,

Beginilah Kondisi Drainase dan Pesisir Makassar

Bagaimana jika terjatuh di kanal dan got-got pembuangan di Makassar? Berenang? Tak mungkin. Paling hanya berdiri bak patung, kaki tertancap pada endapan lumpur bersama aliran air hitam berbau busuk.

Pada November-Desember 2014, saya berkeliling mengikuti aliran-aliran kanal di Makassar. Menelusuri pemukiman-pemukiman padat penduduk di Jalan Daeng Tata, Jalan Abdul Kadir, lalu menerobos tenda-tenda pedagang di Pasar Pabaeng-baeng, Pasar Terong, dan Pasar Panampu.

Aliran kanal dari Pasar Pa’baeng-baeng, mengalirkan luapan ke Sungai Jeneberang dialihkan menuju pesisir di Pelabuhan Paotere. Kanal inilah andalan warga, selalu terjaga baik. Air mengalir bukan menggenang.

Saat musim hujan, debit-debit air memenuhi kanal ternyata tidak mengalir lancar  melainkan kubangan panjang. Sampah-sampah plastik, dan potongan-potongan kayu mengapung.

Jika volume air berkurang, pasir dan tanah yang bercampur air menumpuk dan mengendap di dasar-dasar kanal. Pelan-pelan membuat lapisan tebal.

Di Makassar, ada tiga aliran kanal utama mengatur sistem panyaluran drainase untuk pembuangan,  yakni, Kanal Panampu, Jongaya dan Sinrijala dengan panjang aliran masing-masing 40 km. Untuk kanal tersier 3.200 km.

Selain kanal, Makassar juga diapit dua sungai besar yakni Jeneberang dan Tallo. Pada kondisi alamiah, Jeneberang yang bermuara di Barombong–-sekarang dekat Tanjung Bayang–akan membuang sedimen seperti pasir dan tanah ke laut. Saat air pasang, sedimen didistribusikan menuju selatan dan surut beralih ke utara.

Sedimen-sedimen terendap itu memunculkan tanah-tanah timbul dan menumbuhkan tanaman mangrove. Namun, proses alamiah itu tak terjadi lagi. Reklamasi besar-besaran di Teluk Losari menjadi bangunan besar seperti rumah sakit, pusat perbelanjaan dan perumahan.

Dadang Ahmad Suriamiharja, Dosen Fakultas MIPA Universitas Hasanuddin, meneliti DAS Jeneberang dan Teluk Losari pada 2001 mengatakan, reklamasi pemerintah Makassar dan Sulawesi Selatan di peisisir tidak memperhitungkan sirkulasi dan hidrologi air. “Jadi, tak ada lagi proses pergantian air. Sekarang, kasat mata terlihat air berlumpur, bau menyengat dan hitam,” katanya.

Reklamasi ini, katanya, juga menghilangkan kawasan serapan air karena menjadi jalan utama lintas Metro Tanjung Bunga. “Pembangunan jalan tidak hanya menghilangkan kawasan mangrove, namun menyisakan kawasan tempat pelelangan ikan di Rajawali sebagai kubangan dan tempat bertumpuk sedimentasi.”

Sedimentasi juga mempengaruhi ekosistem dan biota laut karena menghilangkan beberapa satwa. Sebelum reklamasi,  beberapa penduduk lokal masih mudah menemukan kerang dan ebi serta beberapa ikan. Sekarang tidak lagi.

Ikan-ikan yang hidup di pesisir Losari, yang tahan perubahan lingkungan, seperti lele dan kerapu. “Lele, tahap tertentu mampu menyesuaikan diri dan tahan terhadap limbah atau logam,” kata Neil Muhammad, Antropolog Universitas Hasanuddin,  yang menggeluti kajian masyarakat pesisir.

“Jadi, tidak ada ebi,  salah satu indikator pencemaran. Ingat, udang cepat mati dengan perubahan lingkungan.”

Lele dan kerapu hasil pancingan di wilayah Losari. Foto: Eko Rusdianto
Lele dan kerapu hasil pancingan di wilayah Losari. Foto: Eko Rusdianto

Lalu, Pemerintah Makassar, membuat karamba ikan di Losari. “Ini lucu, itu untuk menunjukkan ikan dapat hidup, tapi belum tentu bisa dikonsumsi sehat dan aman.”

Padahal, regulasi reklamasi di pesisir Losari dianggap ilegal dan tak memenuhi izin lengkap oleh DPRD. Pada Jumat (6/3/15), Panitia Khusus (Pansus) Pembentuk Rancangan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah di DPRD Makassar, menyimpulkan semua pengusaha yang beraktivitas hanya mengantongi sebagian kecil dari 30 persyaratan Undang-undang.

Sebagian besar kegiatan reklamasi Losari, hanya mengantongi dokumen pedoman berupa izin dan rekomendasi pemanfaatan ruang dari Walikota. Hanya sebagian kecil memiliki dokumen Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), dengan keabsahan diragukan Pansus DPRD Makassar.

Buruknya lingkungan pesisir

September–November 1856, naturalis asal Inggris Alfred Russel Wallace dalam The Malay of Archiplago, menuliskan kekaguman saat mengunjungi Makassar. Menurut dia, Makassar kota yang dibangun Belanda di bagian timur yang paling cantik. “Jalan-jalan dijaga agar bersih dari sampah, pipa-pipa bawah tanah membawa semua kotoran dan mengalirkan ke saluran penampungan terbuka.”

“Air kotor akan masuk ke penampungan saat arus pasang dan hanyut saat surut,” tulis Wallace.

Gambaran Wallace itu sungguh berbeda dengan kini. Di wilayah utama Makassar saat kedatangan Wallace, seperti Jalan Ribura’ne, atau sekitaran Benteng Rotterdam, saluran-saluran drainase makin kacau. Ada beberapa tertutup bangunan, atau tumpukan sampah menyumbat aliran.

Tak jauh dari pelabuhan utama Makassar, saya menuju pelabuhan rakyat Paotere. Menelusuri kanal Panampu dan melihat penyempitan muara kanal begitu jelas. Sampah plastik menumpuk seperti gulungan-gulungan rumit yang sukar diurai. Beberapa pengemudi perahu bermesin dengan hati-hati menepi.

Mengangkat mesin dan baling-baling untuk memeriksa potongan kantong kresek yang melilit di kipas. Pada pagi pertengahan Desember 2014, ada puluhan kapal bermesin menepi di pinggir kanal Panampu. Menunggu penumpang dan barang untuk diangkut menuju pulau-pulau kecil di Spermonde.

Keadaan serupa terjadi di Pelabuhan Kayu Bangkoa. Di dermaga, hilir mudik penumpang dan buruh angkut mengangkat dus-dus air mineral, galon air, tabung gas, dan beberapa kebutuhan pokok lain. Di bawah tiang-tiang dermaga, gelombang laut bergoyang pelan, membawa sisa makanan, dan sampah dari berbagai jenis menuju pasir yang hitam.

Jalal, pemilik kapal penumpang Cari Kawan, mulai berteriak. Sesaat kemudian berangkat menuju Pulau Kodingareng, lama perjalanan sekitar 45 menit. Kapal, bergerak mundur dan berputar lalu melaju dengan rute bagian kiri dari Pelabuhan Bangkoa.

Beberapa menit kemudian, dari jarak puluhan meter Kapal Cari Kawan seperti terhimpit, bagian kanan Pulau Lae-lae dan sisi kiri jembatan yang dibangun pemerintah sebagai Center Point of Indonesia (CPI) yang menghubungkan pulau itu dengan Losari.

“Jika Lae-lae dan CPI dihubungkan, arus lalu lintas kapal penumpang menuju Kodingareng berputar jauh,” kata Neil.

Selain lalu lintas pelayaran rakyat berubah, Neil menghawatirkan pendangkalan begitu cepat. “Jika jembatan terhubung, Losari dan Lae-lae dalam hitungan puluhan tahun kedepan menjadi daratan.”

Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan. Sebab, puluhan nelayan sejak tiga tahun lalu, yang hendak membawa hasil tangkapan dengan kapal kecil bercadik–katinting-menuju TPI tak mampu melintas. Nelayan-nelayan itu terpaksa membongkar muatan di Losari, lalu diangkut kendaraan. “Saya kira ini karena sedimen. Drainase Makassar lebih tinggi dari permukaan laut. Jadi saat debit air dari hujan lebih banyak, dengan cepat menyebabkan banjir.”

Latar belakang jembatan CPI yang menghubungkan Losari dan Pulau Lae-lae. Foto: Eko Rusdianto
Latar belakang jembatan CPI yang menghubungkan Losari dan Pulau Lae-lae. Foto: Eko Rusdianto
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,