,

Pegiat Lingkungan Minta Menteri LHK Evaluasi Seluruh Perizinan di Aceh

Pegiat lingkungan di Aceh meminta agar Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) melakukan evaluasi seluruh periizinan yang ada di Provinsi Aceh. Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian, Selasa (30/6/15) mengatakan, MaTA bersama Walhi Aceh, JKMA, dan Bina Rakyat Sejahtera (Bytra), telah melakukan pertemuan dengan Menteri Siti Nurbaya di Jakarta, Minggu lalu.

“Ada 15 kasus yang kami sampaikan kepada Menteri LHK. Salah satunya, izin PT. Indo Sawit Perkasa di Subulussalam yang masuk Kawasan Ekosistem Lauser (KEL). Kasus ini sudah dilaporkan MaTA ke Komisi Pemberantasan Korupsi, Maret silam,” sebut Alfian.

Dalam pertemuan tersebut, sambung Alfian, elemen sipil Aceh berharap agar Menteri Siti dapat menindaklanjuti berbagai kasus kejahatan lingkungan dan kehutanan. Juga, mempercepat pengukuhan hutan adat mukim di Pidie, Aceh Barat, Aceh Utara, Bener Meriah, dan Nagan Raya. “Mengingat, hingga saat ini, Aceh belum pernah melakukan review perizinan semua perusahaan yang mengunakan kawasan hutan. Karena itu, penting bagi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mendesak Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota.”

Disamping itu, sambung Alfian, menteri juga harus melakukan pengawasan terhadap regulasi yang dikeluarkan Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota agar tidak terjadi tumpang tindih aturan. Terlebih, regulasi yang dapat memunculkan ruang korupsi baru.

Sebelumnya, Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Aceh, Said Ikhsan mengatakan, setelah mencabut 22 izin usaha pertambangan (IUP) yang tidak aktif dan tidak memberikan kontribusi untuk daerah, Pemerintah Aceh juga akan mencabut 52 IUP milik perusahaan pertambangan. Pencabutan tersebut berdasarkan Instruksi Gubernur Aceh Nomor 11 Tahun 2014 mengenai Moratorium Izin Usaha Pertambangan (IUP) Mineral Logam dan Batubara.

“Instruksi yang dikeluarkan Oktober 2014 itu berlaku selama dua tahun. Gubernur Aceh meminta bupati dan wali kota di Aceh agar mengevaluasi semua IUP di masing-masing daerah dan tidak boleh mengeluarkan IUP selama dua tahun. Tim khusus telah dibentuk yang terdiri dari pemerintah, pegiat dan pemerhati lingkungan,” ungkapnya.

Said Ikhsan juga mengakui jika ada puluhan pertambangan yang beroperasi di hutan lindung atau hutan konservasi. “Semua akan dievaluasi, perusahaan yang beroperasi di hutan lindung dan tidak sesuai aturan, akan dicabut juga izinnya.”

Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh yang melakukan analisis terhadap perizinan pertambangan di Aceh menyebutkan, luas hutan lindung yang terindikasi masuk dalam areal pertambangan 65 perusahaan tersebut mencapai 399.959,76 hektar. Sementara 31.316,12 hektar kawasan konservasi terindikasi masuk dalam areal 4 perusahaan pertambangan.

“Dengan adanya perusahaan tambang yang arealnya masuk dalam hutan lindung dan kawasan konservasi, membuktikan, selama ini pemberian izin untuk pertambangan banyak masalah,” sebut Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani.

Askhalani juga membeberkan, dari 65 perusahaan tambang yang masuk hutan lindung, 10 diantaranya merupakan perusahaan yang sudah mendapat clear and clean (CnC), atau perusahaan yang telah ditetapkan oleh Dirjen Minerba Kementerian ESDM sebagai perusahaan yang sudah tertib regulasi dan administrasi.

“Ini juga membuktikan, CnC yang diberikan oleh Kementerian ESDM, tidak bisa menjamin perusahaan itu telah melakukan tata kelola pertambangan sesuai dengan aturan yang berlaku,” jelasnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,