,

Karya Lukis Kotoran Gajah untuk Biayai Pendidikan Konservasi

Banyak cara untuk mengungkap ekspresi seni, termasuk yang nyeleneh diluar kebiasaan yang ada.  Misalnya apa yang dipraktekkan oleh para relawan konservasi gajah di Seblat, Bengkulu, yaitu melukis dari kotoran gajah.  Kebiasaan 20 gajah pelatihan di Taman Wisata Alam Pusat Latihan Gajah (PLG) Seblat yang makan pelepah sawit ternyata memberikan inspirasi sejumlah relawan taman wisata itu. Hebatnya, dari hasil penjualan lukisan yang mereka buat pun cukup untuk membantu pembiayaan operasional para relawan. Inspiratif!

Gajah yang makan pelepah sawit, kotorannya berwarna coklat muda dan banyak serat. Sementara gajah makan rumput, daun atau pelepah warna hijau, kotorannya berwarna hitam atau hijau tua dan seratnya lebih halus. Nah, ke-20 gajah di PLG Seblat, selain makan rumput juga makan pelepah sawit, sehingga warna kotorannya kuning dan hitam.

“Melihat kotoran gajah di PLG Seblat yang memiliki dua warna ini, membuat saya terpikir dijadikan bahan lukisan relief,” kata Anang Hermansyah (30), ketua ECC (Elephant Care Community), pertengahan Juni 2014 lalu. Kelompok ECC merupakan komunitas anak muda dari desa sekitar PLG Seblat, yang kegiatannya mendorong masyarakat untuk mengenal, mencintai, dan melindungi gajah.

“Gagasan itu juga didorong karena begitu banyak kotoran gajah di PLG Seblat yang harus kami bersihkan. Dan kami pun pernah mengikuti pelatihan pembuatan kertas menggunakan kotoran gajah,” kata Anang.

Anang Hermansyah, ketua ECC (Elephant Care Community), sepulang dari memberikan pendidikan konservasi gajah di sekolah-sekolah di Bengkulu Utara. Foto: Taufik Wijaya
Anang Hermansyah, ketua ECC (Elephant Care Community), sepulang dari memberikan pendidikan konservasi gajah di sekolah-sekolah di Bengkulu Utara. Foto: Taufik Wijaya

Dengan adanya dua warna tersebut, lukisan-lukisan relief yang dibuat dari kotoran gajah di PLG Seblat tidak perlu diberi warna lagi. Warna coklat muda dan hitam cukup memberikan membuat tiap objek menjadi menonjol.

Misalnya gambar gajah dan obyek lain seperti pohon atau batu dibuat dari kotoran warna hitam, sementara latar belakang dengan kotoran warna coklat muda. Atau juga dua warna itu dipadukan.

“Pokoknya lukisan ini ramah lingkungan karena tidak menggunakan zat perwarna,” ujar Anang.

Sejak tahun 2000, lukisan gajah yang dibuat mencapai 80-an. Lukisan gajah yang rata-rata berukuran 40 x 50 centimeter dijual seharga Rp300 ribu. Ada juga yang memesan lukisan dengan ukuran 80 x 100 centimeter, dan harganya pun menjadi Rp750 ribu. Modal tiap lukisan sekitar Rp130 ribu. Modal ini untuk pembelian alkohol, triplek, dan bingkai.

“Hasil dari penjualan lukisan ini sedikit membantu biaya transportasi dan lainnya buat kegiatan kami, seperti melakukan pendidikan konservasi gajah kepada pelajar SD, SMP dan SMA di Bengkulu Utara ini,” jelas Anang.  Apa yang mereka lakukan bersama ECC turut memberikan dampak positif bagi keberlangsungan gajah di PLG Seblat.  Menurutnya, masyarakat di desanya maupun di desa lainnya sudah paham bagaimana pentingnya menjaga kehidupan gajah.

“Gajah itu seperti manusia. Jika hidup mereka tenang, tersedia makanan dan tempat tinggal, mereka tidak akan mengganggu manusia. Makanya jika sayang gajah, jagalah hutan,” kata lelaki yang memiliki seorang anak perempuan ini.

Salah satu lukisan dari kotoran gajah yang telah jadi. Foto: Taufik Wijaya
Salah satu lukisan dari kotoran gajah yang telah diselesaikan. Foto: Taufik Wijaya

Pesanan Banyak, Modal Masih Sedikit

Sejak pagi Dianto (23) sibuk menempelkan kotoran gajah yang sudah diolah ke atas triplek berukuran 40 x 50 centimeter di studionya, yang menyatu dengan dapur rumah orangtuanya di Desa Suka Maju, Kecmatan Putri Hijau, Kabupaten Bengkulu Utara, Bengkulu. Sebelum menempelkan kotoran gajah seperti pulpa, Dianto terlebih dahulu membuat sketsanya.

“Ini lukisan yang dipesan sebuah sekolah,” kata Dianto. “Sebuah lukisan dikerjakan dari pagi sampai sore,” lanjutnya.

Bukan melukis yang memakan banyak waktu, tapi pembuatan pulpa kotoran gajahnya. Dijelaskannya, kotoran gajah yang dikumpulkan sebelum dijemur harus direbus lebih kurang 10 jam. Setelah direbus kotoran tersebut dijemur selama dua pekan. Lalu kotoran gajah yang kering dicincang, kemudian diberi alkohol. Saat mau digunakan atau menjadi pulpa, kotoran gajah itu dicampur dengan lem.

“Tiap tiga kilogram kotoran gajah yang sudah kering dan dicincang membutuhkan setengah kilogram lem,” ujarnya.

Bona, si maskot dari PLG Seblat, sedang makan pelepah sawit. Foto: Taufik Wijaya
Bona, si maskot dari PLG Seblat, sedang makan pelepah sawit. Foto: Taufik Wijaya

Remaja putus sekolah ini pun bercerita alasannya mau menjadi pelukis kotoran gajah. “Saya menyukai gajah. Gajah itu kalau kita baik, dia juga baik. Gajah-gajah di PLG Seblat seperti teman bagi saya. Jadi saya sedih jika gajah-gajah itu hidup menderita karena hutan rusak, atau diburu manusia.”

“Melalui lukisan ini, saya berharap semua orang turut menjaga dan menyayangi gajah, khususnya gajah-gajah di PLG Seblat,” katanya.

Sebenarnya, pihak yang memesan lukisan gajah cukup banyak, tapi modal mereka sangat terbatas. “Akibatnya pesanan sedikit lamban dipenuhi karena modalnya terbatas,” ujarnya.

Selain itu, mereka pun ingin melakukan pameran lukisan dari kotoran gajah ini di sejumlah kota di Sumatera. Tujuannya agar masyarakat di Sumatera memahami pentingnya menjaga keberadaan gajah, khususnya gajah sumatera yang saat ini jumlahnya kian kritis.

Menurut data WWF Indonesia, saat ini jumlah gajah sumatera berkisar 2.400- 2.800 ekor di alam liar.  Area TWA PLG Seblat di Bengkulu Utara, propinsi Bengkulu, seluas 7.737 hektar merupakan satu-satunya taman wisata alam yang dihuni seratusan gajah liar, dan 20 gajah yang dilatih.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,