Sulawesi tengah mengalami krisis ruang. Sekitar 54 persen dari seluruh daratan Pulau Sulawesi telah habis dibagi untuk perizinan tambang, hak guna usaha, HPH dan HTI. Tambang menempati peringkat pertama sebanyak 25 persen atau 4,78 juta hektar. Kedua untuk migas sebesar 2,2 juta ha. Pertambangan ada di seluruh jazirah Sulawesi dengan jumlah terbesar di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara.
Demikian laporan hasil riset yang diselenggarakan oleh Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) pada ekspos hasil riset di Hotel Ibis Makassar, pada akhir Juni 2015.
Riset yang selama enam bulan ini dilaksanakan oleh JKPP bekerjasama dengan simpul layanan pemetaan partisipatif (SLPP) wilayah Sulawesi.
Menurut riset ini, berdasarkan hasil pengolahan data spasial, 18 juta total luasan Pulau Sulawesi, sekitar 38 persen atau sekitar 7 juta ha lebih merupakan areal penggunaan lain (APL), dan 26 persen (4,7 juta) adalah hutan lindung, dan 20 persen (3,7 juta ha) hutan produksi terbatas serta hutan produksi konservasi 20 persen (3,7 juta ha). Sisanya diisi oleh kawasan pelestarian dan konservasi alam sebayak 10 persen.
“Persentase ruang tersebut menunjukan porsi alokasi yang besar bagi investasi baik dalam kawasan maupun di luar kawasan hutan melalui APL. Menelusuri bagaimana dan jenis apa saja penggunaan APL dan Kawasan Hutan bisa menunjukan bagaimana kerusakan ekologi maupun penyingkiran petani dimulai yang berujung pada krisis,” ungkap Diarman, peneliti dari JKPP, dalam paparannya.
Kerusakan yang terjadi selalu berawal dari pemberian konsesi pada industri ektraktif atau perkebunan skala besar. Di Pulau Sulawesi, tambang dan sawit menjadi penyebab utama dalam kontribusi merusak dan memiskinkan masyarakat.
“Dalam catatan triwulan BKPM pada periode 2010 – 2012, menyebutkan sektor pertambangan dan perkebunan merupakan sektor yang dalam tiga tahun terakhir masuk sebagai sektor dominan dalam investasi di koridor ekonomi Sulawesi,” katanya.
Terkait izin tambang sendiri, riset ini menemukan bahwa terdapat 1.256 IUP di Sulawesi, masing-masing adalah emas, nikel, besi, logam dasar, batu bara. Sementara untuk jumlah konsesi terbanyak untuk komoditas, masing-masing adalah nikel, emas, batuan dasar, berupa batuan andesit, kerikil, pasir dan tanah timbunan, besi dan aspal.
Salah satu daerah sasaran riset terkait tambang berada di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, dan Pulau Wamonii, Kabupaten Kolaka, Sultra, dan Minahasa, Sulut.
Untuk Kabupaten Maros, keseluruhan luas daerah ini adalah 146 ribu hektar, dimana terdapat juga hutan lindung 10 persen, hutan produksi 10,5 persen, HPT 6,5 persen, taman nasional 20 persen. Untuk tambang luas wilayah yang diberikan izin sekitar 9,668 hektar.
“Ironisnya, dari luasan tersebut sebanyak 53 persen, mengambil ruang hutan produksi, yaitu 5.170 hektar. Tambang juga mengambi wilayah hutan lindung sebesar 14 persen atau sekitar 1.398 hektar, hutan produksi terbatas sekitar 504,99 hektar atau sekitar 5 persen,” katanya.
Sementara Pulau Wawonii, meski luasnya hanya 1.513,98 km, namun di pulau ini terdapat 18 IUP. Salah satunya adalah PT Derawan Barjaya Mining, luas IUP 10,070 hektar dimana sekitar 342,17 hektar masuk dalam kawasan hutan lindung.
“Sebagai pulau kecil dengan keterbatasan daratan dan air, ancaman terhadap pulau ini adalah ketersediaan pangan,” katanya.
Di Minahasa, Dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Utara yang ditetapkan tahun 2014 semakin mempertegas bahwa daerah ini merupakan surga bagi penambang emas.
Dokumen ini menunjukkan bahwa sebanyak tujuh wilayah diperuntukkan sebagai kawasan pertambangan yakni Tapal Batas Kabupaten Minahasa Utara dan Kota Manado, tapal batas Kabupaten Minahasa Utara dan Kota Bitung, tapal batas Kabupaten Minahasa Utara dan Kabupaten Minahasa, tapal Batas Kabupaten Minahasa Tenggara dan Kabupate Minahasa Selatan, tapal batas Kabupaten Minahasa Tenggara dan Kabupaten Bolaang Mongondow Timur, tapal Batas Kabupaten Bolaang Mongondow Timur dan Bolaang Mongondow Selatan dan tapal Batas Kabupaten Bolaang Mongondow dan Kota Kotamobagu.
“Sejak tahun 2010 hingga saat ini, sebanyak 74 persen dari total propinsi Sulawesi Utara telah dikapling untuk pertambangan emas.”
Riset ini juga memberi perhatian pada pemanfaatan ruang untuk perkebunan sawit. Konsesi untuk sawit ini mengalami kenaikan hampir di seluruh wilayah di Sulawesi. Secara nasional penguasaan perkebunan besar pada tahun 2008 didominasi oleh perkebunan sawit yang mencapai 4,5 juta hektar atau sekitar 79 persen dari luasan perkebunan yang ada.
“Luas perkebunan sawit dikuasai oleh perkebunan besar sebanyak 61 persen dan hanya 39 persen yang dikuasai oleh rumah tangga petani. Menurut Data Ditjen Perkebunan, areal perkebunan sawit tersebar di 17 provinsi meliputi Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua.”
Khusus untuk Sulawesi, di Sulawesi Barat luas perkebunan sawit mencapai 1,66 juta hektar. Izin perkebunan sawit sebanyak 19 izin dengan luas lahan 102 ribu hektar.
Di Sulbar sendiri terdapat sekitar 153 Daerah Aliran Sungai (DAS). Berdasarkan peta analisis diketahui bahwa 19 DAS dengan total luasan 902 ribu hektar terancam tercemar limbah dari pabrik CPO. DAS yang terancam oleh tambang diperkirakan seluas 1,03 juta hektar meliputi 60 DAS.
Tidak hanya berdampak pada krisis ruang, keberadaan tambang juga ternyata berdampak bagi kualitas kesehatan di daerah sekitar tambang. Ada dua lokasi yang menjadi contoh dalam riset ini yaitu di Kabupaten Maros, Sulsel dan di Pomala, Kolaka, Sultra.
Di Kabupaten Maros, penderita penyakit Infeksi Saluran Pernafasan (ISPA) hingga tahun 2013 berjumlah 10.885 orang. Sementara di Pomala, Kolaka, Sultra, berdasarkan hasil penelitian Puspaham dan Walhi Sutra menunjukkan adanya peningkatan jumlah penderita ISPA, TB Paru selama periode 2005-2009. Pada tahun 2009, penderita ISPA telah mencapai 20.588 orang.
Wilayah Kelola Rakyat dan Penyingkiran Petani
Riset ini juga membahas tentang wilayah kelola rakyat dan penyingkiran petani. Hasil Pemetaan Partisipatif (PP) di Pulau Sulawesi yang terdokumentasi seluas 829.659 ha yang sebagian besar tersebar di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan.
Berdasarkan hasil tumpang susun wilayah pemetaan partisipatif dengan semua ijin konsensi yang ada di Pulau Sulawesi diperoleh hampir setengah dari wilayah PP tersebut tumpang tindih atau sekitar ijin konsesi pertambangan, migas, perkebunan dan kehutanan. Sekitar 43,5 persen wilayah masyarakat yang tumpang tindih dengan ijin tambang, 6 pesen tumpang tindih dengan ijin migas, 4,3 persen tumpang tindih dengan HGU termasuk di dalamnya ijin perkebunan sawit dan HPH sebesar 3 persen.
“Proses pelepasan atau penurunan produktivitas petani terhadap lahan tidak hanya disebabkan secara langsung oleh pengkaplingan ruang untuk ijin atau penetapan kawasan hutan, melainkan turut disebabkan dari dampak pengelolaan ijin usaha ektraksi sumberdaya alam skala luas yang mendorong terjadinya bencana alam maupun krisis air.”
Seperti diketahui, 60 persen rumah tangga di Sulawesi merupakan rumah tangga pertanian dimana 26,04 persen merupakan rumah tangga buruh tani. Dari hasil pengolahan data sebaran persentase keluarga pertanian, keluarga buruh pertanian, dan ijin IUP menunjukkan adanya korelasi yang cukup signifikan perubahan sumber pendapatan utama rakyat pedesaan akibat perluasan konsesi industri ekstraktif skala luas.
“Pada sebagian kasus, kehadiran konsesi industri ekstraktif menyebabkan penurunan jumlah rumah tangga pertanian disatu sisi dan disisi lain menambah jumlah keluarga buruh tani di pedesaan.”
Menurut Deny Rahadian, Direktur JKPP, pemilihan Pulau Sulawesi sebagai daerah sasaran riset karena bentuknya yang unik. Secara bentang alam bentuknya tipis, bentang alamnya lengkap, bayak pegunungan yang tinggi, ada dataran, pesisir dan pulau-pulau kecil.
“Di antara bentuk tipis tersebut, intervensi dan masuknya investasi yang berskala besar cukup banyak karena potensi sumber daya alam yang melimpah, tambang, perkebunan dan lainnya,” katanya.
Menurutnya, hasil riset ini memang menunjukkan bahwa Pulau Sulawesi cukup krisis dalam hal penguasaan ruang dilihat dari penggunaan ruang yang ada. Dari seluruh luas Pulau Sulawesi, hanya 37 persen yang dialokasikan untuk masyarakat dan itu pun kemudian banyak bermasalah dengan kawasan-kawasan hutan.
“Dengan hasil temuan dan fakta yang telah dijelaskan tadi menunjukkan adanya masalah besar di sini, sehingga kemudian kami menyampaikan sejumlah rekomendasi sebagai bagian dari solusi.”
JKPP merekomendasikan pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota agar segera menyelesaikan tumpang tindih alokasi ruang dan konflik agraria akibat kebijakan dan praktek ekstraksi sumberdaya lahan di wilayah kelola masyarakat.
“Kami juga merekomendasikan segera bentuk badan penyelesaian konflik ruang dan sumberdaya alam dan revisi RTRWP dan RTRWK di tingkat provinsi yang bersifat ad-hoc dan sistematis,” katanya.
JKPP juga merekomendasikan pemerintah melibatkan secara penuh partisipasi rakyat dan organisasi masyarakat sipil di wilayah konflik dalam menata ulang hak penguasaan dan pengelolaan wilayah kelola dan sumberdaya alam secara lestari dan berkelanjutan.
Selain itu, juga diperlukan komitmen politik pemulihan krisis atas ruang tertuang dalam dokumen kebijakan dan RPJMD di suluruh pemerintah daerah.
“Terakhir, kami mendorong agar seluruh instansi pemerintah terkait di tingkat pusat dan daerah untuk dapat mengintegrasikan peta dari hasil pemetaan patisipatif dan perencanaan tata guna lahan berkelanjutan secara partisipatif dalam perumusan perencanaan pembangunan wilayah.”