,

Refleksi Hari Anak Nasional: Belum Ada Lingkungan Aman untuk Anak Samarinda

Ketidakamanan lingkungan Kota Samarinda telah merenggut nyawa delapan anak antara 2011 hingga 2014. Akankah kondisi ini sejalan dengan tema peringatan Hari Anak Nasional 2014 “Indonesia Satu Aksi, Stop Kekerasan terhadap Anak” yang diperingati 23 Juli lalu? 

Beberapa hari sebelum perayaan Hari Anak Indonesia digelar, di Rawa Makmur, Palaran, tepatnya di rumah keluar Ngatimin dan Zuraida, transmigran asal Kebumen, Jawa Tengah, diadakan tahlilan 100 hari meninggalnya Nadia Zaskia Putri. Murid kelas lima SDN 015 Rawa Makmur itu, didapati tak bernyawa lagi di lubang tambang CV. Cahaya Ramadhan, anak perusahaan PT. Energi Cahaya Industritama (ECI). Saat ditemukan, Selasa (8/4/14), bocah malang 10 tahun ini masih mengenakan seragam sekolah dengan posisi kepala terbenam lumpur.

Kasus ini belum ada titik terangnya meski sudah lebih 100 hari berlangsung. Berbagai kalangan menilai, kondisi ini merupakan preseden buruk bagi kenyamanan hidup masyarakat Samarinda. “Kami ingin pemerintah bertanggung jawab terhadap lubang-lubang tambang yang sampai sekarang menjadi ancaman serius warga Samarinda. Khususnya anak-anak,” ucap Haris Retno, dari Koalisi Peduli Korban Tambang Batubara.

Sebagai bentuk keseriusan, koalisi yang terdiri dari lembaga swadaya masyarakat (LSM), peneliti, dan akademisi ini telah melayangkan surat resmi kepada Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, tentang meninggalnya delapan anak di kolam bekas tambang di Samarinda.

Reaksi berbeda disampaikan Pemerintah Kota Samarinda yang mengatakan bahwa kasus tenggelamnya delapan anak di kolam bekas tambang merupakan urusan kepolisian. “Karena menyangkut kecelakaan dan memakan korban, yang terbaik adalah penyelidikan kepolisian,” ucap Nusyirwan, Wakil Walikota Samarinda.

Padahal, dalam sidang keputusan gugatan citizen lawsuit yang dilayangkan Gerakan Samarinda Menggugat (GSM) pada 16 Juli 2014 lalu, majelis hakim yang dipimpin Sugeng Hiyanto menyatakan pihak tergugat yang diantaranya Pemerintah Kota Samarinda (diwakili Walikota) bersalah. Pihak tergugat dianggap lalai melaksanakan kewajibannya menciptakan lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Majelis Hakim meminta Walikota Samarinda untuk merumuskan kembali kebijakan dan pengaturan umum mengenai pertambangan batubara, serta evaluasi ijin pertambangan yang telah dikeluarkan. Selain itu, mengawasi juga pelaku usaha melaksanakan reklamasi, memperbaiki fungsi lingkungan hidup, dan melakukan upaya strategis perlindungan kawasan pertanian dan perikanan masyarakat dari pencemaran tambang.

Menyikapi hal ini, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur Merah Johansyah, dengan tegas menyatakan bahwa perusahaan tambang dan Pemerintah Kota Samarinda harus bertanggung jawab”. Ia menyitir UUPPLH Pasal 112: Setiap pejabat yang berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 71 dan 72 yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia dipidana dengan penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).

Seberapa parahkah kondisi Kota Samarinda? Berdasarkan data Jatam Kalimantan Timur, di seluruh wilayah Kota Samarinda sekurangnya ada 150 lubang tambang yang dibiarkan menganga. Kolam-kolam “maut” yang dekat permukiman warga itu setiap saat mengintai korbannya, terlebih anak-anak.

Sumber: Jatam Kaltim

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,