeluarkan dana US$33,9 juta melalui Indonesia Infrastructure Guarantee Fund. Padahal, mengacu kebijakan bank dunia September tahun lalu, tak boleh lagi mendanai proyek kotor seperti PLTU Batang.