,

Ikan-ikan di Sungai Pangkajene Mati, Ada Apa?

Air sungai di sepanjang Kampung Toli-toli, Kelurahaan Tekolabbua, Kecamatan Pangkajene, Kabupaten Pangkejene Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan,  tercemar. Akibatnya, ikan-ikan dan biota sungai lain mati dan mengapung sepanjang dua km.

Biota sungai ini mati bermula sejak Jumat malam, (7/11/14) dan massal pada Sabtu (8/11/14). Warga terperangah. Air sungai berubah warna seperti seduhan teh. “Di pinggir sungai, ikan mengapung dan putih semua,” kata Abdul Halik, warga Kampung Toli-toli.

Pria 73 tahun ini mengatakan, kejadian ini sangat aneh. “Saya tua seperti ini, lahir dan besar di kampung, inilah kejadian pertama ikan di sungai mati.”

Sungai Pangkajene, berhulu di karst dan aliran membelah pusat Kota Pangkep. Jarak muara dari pusat kota sekitar empat kilometer dengan lebar 100 meter. Sungai ini berair payau. Beberapa biota seringkali dijumpai di laut juga ada di sini. Debit air mengikuti sistem pasang surut laut. Saat surut, bagian tengah cukup dangkal.

Pada Senin siang, (10/11/14), saya melihat beberapa nelayan mencari kerang hingga menyeberangi tepian tanpa menggunakan pelampung. Bahkan beberapa kali terlihat warga pencari kerang mencelupkan badan dengan tangan menggapai dasar dan tangan satu terlihat di permukaan memegangi baskom penampung. “Kerang masih hidup, jadi orang masih ambil,” kata Hasmaliah warga lain.

Rumah Hasmaliah, berhadapan dengan aliran Sungai Pangkajene. Ketika ikan-ikan mengambang, bersama anak dan suami ikut menyaksikan, bahkan beberapa ekor disantap. “Orang bilang kalau digoreng tidak apa-apa. Saya dan anak-anak makan, tidak apa-apa.”

Belut juga mati dan tampak membengkak pada Sabtu, 8 November 2014.  Foto  diambil  Senin, 10 November 2014. Foto: Eko Rusdianto
Belut juga mati dan tampak membengkak pada Sabtu, 8 November 2014. Foto diambil Senin, 10 November 2014. Foto: Eko Rusdianto

Ikan-ikan yang mengapung itu cukup menggiurkan. Ada baronang, kakap putih, gulama, sembilan, kwe, kepiting dan udang. Warga ada yang memasak, sampai mengeringkan ikan-ikan itu. “Ada orang menjual ikan hingga Rp150.000-Rp250.000 per ekor,” kata Hasmaliah.

Dugaan awal

Senin siang, tim peneliti Pusat Pengelolaan Ekoregion Sulawesi dan Maluku Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, bersama Andriani, peneliti Budidaya Perikanan dari Politeknik Negeri Pangkep melakukan pemetaan dan mengambil sampel air dan mengukur oksigen.

Dengan menggunakan perahu dan menyusuri sungai, menentukan tujuh titik pengambilan sampel. Dari tujuh titik rata-rata kadar oksigen terlarut dalam air berkisar 3.00 ppm (part per million). Padahal, kondisi normal dengan sengatan matahari diatas empat ppm. “Kalau sekarang (hasil pengukuran oksigen) rendah sekali. Jadi wajar kalau biota di bawah air mati,” kata Andriani.

Air sungai berwarna kemerah-merahan, katanya, karena perkembangan fitoplankton jenis chaetoceros. “Ceroschaetoceros muncul karena unsur nitrogen dalam air tinggi. Plankton inilah yang membunuh ikan dan biota lain.”

Andriani meneliti sejak April 2013-Februari 2014. Dia mengamati beberapa muara sungai di tiga tempat berbeda, seperti Sungai Tallo di Makassar, Sungai Maros, dan Sungai Pangkajene. “Pada April 2013 jenis ceroschaetoceros inilah yang paling banyak di Pangkajene. Pada Juni 2013 berkurang dan Februari 2014 makin berkurang.”

Dengan pengamatan itu, Andriani yakin akan terjadi blooming. “Ternyata terjadi sekarang.”

Dharhamsyah, Kepala Pusat Pengelolaan Ekoregion Sulawesi dan Maluku Kementerian LHK, mengatakan, ada banyak indikasi kemunculan itu. Tambak di sisi sungai, katanya, menggunakan pestisida (pupuk hingga racun hama). “Bisa saja terbawa ke aliran sungai dan mengendap di bawah dasar sungai,” katanya.

Tim peneliti dari Pusat Pengelolaan Ekoregion Sulawesi dan Maluku Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pada Senin 10 November 2014. Foto: Eko  Rusdianto
Tim peneliti dari Pusat Pengelolaan Ekoregion Sulawesi dan Maluku Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pada Senin 10 November 2014. Foto: Eko Rusdianto

Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Pangkep, Natsir Sulaiman beranggapan sama. “Gerimis pada Jumat  (8/11/14)  dapat menjadi penyebab. Hujan itu membawa nitrogen dan plankton Dinoflagellata bisa berkembang.”

Peneliti Kesehatan Ikan dan Lingkungan, Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Kementerian Kelautan dan Perikanan, Muharijadi Atmomarsono, beranggapan lain. Kematian massal ikan di sungai ini bukanlah karena kurang oksigen. Bahkan, katanya, pada kondisi oksigen hingga 0,5 ppm organisme atau biota dasar dapat hidup.

Organisme dasar itu antara lain udang dan kepiting.  “Ini mati semua. Kalau seperti itu, mati bukan karena oksigen.”

Indikasi lain, sekitar satu km dari muara sungai ada pelabuhan bongkar muat batubara dan pengapalan semen curah PT Semen Tonasa. “Bisa jadi ada tumpahan semen dan batubara saat pembongkaran. Saya kira semua kemungkinan bisa dimasukkan,” kata Natsir.

Ketika menyusuri sungai bersama tim peneliti Pusat Pengelolaan Ekoregion Sulawesi, kami menemukan beberapa deretan pohon nipah tergusur karena pembangunan tanggul beton, sepanjang satu kilometer.

Hasil uji sementara

Muharijadi, telah meneliti ikan yang mati di Sungai Pangkajene dan menyimpulkan karena biota dan organisme tercemar.

Tercemar karena apa? “Ini yang belum kita tahu dan akan mencari. Saat ini masih penelitian. Cemarannya, bisa jadi dari tambak dan pestisida, limbah kapal, oli dan lain-lain.”

Kerangka acuan Muharijadi, adalah penelitian beberapa ekor ikan tidak ditemukan patogenic (penyebab penyakit ikan). Ikan dibelah dan organ-organ tidak mengalami pendarahan, berarti bukan karena virus. Ketika membuka usus ikan, dia tak menemukan cairan kuning. “Jadi jelas bukan bakteri.”

Dengan kondisi belum pasti, masyarakat diharapkan tidak mengkonsumsi ikan yang mati dari sana. “Jika ikan mati karena organisme patogenic, ikan masih dapat dikonsumsi, sebab jika dimasak bakteri dan virus mati. Jika ada kandungan lain, seperti logam, pestisida, jelas sangat berbahaya.”

Saat ini, Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau KKP, dalam beberapa hari kedepan mengambil sampel dan lanjutan penelitian. Mulai pemetaan aliran sungai, kandungan pestisida, limbah, hingga pengamatan terhadap arus dan kecepatan aliran sungai.

Tanggul banjir yang baru dibuat. Dulu, di tepian sungai itu pohon-pohon ipah. Foto: EKo Rusdianto
Tanggul banjir yang baru dibuat. Dulu, di tepian sungai itu pohon-pohon nipah. Foto: Eko Rusdianto
 Ikan yang mati di sungai dan terlihat membangkak. Sebagian besar ikan-ikan diambil warga, baik dikonsumsi, dijual maupun dikeringkankan.  Amankah ikan-ikan ini dikonsumsi? Foto: Eko Rusdianto
Ikan yang mati di sungai dan terlihat membangkak. Sebagian besar ikan-ikan yang mati sudah diambil warga, baik dikonsumsi, dijual maupun dikeringkan. Amankah ikan-ikan ini dikonsumsi? Foto: Eko Rusdianto
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,