, ,

Kala Daerah Abai, Orangtua Korban Tambang Ngadu ke Menteri Lingkungan

Orangtua M Raihan Saputra, korban tewas lubang tambang, Rahmawati dan Misransyah, bertemu Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta. Mereka menuntut keadilan karena daerah seakan abai, baik pemerintah maupun perusahaan. Namun, mereka baru mendapat janji. Menteri Siti berjanji, mengirimkan surat perintah kepada Walikota Samarinda, agar serius menangani kasus ini serta mengajak elemen masyarakat ikut mengawasi.

Muhammad Abidzar tampak gelisah. Beberapa kali dia menangis. Bayi 1,4 tahun ini mungkin ngantuk atau asing dengan suasana sekeliling. Kedua orangtuanya bergantian menggendong. Lebih sejam, akhirnya,  Abidzar terlelap di pangkuan sang ayah.

Siang itu, Selasa (24/2/15), kedua orangnya, Rahmawati dan Misransyah, tengah mencari keadilan di Jakarta. Dari Samarinda, Kalimantan Timur, bersama organisasi pendukung petisi tutup lubang tambang, Walhi, Jatam dan Change, mereka datang ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, buat bertemu Menteri Siti Nurbaya.

Anak mereka berusia 10 tahun, M Raihan Saputra, abang dari Abidzar, pada 22 Desember 2014, tewas tenggelam di lubang tambang tak jauh dari rumah di Jl. Padat Karya, Sempaja Selatan. Namun, belum terlihat tindakan dari pemerintah maupun aparat di daerah terhadap perusahaan yang sudah meninggalkan lubang tambang menganga sejak tiga tahun lalu itu.

Rahmawati tampak berat untuk berkata-kata. “Saya gak tau masalah hukum. Saya mau, tak ada kejadian lagi. Cukup saya saja. Jangan sampai orangtua lain rasakan apa yang saya rasakan,” katanya terbata.

Dia mengenang kejadian kelam sekitar dua bulan lalu itu.  Kala itu, dia sedang sakit. “Ada yang kasih tahu kalau Raihan jatuh. Saya awalnya tak tahu…Saya shock.” Rahmawati menangis seraya minta tolong.  Menurut dia, anaknya, tak pernah bermain ke sana. “Kami sudah 15 tahunan di sana. Awalnya kami tak tahu kalau ada lubang batubara.”

Rahmawati khawatir, kejadian seperti ini bakal berulang jika tak ada perhatian serius pemerintah. Lubang-lubang tambang masih menganga di berbagai tempat. “Saya pesan pada pemerintah, waspada dalam mengelola batubara.”

Misransyah juga berharap sama. Menurut dia, perlu perhatian serius dari pemerintah segera. “Jangan sampai kejadian lagi. Ini harus bisa dipastikan pemerintah. Kalau masih dibiarkan dan terjadi lagi, benar-benar tak ada pikirannya,” ujar dia.

Peta letak rumah Rahmawati dan kolam tambang di Samarinda. Sumber: Jatam Kaltim
Peta letak rumah Rahmawati dan kolam tambang di Samarinda. Sumber: Jatam Kaltim

Desak keseriusan pemerintah

Pada pertemuan itu, Merah Johansyah, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur (Jatam Kaltim) mengatakan, pemerintah harus mampu menyelesaikan secara menyeluruh, mencegah tak terulang lagi. “Bukan cuma penyelesaian case by case, tapi holistik,” katanya.

Dengan kejadian anak tewas di lubang tambang, yang menelan sembilan korban dalam empat tahun terakhir ini, Merah, menggarisbawahi beberapa hal. Pertama,  ada pembiaran dan perbuatan melawan hukum dari pemerintah daerah. Keadaan ini, bisa terlihat dalam beberapa aspek dari kasus ini. Dia mencontohkan, kala kerusakan lingkungan hidup mengakibatkan hilang nyawa itu melanggar UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). “Itu tak hanya penanggung jawab usaha tapi pemerintah daerah yang memiliki kewenangan pengawasan juga bertanggung jawab.”

Sayangnya,  sudah sembilan anak meninggal dalam lima kasus tenggelam di lubang tambang, tetapi tak ada penegakan hukum sama sekali. “Sembilan orang itu yang tercatat dan terjangkau media. Bisa jadi lebih banyak lagi.”

Kedua, kasus ini peristiwa terulang dan belum ada kejelasan penanganan di daerah. Kala, pemerintah daerah tak memberikan sanksi atau menyelidiki pidana lingkungan ini, kata Merah, sudah seyogyanya pemerintahan lebih tinggi, yaitu provinsi dan KLHK bisa mengambil tindakan. “Jadi ada perbuatan melawan hukum. Ada kelalaian.”

Ketiga, pemberian izin dan operasi perusahaan tambang juga menyalahi aturan. Di mana,  dalam peraturan Menteri Lingkungan Hidup, tahun 2012, tentang indikator tambang, bahwa lubang tambang minimal berjarak 500 meter dari pemukiman. Di Samarinda, lubang-lubang tambang, berada dekat pemukiman, bahkan lahan-lahan pertanian warga ada yang berubah menjadi tambang. “Kasus anak tewas 2011, lubang tambang PT Panca Prima Mining 50 meter dari pemukiman. Kasus Raihan, 189 meter. Ini jelas melawan hukum.”

Kondisi berat bagi warga Samarinda kala 71% luas kota itu sudah terbagi-bagi ke dalam 52 izin usaha pertambangan—dari sebelumnya 76 IUP. “Ruang hidup dikapling jadi tambang. Ini risiko pemukiman berdekatan dengan tambang.”

Pelanggaran aturan lain, katanya, soal dokumen lingkungan, salah satu Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) yang menyebutkan tentang pengaturan reklamasi. Dalam peraturan pemerintah soal reklamasi pasca tambang itu 30 hari kalender setelah operasi, lubang tambang harus ditutup. Namun, di lapangan, bertahun-tahun tetap menganga bak danau.

“Kami lihat struktur perbuatan hukum ini, tak ada itikat dan niat baik pemda untuk tegakkan hukum.  Kami menghargai UU PPLH. Sayangnya, gak jalan di lapangan. Ini jadi persoalan. Polisi menyelidiki tapi paling pakai pasal KUHP. Dari dulu gak ada kasus selesai.”

Untuk itu, dia meminta, ada penyelesaian terhadap masalah serius ini. “Ada penegakan hukum. Ada formulasi atau tindakan agar keselamatan warga terjamin. Terutama izin-izin tambang yang terlanjur terbit di kawasan padat penduduk. Solusi dan rekomendasi apa yang bisa didorong?” katanya.

ta3-IMG_1416 Misransyah tengah memangku M Abidzar, kala pertemuan dengan Menteri Siti Nurbaya di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi

Siti Maimunah, aktivis Jatam, menekankan lagi kepada kementerian betapa berbahaya lokasi di sekitar tambang. Dari kejadian terulang, terakhir Raihan itu, terlihat pemerintah daerah tak bisa diandalkan karena tak ada penanganan, bahkan pembiaran. “Tak ada penegakan hukum. Hingga penting, LHK bertindak segera.”

Kondisi Samarinda yang dikuasai tambang ini, katanya, mengisyaratkan ancaman warga bukan hanya tewas di lubang tambang. Tetapi, warga bakal tewas pelahan karena pencemaran-pencemaran dampak tambang, seperti air dan udara buruk.

Maimunah mengatakan, di sana, banyak kawasan pertanian menjadi tambang. “Kawasan pertanian jadi berbahaya karena jadi tambang. Saya rasa sudah waktunya pemerintah pusat tak lagi bicara itu urusan pemerintah daerah. Segera ambil tindakan,” katanya.

Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Walhi Nasional meminta upaya KLHK di lapangan diketahui hingga rekan-rekan di Samarinda bisa memonitor perkembangan.  “Ini isu serius. Menurut kami, kasus ini jadi momentum kementerian buat melihat lubang-lubang  tambang oleh perusahaan. Karena bisnis tambang akan seenaknya kalau kelakuan macam ini. Mereka tak ada tangung jawab lingkungan. Ini yang buat komoditas murah karena biaya sosial ditanggung publik,” katanya.

Dia mempertanyakan, bentuk kongkrit dari KLHK, hingga perkembangan di lapangan, misal, aksi walikota, bisa terlihat.

Menanggapi ini,  Himsar Sirait, Deputi Bidang Penataan Hukum Lingkungan, KLHK, mengatakan, kementerian dari awal ikut mendorong proses hukum dan berkoordinasi dengan kepolisian di sana. Usai kejadian, KLHK turun ke lapangan 27-29 Desember 2014.

“Kita dorong polisi gunakan UU Lingkungan Hidup. Kita dukung penuh, kalau ada yang diperlukan akan bantu.”

Namun, dia mengakui perkembangan di lapangan begitu lambat. Baik mengenai proses hukum maupun reklamasi lubang tambang.  “Reklamasi juga tak alami kemajuan.”

Siti Nurbaya setuju proses hukum harus berjalan. Pemerintah daerah, katanya, sebetulnya ada peringatan-peringatan kepada perusahaan. “Tetapi itu aja gak cukup.”

Untuk itu, KLHK akan mengirim radiogram meminta Walikota Samarinda memperhatikan masalah ini berserta berbagai aspek dengan serius. “Agar mereka tahu, ini masalah serius, harus ditangani. Ini soal pembinaan pusat ke daerah dan daerah ke swasta,” katanya.

Selain bertemu Menteri LHK, orangtua Raihan juga datang ke Kementerian Perempuan dan Anak serta Komnas HAM pada Rabu (25/2/15).

Serahkan petisi

Dalam kesempatan ini, Rahmawati sekaligus menyerahkan petisi tutup lubang tambang batubara Samarinda di Change.org kepada Siti Nurbaya. Dalam waktu belum sebulan, petisi ini hampir ditandatangani 10.000 orang dari berbagai penjuru negeri.

“Respon masyarakat besar sekali,” kata Arief Aziz, dari Change.org. Dia mengatakan, petisi ini menunjukkan masyarakat luas mendukung agar segera ada solusi bagi lubang-lubang tambang yang terbuka. Penandatangan, katanya, bukan hanya orang yang peka lingkungan juga para peduli anak.

Rahmawati menyerahkan petisi kepada Menteri Siti Nurbaya. Foto: Jatam
Rahmawati menyerahkan petisi kepada Menteri Siti Nurbaya. Foto: Jatam
Sumber: Jatam Kaltim
Sumber: Jatam Kaltim
Sumber: Jatam Kaltim
Sumber: Jatam Kaltim
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,