Di tengah kepungan kabut asap yang belum juga beranjak dari Kota Pekanbaru, pagi nan berkabut di PN Pekanbaru, Rabu 12 Maret 2014, sambil menunggu sidang putusan majelis hakim terhadap terdakwa HM Rusli Zainal.
Pada 20 Februari 2014, Penuntut Umum KPK menuntut terdakwa HM Rusli Zainal 17 tahun penjara, denda satu miliar ditambah pidana tambahan berupa pencabutan hak dipilih dan memilih pada jabatan publik.
Setidaknya 65 pengunjung memadati ruang sidang. Selain tiga orang berbaju PNS mengenakan pakaian serba coklat yang disorot kamera wartawan, kedua istri terdakwa HM Rusli Zainal Septina Primawati dan Syarifah Aida tampak duduk berjauhan, Septina di bangku paling depan, Aida di bangku paling belakang, tak luput dari jepretan.
Hampir enam jam majelis hakim membacakan putusan setebal 1.300 halaman secara bergantian. Khusus pengesahan BKT UPHHKHT untuk sembilan korporasi di Siak dan Pelalawan, Majelis hakim menyatakan terdakwa HM Rusli Zainal terbukti melanggar pasal 2 ayal (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor : 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor : 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke1 KUH Pidana jo Pasal 65 ayat (1) KUH Pidana.
Dalam pertimbangannya majelis hakim menolak pledoi terdakwa dan tuntutan pidana tambahan oleh Penuntut Umum.
I Ketut Suarta menilai terdakwa tidak tahu mengenai ketentuan berkaitan dengan bidang kehutanan saat menandatangani BKT UPHHKHT bertentangan dengan keterangan saksi Syuhada Tasman, Sinyorita, Fredrik Suli dan Asral Rahman.
Syuhada Tasman menolak meneken permohonanan pengesahan BKT UPHHKHT yang diajukan korporasi setelah melihat hasil pertimbanangan tekhnis/hasil survey dinas kehutanan kabupaten Pelalawan dan Siak bertengan keputusan Menteri kehutanan. Lantas Syuhada Tasman meminta petunjuk melalui surat kepada Menhut. Surat itu dibalas oleh Menhut yang ditujukan kepada menteri dalam negeri agar membatalkan SK IUPHHKHT yang diterbitkan para Bupati di Propinsi Riau,” yang tembusannya anatara lain diterima oleh dinas kehutanan propinsi riau dan gubernur riau,” kata I Ketut.
Syuhada Tasman lantas melapor ke terdakwa. Terdakwa menjawab proses ini hal yang bersifat rutin dan meminta Syuhada Tasman menyiapkan nota dinas dan konsep pengesahan BKT UPHHKHT.
Syuhada Tasman lantas menyuruh stafnya di Dinas Kehutanan Propinsi Riau Sinyorita dan Fredrik Suli untuk membuat konsep nota dinas BKT UPHHKHT yang akan diteken terdakwa selaku Gubernur Riau. Awalnya Sinyorita dan Fredrik Suli menolak karena pengesahan BKT yang diajukan oleh perusahaa tidak memenuhi syarat sesuai. “Kalo yang teken pejabat yang lebih tinggi lebih baik,” kata Syuhada Tasman. Akhrnya surat itu dibuat tanpa diparaf oleh Syuhada Tasman sebagai bentuk sikap penolakannya. Lantas, Syuhada Tasman diganti oleh Asral Rahman.
Saat menjabat sebagai Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau, Asral Rahman mengatakan kepada terdakwa kewenangan pengesahan BKT UPHHKHT adalah kewenangan Kadishut Propinsi Riau, bukan kewenangan gubernur. Terdakwa mengembalikan kewenangan kepada Dinas Kehutanan Propinsi propinsi Riau. “Pengesahan BKT UPHHKHT yang diteken terdakwa untuk memenuhi bahan baku pabrik kertas,” kata I Ketut Suarta.
Menurut majelis hakim, “Alasan terdakwa telah menandatangani pengesahan dan penerbitan BKT UPHHKHT tidak mengetahui aturan bidang kehutanan yang bersifat tekhnis adalah non argumentaitf,” kata I Ketut Suarta. “Sebab terdakwa sudah berpengalaman dan pernah menduduki jabatan penting dalam struktur birokrasi pemerintahan selama puluhan tahun, tatkala sebagai Bupati Inhil maupun Gubernur, tentu menyadari dan sangat paham implikasi sebuah keputusan oleh pejabat publik.”
“Majelis hakim berpendapat pengesahan BKT UPHHKHT yang diterbitkan RZ bertentangan dengan Kepmenhut. Pada prinsipnya tidak boleh dilakukan penebangan hutan alam atau konversi hutan alam, karena apabila diberikan IUPHHKHT masih ada tegakan hutan alam maka harus dijadikan hutan konservasi,” kata Rachman Silaen. “Ahli Suhariyanto berpendapat terdapat izin yang diberikan dan tidak sesuai dengan kriteria Kepmenhut izin tersebut cacat hukum, dan jika izin tersebut dioperasional di lapangan, maka operasionalnya juga cacat hukum.”
Meski terdakwa tidak menerima uang saat mengesahkan BKT UPHHKHT, akibat perbuatan terdakwa telah memperkaya korporasi dihitung dari nilai seluruh hasil penebangan hutan alam dikurangi setoran PSDH DR dengan total Rp 265 Miliar termasuk merugikan keuangan Negara. “Semua harta benda hasil tindak pidana korupsi diterima dan dinikmati oleh perusahaan yang telah mendapatkan pengesahan BKUPHHKHT oleh terdakwa. Sehingga dalam perkara ini terdakwa tidak perlu dibebani pidana tambahan membayar uang pengganti tersebut,” kata I Ketut Suarta.
Menurut I Ketut Suarta, salah satu inti dari harkat pemberantasan tindak pidana korupsi adalah pengembalian uang Negara yang dikorupsi, “Oleh karena terbukti perusahaan yang mendapatkan pengesahan BKT UPHHKHT oleh terdakwa telah nyata menerima uang dari hasil tindak pidana korupsi berupa hasil tebangan kayu maka korporasi tersebut terlibat langsung dalam mewujudkan terjadinya pidana,” kata I Ketut Suart, “Seharunsya diproses dan dibawa ke sidang Pengadilan Tipikor.”
Terkait pidana tambahan pencabutan hak dipilih dan memilih pada jabatan publik, menurut majelis hakim ”tidak terbukti pula terdakwa sebagai residivis perkara berat majelis hakim berpendapat pencabutan hak hak tertentu tidak tepat diterapkan pada terdakwa”.
Ruang sidang mulai hening, para wartawan mulai berdiri mengabadikan momen penting. Giliran terakhir Ketua Majelis Hakim Bachtiar Sitompul membacakan putusan. Terdakwa HM Rusli Zainal telah terbukti secara sadar meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana. “Menghukum terdakwa HM Rusli Zainal oleh karena itu dengan pidana penjara selama 14 tahun, dengan denda sebesar Rp 1 Miliar, jika denda tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan,” kata Bactiar Sitompul dengan suara agak bergetar.
“Terima kasih Yang Mulia. Saya sungguh merasa dizalimi. Saya sungguh merasa kaget dihukum 14 tahun. Anak saya di rumah sakit karena psikis, saya menyatakan banding.” Kata terpidana Rusli Zainal. Selain kasus korupsi kehutanan, terpidana HM Rusli Zainal juga terbukti melakukan korupsi dalam kasus PON Riau ke 18 yang telah memberi sejumlah uang kepada anggota DPRD Riau dan anggota DPR RI dari Fraksi Golkar Setya Novanto dan Kahar Muzakkir melalui Lukman Abbas.
“Sudah sewajarnya terdakwa dihukum berat. Sejak awal kita anggap tiga hakim ini adalah sosok yang berwibada dan tegas. Hari ini mereka telah buktikan kepada masyarakat Riau,” kata Usman, Koordinator Fitra Riau yang juga coordinator Koalisi Anti Korupsi Riau yang sejak awal memantau kasus ini.