Ketika Warga Lereng Merapi Melawan Tambang Ilegal. Ada Apakah?

Kesabaran Prapto Hartono dan ribuan warga desa dari tiga kecamatan yakni Kecamatan Turi, Cangkringan dan Pakem, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, membuncah pada Selasa (17/02/ 2015).

Sekitar pukul 08.00 mereka memblokir jalan di pertigaan Dusun Candi Purwobinangun, Desa Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta. Mereka marah, kecewa dan memutuskan mengambil sikap tegas menghalang truk-truk tambang galian C (pasir) yang melintasi jalan desa mereka.

Laki-laki dan perempuan, tua, muda dan anak-anak turun memblokir jalan. Spanduk tuntutan “Usir Bega, Aku Ora Bego”, “Save Merapi”, “Merapi Ora Didol dan berbagai tuntutan lain terbentang di lokasi aksi. Warga juga mengenakan ikat kepala bertuliskan “bela lereng merapi”.

Prapto mengatakan pertambangan ilegal mengancam lereng Merapi sebagai daerah resapan air. Jika dirusak dampaknya bukan warga di Purwobinangun tapi warga Bantul dan Kota Yogyakarta. Saat musim hujan ini, beberapa sumur warga kering. Selain itu, jalan yang dilalui truk-truk tambang ini adalah jalur evakuasi dengan dana Rp1,2 miliyar perkilometernya, dengan panjangnya sekitar 8 kilometer.

Ada 500 truk per hari yang mengangkut pasir. Bahkan seminggu terakhir ini mencapai 750 truk lebih dengan berat sekitar 9 kubik atau berkisar 10 Ton.  Dan 20-an backhoe di area pertambangan.  Ketika musim kemarau debu jadi masalah.  “Kalau jalannya sudah rusak, pemerintah belum tentu mau langsung memperbaiki,” kata Prapto.

Truk-truk pengangkut tambang parkir dan tidak bisa beroperasi karena aksi warga meminta pertambangan dihentikan dan alat berat diturunkan. Foto  : Tommy Apriando
Truk-truk pengangkut tambang parkir dan tidak bisa beroperasi karena aksi warga meminta pertambangan dihentikan dan alat berat diturunkan. Foto : Tommy Apriando

Ia melanjutkan pertambangan membuat keresahan dan konflik antar tetangga. Ada warga pro dan menolak tambang. Mereka tidak begitu berharap kepada pemerintah, karena sudah berulang kali mengirim surat, namun tidak ada respon. Bahkan surat dari dinas ESDM, disobek oleh penambang.

“Kalau terhadap pemerintah kami yakin tidak mampu. Kami harus turun tangan hentikan tambang ilegal yang rusak lingkungan dan sumber air,” tambahnya.

Surat Bupati Sleman

Pertambangan ilegal dimulai, ketika tanggal Kepala Dinas Sumber Daya Air, Energi dan Mineral, Kabupaten Sleman Sapto Winarno mengeluarkan surat nomor 545/941 tertanggal 1 Oktober 2014 perihal penghentian sementara normalisasi Daerah Aliran Sungai (DAS) Boyong wilayah Desa Purwobinangun, Pakem, Sleman. Keputusan tersebut dikeluarkan menindaklanjuti surat Kepala Desa Purwobinangun Heri Suasana nomor 545/183/IX/2014 tertanggal 30 September 2014 perihal penghentian pertambangan/normalisasi.

Kemudian Bupati Sleman Sri Purnomo pada 7 November 2014 mengeluarkan surat edaran nomor 540/02280 perihal penghentian pengambilan material bukan logam dan batuan di lokasi tidak berijin yang ditujukan kepada penanggung jawab pemrakarsa/pelaksana usulan dan atau kegiatan/pemilik lahan di Sleman, merujuk Undang-undang nomor 32 /2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Aparatur pemerintah kabupaten Sleman, kecamatan dan desa dihadirkan oleh warga untuk menyampaikan tuntutan agar pertambangan dihentikan dan alat berat turun. Foto : Tommy Apriando
Aparatur pemerintah kabupaten Sleman, kecamatan dan desa dihadirkan oleh warga untuk menyampaikan tuntutan agar pertambangan dihentikan dan alat berat turun. Foto : Tommy Apriando

Pada pasal 9 Perda No. 4/2013 tentang usaha pertambangan mineral bukan logam dan batuan, menegaskan bahwa setiap orang atau badan usaha yang melakukan usaha pertambangan yang tidak memiliki Ijin Usaha Pertambangan (IUP) atau IPR diancam denda hukuman pindana penjara maksimal 10 tahun dan dikenakan denda dapat mencapai Rp10 miliar.

“Saya sudah menyampaikan permohonan penghentian pertambangan dan saya dukung keinginan warga agar alat berat diturunkan,” kata Heri Suasana.

Sementara itu, Kepala Desa Girikerto, Turi, Sleman, Sumaryanto mendukung upaya warga menjaga kelestarian lingkungan. Ia mengapresiasi dan mendukung perjuangan warga menjaga lingkungan di lereng Merapi untuk dilestarikan. Kerusakan tidak hanya fisik lingkungan, namun juga ada indikasi kerusakan sosial.

“Saya sebagai kepala desa siap mendukung apa yang menjadi aspirasi masyarakat desa”, katanya.

Direktur Walhi Yogyakarta, Halik Sandera kepada Mongabay mengatakan, wilayah lereng Merapi adalah kawasan imbuhan air yang secara tata ruang jadi kawasan lindung. Artinya pemanfaatannya terbatas. Penambangan ilegal dilahan pertanian berdampak pada lingkungan dan sumber air.

“Bukan hanya masyarakat Purwobinangun namun jangka panjangnya terdampak bagi masyarakat di Kota Yogyakarta dan Kab. Bantul,” kata Halik.

Ia menambahkan, selama ini ancamannya ketika erupsi Merapi terjadi, namun kerusakan insfrastruktur jalan evakuasi menjadi ancaman warga ketika terjadi erupsi lagi. Warga yang akan mengungsi tentu terganggu. Selain itu, pertambangan telah berdampak terhadap kuantitas air yang mulai menurun, baik di sumur dan sumber air.

“Ini musim hujan, artinya jika dimusim kemarau dampaknya bisa lebih luar biasa,” tambahnya.

Merapi Ora Didol menjadi jargon warga menolak pertambangan demi menjaga kelestarian lingkungan di lereng Merapi. Foto : Tommy Apriando
Merapi Ora Didol menjadi jargon warga menolak pertambangan demi menjaga kelestarian lingkungan di lereng Merapi. Foto : Tommy Apriando

Masyarakat hanya melihat sisi ekonomi dari pertambangan dan sangat minim mengetahui status tata ruang dan peruntukan kawasan. “Jika masyarakat sudah mengetahui, kawasan lindung yang melindungi bawahannya peruntukannya harus betul-betul sesuai fungsinya agar tetap terjaga aktifitas masyarakat dan tidak merusak kawasan lindung,” kata Halik.

Pemerintah Lambat

Wakil Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Purwobinangun  Marjuni mengatakan pihaknya sudah berulang kali melaporkan tindakan penambangan ilegal, namun tidak direspon.  “Apa yang membuat anda bekerja lambat. Mereka sudah jelas ilegal dan mencuri. Harus ada sanksi hukum yang tegas,” kata Marjuni marah kepada aparat pemerintah daerah dan penegak hukum.

Sementara itu, Kepala Seksi Penegakan Perundang-undangan dan Peraturan Daerah Satuan Polisi Pamong Praja, Kab. Sleman  Rusdi Rais mengatakan pihaknya sudah berulang kali melakukan tindakan, mulai dari operasi ke lokasi dan mengambil kunci alat berat. Setiap kami di lokasi pertambangan tidak bertemu dengan pemilik lahan atau pemilik alat berat, hanya bertemu operator saja.

“Harapan kami dengan menyita kunci alat berat, pemilik alat berat (backhoe) datang ke kantor dan ambil kunci,” kata Rais.

Ia menambahkan, pihaknya setuju alat berat diturunkan, namun masih bingung mencari mobil pengangkut alat berat. Ia juga berjanji dalam satu atau dua minggu kedepan akan ada yang jadi tersangka, yakni pengusahanya (pemilik alat berat) dan pemilik lahan.

“Yang menetapkan tersangka Polres Sleman. Ada pemilik tanah dan pengusaha, semoga penetapan tersangka bisa memberikan efek jera,” kata Rais.

Kepala Kepolisian Sektor Pakem, Kompol Sudaryanto mengatakan, pihaknya akan mengawal penurunan alat berat dari lokasi tambang keluar dari Desa Purwobinangun. Ia berharap ketika alat berat turun tidak ada tindakan anarkis warga.

“Kami tidak akan anarkis, tidak melakukan kekerasan dan kami jamin. Sekarang penuhi permintaan warga. Turunkan alat berat sekarang juga,” kata Marjuni.

Hingga Rabu (18/02/2015) sudah 11 alat berat diturunkan. Tidak ada anarkisme warga. Warga desa hanya ingin menjaga kelestarian lereng merapi sebagai daerah imbuhan air.

“Hentikan pertambangan ilegal. Berikan sanksi seberat-beratnya. Warga maling seekor Ayam dihukum berat, masa maling dan perusak lingkungan dibiarkan saja,” tanya Marjuni kepada Rusdi Rais mengakhiri orasinya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,