Pembangkit Listrik Hibrid Bantul, Solusi Kedaulatan Energi Berkelanjutan

Angin laut berhembus kencang  dan baling-baling kincir berputar cepat. Terik udara menyengat kulit. Waktu menujukkan pukul 14.00 WIB ketika saya tiba di pesisir di Pantai Baru, Ngentak, Poncosari, Srandakan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, 5 Mei 2014. Kincir-kincir terpasang berjejer tidak begitu jauh dari bibir pantai, hanya berkisar 250 meter. Berjejer rapi, tinggi tiang berkisar antara 10 hingga 15 meter.

Tidak jauh dari kincir, panel-panel surya tersusun rapi. Tepat dibawah panel-panel tersebut ada kolam-kolam penampung air. Ikan-ikan gurame berukuran jari kelingking orang dewasa berenang di kolam tersebut.

Bak penampungan air bertempat di bawah instalasi solar panel di Pantai Baru. Foto: Tommy Apriando
Bak penampungan air bertempat di bawah instalasi solar panel di Pantai Baru. Foto: Tommy Apriando

Ketika tiba dilokasi sekretariat Pembangkit Listrik Tenaga Hibrid (PLH), saya bertemu Wijio. Ia teknisi di kantor sekretariat Pembangkit Listrik Tenaga Hibrid/ gabungan pembangkit listrik tenaga angin dan surya (PLTH) Pantai Baru. Ia berkaos warna biru, celana panjang. Sudah sejak tahun 2010, atau sejak dimulainya projek PLTH ia bekerja sebagai teknisi.

“Energi pembangkit listrik tenaga hybrid ini digunakan untuk mengaliri listrik sekitar 50 warung kuliner di pesisir Pantai Baru, mengaliri mesin pembuat es cristal dan mesin pompa air,” kata Wijio.

Wijio menambahkan, listrik di pesisir pantai ini dipasok dari Pembangkit Listrik Tenaga Hybrid (PLTH) yakni gabungan dari pembangkit listrik tenaga surya (matahari) dan bayu (angin).  Selain itu, daerah ini juga menerapkan sistem terintegrasi bagi pertanian, perikanan, dan kawasan wisata alam serta penggunaan bahan bakar ramah lingkungan mengunakan biogas, dari sisa kotoran ternak Sapi.

“Untuk keperluan air sendiri, sekitar 64 warung kuliner tersuplai air dari pompa air yang energinya berasal dari PLTH. Selain ke warung-warung, air juga di suplai ke kolam ikan air tawar dan pertanian lahan pasir,” kata Wijio.

Ketika saya ngobrol bersama Wijio. Datang dua orang lelaki. Satu perperawakan kecil, badannya kurus. Namanya Pak Suparjio. Ia juga teknisi di sekretariat PLTH. Satunya lagi badannya cukup besar. Tinggi berkisar 170 cm. Kulitnya sawo matang dan berambut ikal. Ia bernama Ruswanto. Ia koordinator lapangan di PLTH.

Ruswanto menujukkan cara beroperasi mesin pembuat es cristal di Pantai Baru. Foto: Tommy Apriando
Ruswanto menujukkan cara beroperasi mesin pembuat es cristal di Pantai Baru. Foto: Tommy Apriando

Lalu obrolan saya beralih ke Ruswanto. Ia menceritakan secara teknis energi yang dihasilkan dari PLTH. Jika cuaca baik maka energi yang didapat juga baik, namun jika cuaca buruk dan sering mendung maka energi yang didapat juga tidak maksimal.

Data tahun 2013 lalu, dari wawancara saya dengan pak Sutarto selaku kordinator teknis PLTH mengatakan, di PLTH Pantai Baru terpasang 33 buah turbin angin dengan berbagai kapasitas mulai dari 2,5 Kw hingga 10 Kw. Di sebelah barat pos, ada 21 turbin angin 1 Kw/240 V yang dibangun dalam satu kawasan. Sedangkan untuk panel surya daya terdapat 175 panel surya yang beroperasi.

Suplai listrik dialirkan untuk berbagai kebutuhan, untuk warung, pompa air, mesin pembuat es juga penerangan jalan. Untuk pompa air, setidaknya perhari ada 50 meter kubik air yang diperoleh perharinya. “Kerusakan beberapa alat operasional pembangkit listrik seperti inverter tentu menjadi penghambat untuk mendapatkan energi yang maksimal.” Kata Ruswanto.

Warung kuliner berjejer di pesisir Pantai Baru Srandakan Bantul menggunakan energi listrik dari energi terbarukan. Foto: Tommy Apriando
Warung kuliner berjejer di pesisir Pantai Baru Srandakan Bantul menggunakan energi listrik dari energi terbarukan. Foto: Tommy Apriando

Es-es tersebut dibuat dari mesin pencetak es kristal yang bekerja secara otomatis. Air yang sudah melalui penyaringan masuk ke mesin pembuat es. Setiap 20 menit, satu mesin akan menghasilkan 1,5 kilo gram es cristal. Dan sekitar 60 warung kuliner atau 80% dari jumlah warung kuliner yang ada dan juga warga sekitar membeli es dari mesin yang bersumber dari tenaga hybrid ini. Adapun harga perkilo dari es kristal seharga lima ratus rupiah.

“Hambatannya tidak jauh berbeda dengan pembangkit listriknya. Kerusakan mesin pembuat es tentu jadi hambatan. Terkadang jumlah produksi es tidak mencukupi ketika musim liburan datang. Jumlah es yang diperlukan banyak, namun operasi mesin tidak maksimal,” tambah Ruswanto.

Suparjio lalu menambahkan, saat ini untuk pengguna energi tenaga hybrid tidak semua warung murni hanya tenaga hybrid. Ada juga beberapa warung yang hanya menggunakan energi dari Pembangkit Listrik Nasional (PLN) dan ada juga yang menggabungkan keduanya. Hal ini karena ada beberapa warung yang memerlukan energi listrik yang lebih besar. Warung mereka perlu untuk mengaliri listrik untuk kulkas, dispenser,rice cooker, lampu dan lainnya. Tentu energi dari tenaga hybrid saja tidaklah cukup.

“Bagi mereka yang mengkonsumsi energi dari PLN dikarenakan secara ekonomi pemilik warung tersebut sudah cukup baik dan karena membutuhkan energi listik yang lebih tinggi,” kata Suparjio.

Selesai saya ngobrol-ngobrol bersama ketiganya, saya diajak berkeliling areal pembangkit listrik oleh Ruswanto. Panel surya tersusun rapi. Pertanian lahan pasir terlihat subur dan air tanah dari mesin pompa air mengalir deras dan bersih tidak berbau dan tidak berasa asin walaupun jarak pesisir dan mesin pompa dan bak penampungan air berkisar 200 meter dari bibir pantai.

Solar Panel terususun rapi dan berdekatan dengan lahan pertanian pasir. Foto: Tommy Apriando
Solar Panel terususun rapi dan berdekatan dengan lahan pertanian pasir. Foto: Tommy Apriando

Waktu menujukkan pukul 15.45. Saya lalu menuju ke seberang utara jalan dari sekretariat PLTH. Disana saya lihat kandang-kandang Sapi berjejer. Peternak sibuk memberi makan. Saya berkunjung ke sekretariat pengelolaan Biogas. Namun tidak ada seorangpun di sekretariat. Namun saya melihat tabung gester. Di tabung itulah kotoran ternak di tampung lalu diproses untuk menjadi biogas. Gas yang dihasilkan dijadikan bahan bakar alternatif untuk memasak yang tersuplai ke warung kuliner di pesisir pantai dan warga sekitar.

Selain itu, pada sektor perikanan dan pertanian lahan pasir juga telah dikembangkan disini dengan sistem aquaponik yaitu kolam ikan air tawar yang mengandalkan metode penyaringan tumbuhan untuk membersihkan air.

Selesai saya dari lokasi biogas, waktu menujukkan pukul 15.04. Saya bertemu Mursidah. Ia warga asli Srandakan, Bantul. Hamoir tiga tahun Mursidah mencari peruntungan sebagai pedagang kuliner di Pantai Baru. Sejak pertama ia membuka warung, ia sudah menggunakan energi listrik yang berasal di Pembangkit Listrik Tenaga Hibrid (PLTH).

Ia merasakan betul keuntungan dan manfaat selama menggunakan energi bersumber dari turbin angin dan solar panel. Walaupun, ada pula beberapa keluhannya dalam menggunakan energi terbarukan tersebut.

Mursidah memaparkan, sebelum peristiwa tersambarnya petir pada tahun 2012, asupan energi sangat baik dan cukup. Akan tetapi, setelah peristiwa tersebut, kebutuhan energi dirasakan kurang oleh Mursidah dan para pedagang lainnya. Saat ini, asupan listrik hanya cukup digunakan untuk mesin blender, rice cooker dan lampu saja.

“Namun, kehadiran PLTH jelas lebih murah dibanding menggunakan energi dari PLN. Setiap dua minggu hanya membayar lima ribu rupiah untuk listrik dan lima ribu untuk air,” kata Mursidah.

Selain Mursidah, saya bertemu Hartono, sebagai warga Ngentak, Poncosari, Srandakan, Bantul ia juga merasakan dampak positif dari hadirnya PLTH. Ia sangat merasakan keuntungan secara ekonomi yang didapat dengan menggunakan PLTH dibanding PLN. Walaupun dirasa energi listrik yang diperlukan masih tergolong terbatas, akan tetapi biaya yang dikeluarkanpun justru lebih murah.

“Jika pakai PLN, tidak dipakai pun kita tetap harus membayar, akan tetapi sistem di PLTH pembayaran tergantung jumlah energi listrik yang terpakai,” kata Hartono.

Arif Fiyanto dari Greenpeace Indonesia ketika dihubungi Mongabay-Indonesia mengatakan, Di Indonesia, saat ini sebagian besar energi listrik berasal dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil yang menyebabkan emisi karbondioksida yang menjadi salah satu penyumbang terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim. PLN selaku perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diberikan wewenang untuk mengatur kebutuhan energy hingga saat ini masih menggunakan bahan energi fosil, yaitu batubara. Selain itu permintah Indonesia masih sangat tergantung pada sumber energi fossil yang bersumber dari batu bara, minyak dan gas.

“Pemerintah Indonesia belum menseriusi penggunaan energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. Pemerintah sudah seharusnya meninggalkan energi berbahan fosil yang kotor dan beralih ke energi terbarukan,” kata Arif.

Skema Biogas di pesisir Pantai Baru sebagai energi alternatif bahan bakar yang ramah lingkungan. Foto: Tommy Apriando
Skema Biogas di pesisir Pantai Baru sebagai energi alternatif bahan bakar yang ramah lingkungan. Foto: Tommy Apriando

Penelitian Greenpeace-Indonesia, untuk PLTU di Batang Jawa Tengah yang rencananya akan dibangun sebagai pembangkit listrik terbesar di Asia Tenggara, ditaksir akan melepaskan emisi karbon hingga 10,8 juta ton per tahun. Selain itu, dampak dari pembakaran energi listrik yang bersal dari batubara  akan menghasilkan berbagai polutan beracun ke udara seperti NOx (Nitrogen Oksida), SOx (Sulfur Oksida), PM 2,5 (Particulate Matter) dan Merkuri. Polutan-polutan beracun inilah menyebabkan berbagai dampak serius bagi kesehatan bagi masyarakat.

Arif Fiyanto menambahkan, terhadap energi terbarukan di pesisir pantai, Bantul Yogyakarta tentu kami mengapresiasi dan ingin menyampaikan bahwa apa yang ada di pesisir Jogja tersebut adalah bukti bahwa energi terbarukan itu bisa dilakukan, digunakan dan bermanfaat. Energi terbarukan adalah solusi tepat untuk menghambat laju perubahan iklim. Energi terbarukan juga menjadi sumber energi potensial agar Indonesia dapat mewujudkan keadilan energi dan kedaulatan energi.

“Kami berharap apa yang ada di Jogja bisa di contoh dan bisa diterapkan daerah lainnya. Dan tentu kita berharap siapapun pemimpin negara kedepannya bisa membuat regulasi yang tegas dan memasukkan sumber energi terbarukan agar dapat dimanfaatkan secara maksimal guna terwujudkan kedaulatan energi dengan mengacu pada prinsip keadilan energi,” kata Arif Fiyanto.

Proyek PLTH ini lahir berdasarkan kesepakatan yang dibuat pada tahun 2010 lalu dan sudah berakhir pada akhir Desember 2013. Proyek ini merupakan kerjasama dari berbagai pihak, mulai dari Kementerian Riset dan Teknologi, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Bappeda Bantul, Universitas Gadjah Mada, jajaran pemerintahan daerah Bantul dari Dinas Sumberdaya Air, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pertanian, Dinas Perikanan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan hingga Dinas Pariwisata Kab. Bantul, dan Kecamatan Srandakan dan para pemuka masyarakat (Kepala Dukuh/Dusun) beserta masyarakat di sekitar pantai Pandansimo Bantul. Dari kerja sama tersebut, aktor utama yang paling penting adalah peran aktif dari masyarakat sekitar pantai dan para wisatawan pengunjung Pantai Baru.

“Saat ini pengelolaannya sudah diserahterimakan ke Pemda Kabupaten Bantu dalam hal ini Bappeda Bantul,” kata Wahid Rio, di sekretariat Workshop PLTH.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,