,

Dubes Perancis: COP21 Paris, Awal Komitmen Nyata Tangani Perubahan Iklim

Pada Desember nanti, sekitar 200 negara akan hadir dalam Konferensi Perubahan Iklim (Conference of Parties / COP) ke-21 dari Badan PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC )di Paris, Perancis pada Desember 2015. Selama dua minggu, lebih dari 50.000 peserta akan mendiskusikan dan menyepakati berbagai hal untuk mengatasi perubahan iklim.

Sebagai tuan rumah, Perancis tidak hanya berkepentingan menjaga agar pertemuan tahunan tersebut berjalan dengan baik, tapi juga agar COP 21 menghasilkan kesepakatan-kesepakatan lebih baik untuk masa depan bumi.

“Situasi yang kita hadapi saat ini tidak hanya perubahan iklim tapi bencana iklim,” kata Duta Besar Perancis dalam COP 21 untuk Asia Philippe Zheller kepada jurnalis di Bangkok, Thailand, Kamis (2/7) lalu. Selain Zeller, dalam konferensi pers tersebut hadir pula Jose Ramos-Horta, mantan Presiden Timor Leste dan peraih Hadiah Nobel Perdamaian 1996.

Sebagai pertemuan tahunan penting terkait perubahan iklim, COP 21 akan diikuti lintas kementerian masing-masing negara peserta. Misalnya menteri lingkungan hidup, menteri luar negeri, menteri pertanian, maupun menteri ekonomi dan perdagangan. Namun, sebagai pejabat tinggi, para politisi akan lebih banyak membahas isu-isu umum.

Menurut Zheller, yang lebih penting adalah isu-isu spesifik yang akan dibahas para peneliti, swasta, maupun masyarakat sipil. “Perubahan iklim melibatkan banyak dimensi. Namun, yang paling penting adalah dimensi kemanusiaan,” kata mantan Dutas Besar Perancis untuk Indonesia dan Timor Leste tersebut.

Menurut Zheller ada empat pilar utama yang ingin dicapai dalam COP 21 nanti,  Pertama adanya kesepakatan mengikat (legally binding agreement) diantara negara anggota UNFCC.

“Kesepakatan mengikat ini sebaiknya dibuat fleksibel, dapat diandalkan, dan terbuka,” kata Zheller. Kesepakatan mengikat ini diharapkan akan menjadi legalitas bagi negara-negara anggota UNFCC.

Salah satu poin dalam kesepakatan tertulis itu, lanjut Zheller, adalah agar para anggota UNFCC sepakat mengurangi peningkatan suhu bumi agar di bawah 2o C. Kesepakatan ini diharapkan bisa mempunyai kekuatan jangka panjang, tidak hanya hingga 2030.

“Kita harus menyiapkan kesepakatan jangka panjang agar bumi memiliki masa depan lebih panjang,” tambahnya.

Pilar kedua adalah Intended Nationally Determined Contribution (INDC) yaitu komitmen secara nasional tentang seberapa besar kontribusi mereka dalam menangani perubahan iklim. INDC menekankan bahwa tiap negara anggota UNFCC harus membuat mekanisme domestik untuk mengatasi isu perubahan iklim sesuai konteks negara masing-masing.

Zheller berharap selain negara-negara anggota G7 yaitu Kanada, Perancis, Jerman, Inggris, Italia, Jepang, dan Amerika Serikat, negara lain yang masuk dalam G20 pun turut serta mengeluarkan INDC masing-masng. “Kami ingin agar sebanyak mungkin negara membuat INDC sebelum Desember nanti,” ujar Zheller.

“Kita harus mencatat semua kontribusi masing-masing negara dalam adaptasi maupun mitigasi perubahan iklim agar mampu menekan peningkatan suhu Bumi di bawah 2o C,” lanjutnya.

Green Climate Fund

Pilar ketiga, lanjutnya, adalah pembiayaan. Dalam COP 21 Paris nanti, para pihak diharapkan bisa menyepakati mekanisme pembiayaan untuk mengatasi perubahan iklim. Zheller menyebut akan ada sekitar USD 1 miliar yang akan disumbangkan ke negara-negara berkembang maupun negara-negara maju untuk mitigasi maupun adaptasi.

Sumber pembiayaan bisa berasal dari berbagai pihak. Di Perancis misalnya,  ada Finance Climate Day, penggalanan dana publik yang dilakukan para anak muda. Dana kemudian disalurkan terutama ke negara-negara berkembang yang paling kena dampak perubahan iklim.

Dalam COP21, salah satu yang diharapkan bisa diluncurkan adalah Green Climate Fund, pendanaan untuk perubahan iklim.

Adapun pilar keempat adalah agenda solusi. Menurut Zheler sebenarnya sudah ada beberapa sejumlah solusi yang diterapkan secara lokal maupun global. Solusi itu sudah dilakukan di tingkat kota, komunitas, dan lain-lain. Misalnya new subway, melindungi kota, dan seterusnya. Semua solusi akan diperlihatkan di Paris.

Meskipun demikian, menurut Zheller, perubahan iklim memerlukan upaya solusi yang melibatkan lintas-aktor. Amat penting untuk melihat sisi lain dari situasi saat ini. “Paris is not the end, it is just as begining,” katanya.

Dalam konteks tersebut, posisi Asia sangat penting. Selain menjadi korban dalam perubahan iklim, kawasan ini juga berperan penting dalam mitigasi maupun adaptasi. Misalnya Bangladesh adalah negara paling kena dampak. Begitu pula kawasan Sungai Mekong yang meliputi beberapa negara seperti Thailand, Laos, Vietnam, dan Kamboja.

Menurut beberapa riset, kawasan ini termasuk yang mengalami dampak perubahan iklim seperti perubahan pola tanam hingga salinitas, masuknya air laut ke persawahan akibat meningkatnya permukaan air laut. Meskipun demikian, menurut Zheller, negara-negara di Asia Tenggara yang lebih maju seperti Singapura pun sudah harus melakukan mitigasi. Misalnya mengatasi polusi udara dan menciptakan energi bersih.

Dalam konteks tersebut, Zheller mengatakan bahwa Indonesia berperan sangat penting dalam COP21. Tidak hanya karena Indonesia merupakan salah satu negara terbesar di dunia yang rentan kena dampak tapi juga memiliki potensi untuk mengatasi perubahan iklim yaitu luasnya hutan.

Jaringan Peneliti

Sejalan dengan persiapan COP21 di Paris, para peneliti dan wakil pemerintah hadir dalam tiga hari konferensi tentang perubahan iklim di Asian Institute of Technology (AIT) Bangkok pada 1-3 Juli 2015 lalu. Konferensi dihadiri sekitar 500 peserta dari berbagai negara terutama di Asia.

Selama tiga hari, peserta membicarakan berbagai isu terkait perubahan iklim. Tak hanya tentang dampak, mitigasi, dan adaptasi tapi juga kebijakan politik hingga pembiayaan.

Zakri Abdul Hamid, Penasihat Bidang Sains untuk Perdana Menteri Malaysia, menjadi pembicara utama dalam pembukaan konferensi. Menurut Zakri, penyebab utama perubahan iklim saat ini adalah terlalu dominannya kegiatan manusia di bumi. Karena itu, manusia bertanggung jawab untuk mengatasi masalah perubahan iklim.

“Sains dan pembangunan berkelanjutan haruslah sejalan,” katanya.

Sains, menurut Zakri, berperan penting untuk menciptakan pembangunan berkelanjutan dan menghasilkan solusi yang sudah teruji dan bisa diterapkan di berbagai tempat. Agar solusi-solusi ilmu pengetahuan bisa diterapkan, maka para peneliti harus menggunakan bahasa-bahasa politisi. “Berdasarkan pengalaman saya, kita akan kalah jika tidak menggunakan bahasa-bahasa politik,” ujarnya.

Sementara itu pembicara lain Saleemul Huq, Direktur Program Perubahan Iklim International Institute for Environment and Development (IIED), London menekankan perlunya pertukaran pengetahuan sesama peneliti untuk mengatasi perubahan iklim. Tidak hanya pertukaran dari sesama negara-negara selatan (berkembang) tapi juga negara utara (negara maju) ke Selatan.

“Perubahan iklim adalah masalah global sehingga memerlukan pertukaran pengetahuan secara global pula,” kata Saleemul Huq melalui video yang disiarkan dalam pembukaan konferensi tersebut.

Setelah konferensi, para peneliti di Asia membentuk Jaringan Peneliti untuk Perubahan Iklim di Asia. Jaringan ini akan menjadi forum pertukaran ilmu dan pengetahuan untuk mengatasi perubahan iklim.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , , , , , , , ,