Jutaan masyarakat hidup di kawasan sekitar tambang. Mereka merasakan teror-teror dari kekerasan sampai penangkapan kala menolak bisnis ekstraktif ini. Mereka juga merasakan dampak langsung kala tambang beroperasi, kerusakan lingkungan hingga mengancam kehidupan warga. Pada pemilu 2014 ini, warga-warga korban tambang ini berharap, ada perubahan. Berharap, wakil-wakil rakyat yang duduk memperhatikan suara mereka, menghargai dan mendukung perjuangan mereka mendapatkan kehidupan layak dan lingkungan sehat.
Adalah Burhanuddin, pemuda dari Desa Podi, Kabupaten Tojo Una-una, Sulawesi Tengah (Sulteng). Kini, desa mereka dalam teror tambang dari PT Arthaindo Jaya Abadi. Perusahaan ini, sudah di-police line Polda Sulteng, diduga melakukan aktivitas di kawasan hutan tanpa ini. Apa nyana, hingga kini terus beroperasi.
Meskipun sejak Januari 2014, pemerintah melarang ekspor mineral mentah, pengangkutan material tambang perusahaan ini terus jalan.
Warga, kata Burhan, terus melakukan perlawanan. Mereka khawatir bencana akan menghampiri mereka jika tambang ini terus beroperasi. “Desa kami itu sudah kena banjir besar beberapa kali. Makin ada tambang ini makin terancam,” katanya kala hadir dalam diskusi Jatam di Jakarta, Rabu (26/3/14).
Tambang beroperasi di dataran tinggi, dan membabat hutan—yang menjadi wilayah penyangga. Keadaan ini, katanya, bisa memicu bencana alam seperti banjir dan longsor.
Bukan itu saja. Laut, yang biasa tempat mencari ikan nelayan juga mulai tercemar. “Kapal-kapal penganggkut lalu lalang bawa muatan. Tumpukan-tumpukan bahan mentah di pelabuhan dekat laut juga merusak air laut,” ujar dia.
Belum lagi, sungai-sungai yang menjadi gantungan hidup warga kini berubah warna. Belum lama ini, warga terkena gatal-gatal karena mandi air di sungai sekitar.
Kini, warga tak memiliki sumber air bersih lagi. “Sehari-hari kami pakai galon. Beli air segalon Rp5.000.”
Bahkan, kata Burhan, saking sulitnya air bersih, kala ada warga meninggal dunia, dimandikan dengan air galon.
Saat ini, katanya, warga bersama Yayasan Merah Putih, menyiapkan gugatan kepada pemerintah dan perusahaan atas dampak-dampak buruk tambang ini.
Mendekati masa pemilu ini Burhan menaruh harapan. Dia ingin, sosok yang duduk menjadi wakil rakyat bisa sadar penderitaan rakyat. Menurut dia, ada aktivis yang berjuang bersama mereka menolak tambang di daerah itu, maju menjadi calon legislatif. “Kami harap dia bisa duduk dan terus berjuang bersama kami.”
Harapan juga datang dari Umbu Janji, warga Desa Prekorokujangga, Kecamatan Umbora Tunggae, Sumba Tengah, NTT. Dia tak ingin orang-orang yang terpilih di pemilu malah pendukung tambang.
Dia pernah merasakan teror tambang di desanya. Belum juga perusahaan masuk, sudah menyengsarakan warga. Janji, salah satu penolak tambang emas yang akan masuk ke desa mereka. Janji mendekam sembilan bulan di penjara.
Kala itu, katanya, pada 2011, ada kabar tambang akan masuk wilayah adat mereka. Warga tak diberi tahu. Warga pun mengirim surat penolakan kepada Bupati, sampai Gubernur.
“Tapi penolakan itu tak ada respon, baik kabupaten sampai provinsi. Alasan Bupati, Gubernur kasih keputusan. Kala tanya ke Gubernur, bilang kalo tak izin Bupati tak mungkin.”
Bak anjing menggongong kafilah berlalu. Warga menolak, tambang emas ini jalan terus. Katanya, dua dusun, Tanamitung dan Lakokah yang terkena langsung tambang. Mayoritas masyarakat bekerja sebagai petani kebun dan sawah serta peternak. “Kami menolak itu lahan ulayat. Ada perkebunan dan pekuburan adat.”
Sekitar April 2011, emosi warga memuncak, alat berat perusahaan terbakar. “Kami 20 orang ditangkap polisi. Jadi tersangka tiga orang termasuk saya.” Akhirnya, perusahaan setop operasi. Meskipun perusahaan sudah setop operasi, tetapi mereka masih khawatir kembali lagi.
Tak berlebihan kala warga berusaha mencari figur wakil di dewan yang tahu nasib mereka. “Yang jelas, kami lihat orang yang bisa menolong kami.”
Arwati, korban luapan lumpur Lapindo, dari Desa Sirin, Sidoarjo, Jawa Timur, agak beda. Dia punya harapan tetapi tak bisa menggunakan hak pilih pada pemilu. Sebab, hingga kini, empat desa yang terendam lumpur Lapindo, tak terdata. Mereka tak diberi kartu pemilih. Empat desa itu, yakni, Desa Sirin, Jatirejo, Renokenongo dan Gedung Bendo.
Menurut dia, jika melihat caleg yang maju di wilayah Sidoarjo, mayoritas orang-orang lama. “Ada wajah baru, itu malah yang menjerumuskan masyarakat. Dulu, dia panutan meminta warga harus kompak tapi malah memecah belah. Warga Sidoarjo, korban Lapindo, tahu dia.”
Mengenai pendataan penduduk ini, warga sudah pernah curhat ke Komidi D DPRD Jatim. “Kita diarahkan ngelapor ke Komisi A. Kan sudah ke dewan, seharusnya mereka informasikan.”
Chalid Muhammad, Direktur Institute Hijau Indonesia mengatakan, kisah masyarakat ini melengkapi potret sengketa agraria di negeri ini.
Masyarakat yang tinggal di sekitar hutan—yang dipenuhi izin-izin perusahaan dari kebun, HTI sampai tambang–, ada sekitar 33 ribu desa dengan 60 juta jiwa. Namun, suara-suara mereka ini tak pernah menjadi pertimbangan dalam proses pemilu.
Mengapa? Menurut Chalid, ada beberapa faktor penyebab. Pertama, sebagian caleg itu terlihat dalam sengketa agraria, baik sebagai penambang, perkebunan, HTI dan lain-lain. Kedua, caleg punya kedekatan dengan pelaku-pelaku usaha ekstraktif itu.
Ketiga, fungsionaris partai adalah pemilik dari bisnis ekstraktif, misal Lapindo. Keempat, caleg-caleg itu bukan di wilayah krisis, misal daerah pemilihan Sumatera, caleg tinggal di Jakarta. “Mereka tak tinggal di wilayah krisis hingga tak merasakan. Mereka hanya jadikan daerah itu buat mendulang suara untuk duduk di parlemen.” Kelima, ATM caleg maupun partai. “Perusahaan langsung atau tak langsung beri uang pada caleg atau partai itu.”
Begitu pula pada pemilu Presiden. Sinyalemen keterlibatan bakal calon (balon) Presiden pada bisnis ekstraktif cukup kental. “Sampai saat ini belum ada balon yang janjikan selesaikan konflik lahan dan SDA. Ini mengkomfirmasi ada back up dari perusahaan itu,” ucap Chalid.
Jika kondisi ini terus terjadi, katanya, dari pemilu ke pemilu tak akan memberikan perubahan pada upaya penyelesaian konflik agraria.
Akibatnya lagi, dari pemilu ke pemilu hanya menjadi ajang demokrasi dangdutan atau kontes-kontesan. “Kampanye tak ada isi. Tak ada harapan. Masyarakat susah buat tagih janji kalo yang disodorkan dangdut. Masak tagih apa? Tagih janji agar didatangkan artis dangdut lagi ke daerah itu?”
Tak jauh beda diungkapkan Adrinof Chaniago, Dosen Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia. “Masa kampanye sudah 10 hari ini apakah ada program kelola SDA buat kemakmuran rakyat? Sampai hari ini saya belum dengar. Belum ada yang coba perbaiki penyimpangan UUD Pasal 33.”
Dalam Pasal 33 jelas menyebutkan sumber daya alam negeri yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasasi negara dan dimanfaatkan bagi kemakmuran rakyat. “Apakah tambang betul dipergunakan sebesarnya oleh rakyat? Dah dikuasai negara?”
Yang benar, katanya, saat ini tambang dikuasai segelintir orang dengan izin negara dan dinikmati segelintir orang-orang ini. “Masyarakat dapat apa?”
Kondisi tambah miris kala sebagian besar produksi tambang diekspor dan konsumsi dalam negeri malah kekurangan. Contoh, batubara 80 persen dijual ke luar negeri untuk memperkuat pertahanan energi negara lain. Pasar ekspor ke negeri seperti China, yang memiliki cadangan batubara jauh lebih besar dari Indonesia. “Indonesia dikuras habis. Malah, warga sekitar tambang batubara tak teraliri listrik. Kalaupun ada, masih pakai jatah per hari berapa jam dan pemadaman bergilir.”
Bagi Adrinof, guna memperbaiki perusakan sistematis ini harus dikembalikan kepada penerapan UUD Pasal 33. Bukan berarti, SDA tak bisa dimanfaatkan, tetapi diaambil secukupnya. “Kembalikan hak negara dan masyarakat. Ga seperti ngasih gratis gini ke segelintir orang.”