,

Rise of the Eco-Warriors: Dokumentasi Keresahan Pemuda Dunia akan Rusaknya Hutan Kalimantan

Apa yang terjadi jika 15 pemuda yang berasal dari berbagai negara ditantang untuk tinggal di belantara Kalimantan selama seratus hari? Hanya berbekal pengetahuan terbatas dan tanpa pernah menapakkan kaki sebelumnya, mereka dihadapkan pada misi yang tidak mudah: menyelamatkan hutan Kalimantan yang rusak, melapangkan ruang gerak orangutan yang terancam, serta membantu kehidupan masyarakat Dayak yang terkepung perkebunan sawit.  Dikemas dalam balutan dokumenter, film Rise of the Eco-Warriors berusaha menunjukkan perjuangan generasi muda multi bangsa yang siap menghadapi dan menjadi bagian dari solusi perubahan lingkungan planet bumi.

Di bawah arahan mentor Dr. Willie Smits, para pemuda yang berasal dari Indonesia, Singapura, Australia, Amerika, Kanada, Inggris, Perancis, dan Kenya ini membuat aksi nyata di lapangan. Lima belas orang ini yaitu Fahrani Empel, Mark Kuroski, Ben Dessen, Fabrice Marre, Anne-Sophie Marion, Paul Daley, Steve Patriarco, Kodi Twiner, Liza Heavener, Perry Schumacher, Shadrack Kalasa, Tom Smith, Emily Hunter, Yvette Teeselink, dan Neo Chai Chin kemudian membentuk empat kelompok yang disesuaikan dengan kehandalan mereka; Education Team, Earthwatchers Team, Wildlife Rehabilitation Team, dan Reforestation Team.

Mark White, sang produser, kepada Mongabay Indonesia menuturkan tidak mudah menyelesaikan film ini. Jatuh bangun mewarnai perjalanan Rise of the Eco-Warriors, mulai dari pendanaan yang seret hingga lokasi pengambilan gambar yang sulit di belantara hutan. “Kami tidak pernah menyerah untuk melakukan hal baik. Kami ingin menjadi bagian dari perbaikan hutan Kalimantan. Terbukti, film ini bisa dirilis pada Maret 2014”.

Mengapa Kalimantan yang dipilih sebagai lokasi syutingnya? Pria berkacamata ini punya alasan menarik. Kala itu, sekitar 2007, dia melihat keanehan saat terbang melintasi Borneo. Pandangannya menukik tajam pada maraknya pembukaan perkebunan sawit serta tingginya laju kerusakan hutan alam.

Sekembalinya ke Australia, Mark berpikir keras apa yang dapat ia lakukan. Pencarian panjangnya mengantarkan ia bertemu Dr. Willie Smits yang selama ini berkecimpung dalam konservasi orangutan di Kalimantan. Dari perkenalan itu timbul ide untuk membuat film dokumenter yang setelah dikerucutkan terjaring tiga tema besar yaitu deforestasi, orangutan, dan generasi muda.

“Tahun 2010, proyek diluncurkan dan baru berjalan 2012 ketika para aktor muda itu benar-benar datang ke Kalimantan.”

Dalam sebuah scene film ini, para relawan ini bertugas untuk menyelamatkan Jojo dan Juvi, dua bayi orangutan yatim piatu, yang dipercayakan pada mereka.  Mereka diminta untuk untuk menemukan cara untuk mengembalikan mereka ke rumah hutan mereka. Untuk melakukan hal ini, mereka harus membangun pusat rehabilitasi orangutan di Sintang, Kalimantan Barat dan mulai bekerja di lokasi pelepasan di desa Tembak. Mereka juga harus menemukan cara untuk bekerja dengan masyarakat lokal untuk melindungi hutan mereka.

Menurutnya para pemain yang berperan dalam film ini memiliki kemampuan berekspresi alami, dan bukan rekayasa. “Fahrani misalnya, ia sosok cerdas dan penuh talenta. Begitu juga dengan Kodi Twiner asal Australia yang di negerinya itu tidak hanya berkutat pada lingkungan tetapi juga berprofesi sebagai musisi handal.”  Dalam film ini salah satu tokoh Fahrani Empel berasal dari Bali, Indonesia.

Sejauh ini, Rise of the Eco-Warriors diterima baik di Australia, Singapura, dan Indonesia. Mark juga akan mempromosikan ke Belanda dan seluruh Asia. Rencananya, keuntungan dari film ini nanti akan disumbangkan untuk kegiatan lingkungan salah satunya yaitu pusat penyelamatan dan rehabilitasi orangutan di Sintang, Kalimantan Barat.

Pertanyaan menarik adalah menindaklanjuti bagaimana kabar 15 pemuda petualang itu sekembalinya ke negeri masing-masing. Apakah mereka akan terus melakukan kegiatan pelestarian lingkungan setelah mendapat inspirasi hidup selama 100 hari di bumi Borneo? Menarik untuk kita simak perkembangannya.

==================

Dari redaksi Mongabay (24/06/2014):

Terkait dengan tulisan di dalam artikel ini, redaksi Mongabay menerima masukan dari aktivis orangutan yang pernah terlibat di dalam pusat rehabilitasi orangutan di Kalimantan Barat, Sintang Orangutan Center (SOC).  Pembaca yang bijak diharap untuk dapat memperbandingkan diantara kedua fakta yang ditampilkan dalam dua tulisan ini.

Link:

http://redapes.org/projects-partners/sins-of-sintang/statement-by-jaan/

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,