Kehilangan sekitar 4.000 hektar hutan gambut di Kalimantan, Indonesia, pada konsesi yang tak digarap perusahaan menimbulkan pertanyaaan, siapa yang bertangung jawab?
Greenomics Indonesia pada Senin (6/4/15), mengeluarkan laporan yang memperlihatkan kehilangan signifikan hutan gambut sekitar 4.000 hektar di Kalimantan Barat, dalam konsesi PT Bumi Mekar Hijau (BMH), pemasok Asia Pulp & Paper, yang juga beroperasi di Sumatera Selatan.
Temuan Greenomics ini dari hasil analisis satelit Landsat dan dokumen resmi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dalam citra satelit itu memperlihatkan, kehilangan pepohonan antara Juni-September 2014. Hasil temuan ini dikuatkan sistem Global Forest Watch, FORMA, yang memperlihatkan kehilangan pada periode sama.
Dari data yang ada, sekilas tampak perusahaan membabat hutan untuk membuka HTI mereka. Greenomics pun meminta APP menghentikan sementara kontrak dengan BMH, karena kejadian ini berpotensi merusak komitmen zero deforestasi, meskipun APP hanya mengambil dari sumber BMH pada konsesi di Sumatera.
Namun, kondisi menjadi lebih kompleks di lapangan. Sebab, informasi APP, BMH belum beroperasi di area konsesi itu. APP langsung mengirimkan tim investigasi untuk mengecek ke lapangan pada lokasi GPS di laporan Greenomics.
Aida Greenbury, Managing Director Berkelanjutan APP kepada Mongabay.com, mengatakan, informasi yang dikumpulkan dari masyarakat, tak ada perusahaan beroperasi di konsesi BMH Kalimantan Barat. “Tak ada kamp BMH Kalimantan, tak ada infrastruktur pendukung, tak ada pembersihan lahan atau penanaman,” katanya.
Menurut dia, kala BMH mendapatkan izin dari Kementerian Kehutanan untuk menjadikan lahan itu HTI, perusahaan ditolak masuk masyarakat lokal ketika hendak survei pada 2008 dan 2009. Sejak itu, efektif BMH hengkang dari area itu.
Namun, citra satelit menyebutkan kalau hutan itu sudah hilang. Unit investigasi APP sudah mendatangi dua titik dalam GPS, (109°8’14.915″E 1°24’36.811″N 109°8’59.117″E 1°23’38.237″N), dan menemukan kehancuran hutan.
Aida mengatakan, mereka menemukan kalau area itu terbuka, bekas hutan alam tipis terbakar setelah kebakaran pada Oktober 2014. “Tak ada masyarakat, perusahaan atau aktivitas perkebunan apapun pada koordinat-koordinat itu.”
Dua titik lain, katanya, yang tidak terjangkau karena medan sulit, tim menemukan lahan luas untuk perkebunan karet dan kelapa masyarakat. Ada juga perkebunan sawit masyarakat di daerah itu.
Dari temuan-temuan ini memperlihatkan, ke depan pembersihan hutan gambut di area konsesi mungkin sulit diatasi ketika ia berada di luar komitmen nol deforestasi APP. Nasib dari kelanjutan hutan mungkin berada di tangan masyarakat dan pemerintah daerah.
Tak aneh kondisi ini terjadi di Kalimantan Barat—bahkan, masalah-masalah ini muncul hampir di seluruh negeri–dampak sistem pengadaan maupun sertifikasi tanah buruk, penegakan hukum dan pemerintahan lemah serta banyak konflik sosial. Masalah kerab muncul kala perusahaan besar mendapatkan izin ternyata di kawasan itu sudah ada masyarakat lokal maupun transmigran. Berbagai masalah ini, bisa memperlihatkan mengapa progres Indonesia dalam mengurangi deforestasi begitu lambat.
Untuk kasus BMH, Greenomics menyerukan “penyelidikan independen multi-stakeholder ” untuk memahami “penyebab langsung dan tidak langsung dari hilangnya lahan basah” di kawasan itu.
APP mengatakan, pantauan di lapangan oleh LSM bisa membantu menentukan, mengapa hutan terbabat dan apa yang dapat dilakukan untuk menyelamatkannya. “Apa status hukum dari perkebunan masyarakat dan apakah mereka sudah punya sistem penelusuran? Ini beberapa pertanyaan yang perlu dijawab.”