,

Kampung Bantar, Kampung Percontohan Terpadu Yang Gagal Dikunjungi Jokowi

Suasana asri dan nyaman terlihat jelas ketika kita menginjakkan kaki di Kampung Bantar di Liposos II RT 14, Kelurahan Eka Jaya Kecamatan Jambi Selatan Kota Jambi. Deretan tanaman sayur berjejer rapi di dipot-pot  setiap teras rumah warga, mengisi ruang kosong yang ada untuk berbagai jenis tanaman pangan.

Kampung Bantar yang dicanangkan sebagai kampung lingkungan sosial terpadu mandiri dengan ikon Bersih Aman dan Pintar, menjadi kampung yang batal dikunjungi Presiden Joko Widodo pada rangkaian acara peringatan Hari Kesetiawanan  Sosial Nasional 20 Desember 2014 kemarin di Jambi.

Kampung Bantar ini merupakan kawasan uji coba penerapan kampung sosial terpadu tingkat nasional untuk peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. “Walikota Jambi menjadikan Kampung Bantar di Liposos II ini sebagai uji coba keseimbangan kehidupan masyarakat dengan lingkungannya. Dan ternyata mampu menjadi contoh bagi seluruh kampung-kampung di Indonesia,” kata Staf Dinas Sosial Tenaga Kerja Bidang Kesejahteraan Kota Jambi Intan Hadi Pono.

Hadi menjelaskan awalnya  Kampung Bantar merupakan kawasan lingkungan pondok sosial yang sudah ada sejak awal tahun 90-an. Kampung ini menjadi tempat penanganan masyarakat yang terkena masalah sosial, dan menjadi contoh keberhasilan peningkatan ekonomi sekitar 200 kepala keluarga secara gotong royong melalui kesetiakawanan sosial.

Salah satunya keberhasilan melaluli peternakan ikan lele. Abdul Sohib (42) merupakan salah satu pelopor pengembangan pembibitan lele. Berawal dari 17 orang yang memanfaatkan waktu senggang untuk menambah penghasilan keluarga dengan merintis usaha lele.

“Tahun lalu, yang awalnya 17 orang hingga saat ini menjadi 24 anggota kelompok berupaya untuk meningkatkan pendapatan keluarga melalui budidaya ikan. Kebetulan ada satu anggota kelompok yang memiliki kolam, itu yang akhirnya kami kelola bersama-sama,” jelas Abdul yang juga menjabat Sekretaris Pokdakan (Kelompok Pembudidaya Ikan) Makmur Bersama.

Mereka yang umumnya bekerja sebagai buruh harian ini memaksimalkan waktunya di malam hari untuk membangun keramba-keramba ikan tersebut. ”Saat ini ada sepuluh keramba ikan yang isinya lele. Awalnya kami mendapatkan bantuan 5000 ekor bibit lele dari Dinas Perikanan Kota Jambi. Karena minimnya pengetahuan kami tentang budidaya ikan, maka bibit-bibit ini banyak yang mati. Tersisa tinggal 300 bibit lele,” jelas Abdul.

Kampung percontohan sosial terpadu Bantar, Kelurahan Eka Jaya, Jambi yang gagal dikunjungi Presiden Jokowi. Foto : Elviza Diana
Kampung percontohan sosial terpadu Bantar, Kelurahan Eka Jaya, Jambi yang gagal dikunjungi Presiden Jokowi. Foto : Elviza Diana

Kerja keras dan kekompakan yang dilakukan kelompok ini akhirnya membuahkan hasil. Dari 300 bibit awal tahun ini mereka mampu panen raya yang melimpah. Bahkan saat ini mereka sudah memiliki 260 ribu bibit ikan lele. Sepuluh kerambah awal  yang dimiliki kelompok ini, perlahan sudah menebarkan semangat untuk masyarakat di Kampung Bantar ini. Kini, ada 180 keramba yang tersebar di kanal-kanal  yang ada di lingkungan Kampung Bantar.

Tidak hanya itu, hampir semua orang di sini, memiliki kolam yang terbuat dari terpal yang diisi bibit-bibit ikan lele. “ Rata-rata di setiap rumah di sini punya kolam terpal yang berisi ikan lele. Tidak dijual, tapi bisa memenuhi kebutuhan keluarga saja,”katanya.

Cuaca Tak Menentu Jadi Kendala

Kondisi cuaca yang tidak menentu melanda Jambi akhir-akhir ini menjadi kendala bagi budidaya ikan lele. Hujan yang terus-menerus bisa mengeyebabkan kematian masal, pun sebaliknya panas dan hujan yang tidak bisa diprediksi membuat pembudidaya kewalahan.

Menurut Hermanto Petugas Penyuluh Lapangan  Badan Ketahanan Pangan Kota Jambi yang mendampingi kelompok ini menyebutkan hujan yang datang terus-menerus seperti akhir tahun ini menyebabkan rendahnya kualitas lingkungan budidaya secara mendadak.” Adanya perubahan derajat keasaman (Ph), perbedaan suhu, ini menyebabkan plankton mati, dan ikan nya juga stress. Belum lagi adanya penupukan logam berat yang berasal dari air hujan,” jalas laki-laki yang sudah mendekati masa purna baktinya ini.

Kendala ini disebutnya bisa diatasinya dengan peningkatan daya tahan tubuh ikan yang memiliki nama ilmiah Clarias Battracus itu. “Ikan-ikan ini harus diberi vitamin, biar daya tahannya kuat dan tidak mudah terserang penyakit. Sementara untuk mengatasi kadar keasamannya harus diberi kapur,” jelasnya.

Selain kendala munculnya penyakit , Abdul menyebutkan saat ini mereka juga masih terkendala dengan pemasaran. Belum adanya pasar yang jelas dan pasti, menyebabkan banyak tengkulak-tengkulak yang semena-mena menaruh harga ikan lele mereka. ”Saat ini harga jual bisa mencapai Rp15 ribu per kg. Tetapi karena kami belum punya pasar, para tengkulak bisa memainkan harga. Alasan mereka ikan melimpah jadi mereka belinya bisa cuma Rp12 ribu per kg nya. Kami bisa rugi,” sebut Sohib.

Mereka mengharapkan bantuan pemerintah untuk pemasaran, sehingga bisa terlepas dari ketergantungan dengan tengkulak. “Adanya wadah pemasaran yang bisa menampung produksi-produksi  ikan ini. Selain itu kami juga butuh perhatian dari pemerintah masalah penyakit ini melalui pemberian obat dan vitamin,” tambahnya.

Selama ini,  untuk mengatasi harga yang tidak menentu, mereka juga melibatkan kaum perempuan dengan mengolah lele tersebut menjadi kerupuk, abon, dan pakan ternak. Usaha ini sudah mulai dikembangkan, walaupun dengan keterbatasan fasilitas.

“Untuk pengolahan ikan kami sudah punya kelompok wanita tani Maju Bersama. Dengan fasilitas manual, kami sudah mulai mengolah ikan menjadi kerupuk dan abon. Bahkan sisa kepala lelenya sudah diuji cobakan untuk menjadi pakan bagi lele-lele itu,” kata Ketua Kelompok Wanita Tani Maju Bersama, Halimah.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,