,

Walhi Gugat Qanun RTRW Aceh ke MA. Mengapa?

Pengesahan qanun No 19 Tahun 2013 tentang RTRW Aceh mendapatkan penolakan dari berbagai organisasi masyarakat sipil karena berpotensi mengancam kawasan lindung seperti Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), dan dalam prosespun diduga terjadi berbagai pelanggaran aturan hukum. Untuk itu, Walhi mengajukan gugatan uji materiil (judicial review) qanun ini ke Mahkamah Agung pada Kamis (9/10/14).

Munhur Satyahaprabu, manager Kebijakan dan Pembelaan Hukum Walhi Nasional, mengatakan, langkah ini merupakan upaya lanjutan penolakan Walhi dan masyarakat sipil atas pengesahan qanun yang mengancam kelestarian alam dan warga.Judicial review ini upaya menjaga hutan Aceh. Banyak cara sudah dilakukan masyarakat sipil, dari kampanye, sampai judicial review ini.”

Walhi, katanya,  mendasarkan gugatan fundamental pada prosedur qanun yang menyalahi hukum setidaknya dalam tiga hal.  Pertama, proses penerbitan kebijakan diabaikan. Kedua, dalam penerbitan qanun mengabaikan catatan penting dari Kementerian Dalam Negeri yang menyatakan ada 27 poin harus diperbaiki. Ketiga, qanun tata ruang itu menafikan hak kelola masyarakat adat sesuai putusan Mahkamah Konstitusi No 35. “Hutan di Aceh dalam tata ruang itu ada masyarakat adat. Mereka bermukim dan punya tradisi kelola hutan.”

Dia menjelaskan, qanun tata ruang Aceh itu tak menyebutkan nomenklatur KEL masuk kawasan lindung. “Ini potensi besar KEL bisa dieksploitasi dan dialihfungsi jadi kawasan lain buat industri ekstraktif.”

Aceh, salah satu KEL, merupakan kawasan yang kaya keragaman hayati. Dalam membuat aturan pengkaplingan ruang, seperti qanun RTRW itu, semestinya diawali oleh kajian lingkungan hidup strategis (KLHS). “Tak ada lihat itu tapi qanun udah terbit. Pengkaplingan ruang di Aceh tak ada KLHS. Jadi tak terlepas dugaan kalau itu ada kepentingan industri ekstraktif.”

Mereka mencatat, dalam qanun tata ruang, ada 21 peraturan UU yang dilanggar baik prosedural maupun subtansi, baik UU, Perpres, Kepres, Permenhut, Permendagri sampai Permen PU. “Ada UU Provinsi Aceh, UU Lingkungan Hidup, UU Tata Ruang maupun UU Kehutanan dan lain-lain.”

Menurut dia,  dalam pengajuan JR ini Walhi tak meminta pembatalan qanun RTRW keseluruhan tetapi mengkritisi beberapa hal antara lain, tak masuk KEL dalam qanun, dan prosedur yang tak partisipatif harus diubah.

Muhammad Nur, direktur eksekutif Walhi Aceh mengatakan, hutan Aceh itu sebetulnya benteng terakhir Sumatera, setelah dari Jambi, Riau dan beberapa provinsi lain rusak parah.

Untuk itu, hutan Aceh harus terjaga. Terlebih lagi, Aceh secara geografis dihimpit pengunungan dan struktur tanah labil hingga rawan longsor, gempa bumi dan banjir. Kala hutan terbabat, maka ancaman bagi yang tinggal di sana.

Saat ini, katanya, hutan terus tergerus menyebabkan banjir, longsor parah dan menyebabkan kerugian besar. “Satu kali banjir bandang kerugian mencapai Rp1 miliar. Kalau dibandingkan dengan pendapatan daerah, itu Aceh rugi.” Belum lagi, konflik antara satwa dan manusia terus meningkat, terutama gajah, dan kebakaran hutan dan lahan kerab terjadi.

Dia menilai, pengesahan qanun tata ruang pada akhir 2013 hanya mengejar target. “Tak partisipatif, dan tak mengatur ruang dengan jelas. Tata ruang ini tak menguntungkan masyarakat Aceh hanya untungkan pengusaha besar.”

Menurut dia, ada tiga aturan yang bernuansa sama: mengubah fungsi kawasan hutan, yakni, qanun RTRW, Pergub No 5 tahun 2014 dan SK Menhut No 941 tahun 2013.

SK Menhut  itu, kata Nur, mengubah hutan lindung menjadi penggunaan lain ada di 59 titik pada 19 kabupaten. “Alasan perubahan tak begitu tampak kuat dalam SK ini tetapi sudah disetujui DPR periode sebelumnya.”

Kebijakan setelah itu,  Pemerintah Aceh menerbitkan Pergub No 5 yang memungkinkan pemanfatan kawasan hutan buat izin-izin. “Terbit juga diam-diam. Pergup ini juga sudah kami  ajukan judicial review Juni lalu ke MA.” Baru, setelah SK menhut dan Pergub, menyusul akhir 2013, qanun Aceh disahkan.

Kalau melihat dari aturan-aturan itu, kata Nur, terindikasi upaya pemanfaatan kawasan hutan buat perusahaan ekstraktif. Apalagi, katanya, jika melihat tren pembangunan Aceh seputar bikin jalan, jembatan, pelabuhan yang mayoritas berada di KEL. “Ada 40 ruas jalan dan pakai KEL. Ratusan triliun habiskan untuk jalan. Ada 42 ruang yang hubungkan seluruh Aceh di KEL. Misal, jalur Trumoh-Buluh-Seuma itu pakai kawasan konservasi dan hutan lindung.”

Sumber: Walhi
Sumber: Walhi
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,