, ,

Kunjungan Jokowi dan Nasib Masa Depan Orang Rimba

Siang itu (30/10) matahari memancar cerah, setelah sebelumnya hujan mengguyur. Warga lokal yang sedari pagi sabar menanti, langsung berteriak “Jokowi…Jokowi…Jokowi!” saat Presiden turun dari helikopter Superpuma TNI AU. Anak-anak Orang Rimba terlihat berlarian, bahkan ada anak kecil yang menggendong bayi.

Tak jauh dari mereka berdiri gubuk-gubuk sederhana terbuka, ada yang beratap kain lusuh warna biru, plastik terpal, bahkan jauh di dalam ada yang beratap daun anai dan rumbia.

Siapa yang menyangka, Jokowi yang mengenakan kemeja putih khasnya justru mengunjungi Orang Rimba. Rekor sejarah Presiden RI pertama yang menjumpai mereka langsung.

Empatbelas tahun lalu, Presiden Abdurrahman Wahid memang pernah bertemu perwakilan Orang Rimba, tetapi berlangsung di Kota Jambi. Saat itu Gus Dur sekaligus mendeklarasikan Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD).

Presiden Jokowi jongkok dan tak segan-segan bicara dengan Orang Rimba dalam jarak dekat. Bupati Sarolangun, Cek Endra dan Pejabat Gubernur Jambi, Irman pun ikut bareng berjongkok.

Jokowi bicara di bawah naungan tenda sederhana dan duduk di atas tanah. Di dekatnya ada empat Orang Rimba tak berbaju, hanya mengenakan cawat. Kiri-kanan tampak pohon-pohon sawit menjulang tinggi. Mereka adalah Meriau, Nyerak, Genap dan Ngelawang.

“Apakah kalian mau tinggal di rumah?” tanya Jokowi.

Lewat penerjemahnya Kopral Inf Husni Thamrin, Babinsa Kodim 0420/Sarko, Orang Rimba menjawab,”Mau! Dengan syarat rumahnya agak jauh [dari kampung] lalu diberi bantuan bibit dan lahan.” Gestur Jokowi serius memperhatikan.

“Ya, sudah. Nanti disiapin. Bu Menhut sudah nyiapin, Pak Bupati, Pak Gubernur. Nanti yang mengenai rumahnya diurus Mensos,” kata Jokowi.

Sejam dari lokasi kebun sawit, Jokowi melanjutkan bertemu dengan kelompok Orang Rimba di lokasi perumahan Kementerian Sosial. Jokowi bertemu dengan Tumenggung Tarib, Tumenggung Grip, Prabung dan Bejalo. Mereka mengenakan baju dan celana panjang.

Di lokasi ini, Orang Rimba mengeluhkan persoalan listrik dan air bersih. Menurut Kristiawan, Koordinator Unit Kajian Suku-Suku dari KKI Warsi, air di sini tidak layak minum karena tercemar limbah dari perkebunan sawit.

Anak-anak Orang Rimba yang hidup di Koridor konsesi PT WKS, Jambi. Foto: Heriyadi/ Dok KKI Warsi

Sejarah Rimba, Tempat Tinggal Orang Rimba

Genealogis Orang Rimba agak sulit ditelusuri, kira-kira demikian simpulan penuturan antropolog Adi Prasetijo, Direktur Indonesia Center for Sustainable Development (ICSD).

Menurut Adi tidak ada jawaban tunggal sejarah Orang Rimba, yang pasti mereka adalah bagian dari puak Melayu. Yang menjadi pembeda adalah faktor isolasi yang membatasi interaksi sosial komunitas ini.

Dalam dua bukunya “Serah Jajah” dan “Orang Rimba: True Custodian of The Forest” yang terambil dari disertasinya, Adi Prasetijo menjelaskan historis Orang Rimba.

Dari tulisan lama jaman Belanda, Orang Rimba digolongkan sebagai puak Melayu kasta rendah yang disebut orang “kubu.” Tulisan orang Belanda menyatakan dulu mereka diambil oleh Orang Melayu kemudian dijadikan ’budak’ di Jambi. Anak-anak gadis atau perempuan diculik dari keluarganya untuk dijadikan budak. Tentunya, orang Melayu tidak terima itu disebut budak.

Proses hubungan itulah yang kemudian membentuk struktur hubungan dan mindset budaya Orang Rimba yang merasa menjadi masyarakat kasta rendah.

Namun tidak selamanya Orang Rimba selalu mengalah. Hal ini terbukti dari perlawanan simbolik melalui pantun atau seloka. Lewat berbagai foklor dan memori kolektif, Orang Rimba mengungkapkan hubungan mereka dengan orang Melayu dan orang luar (kolonial) zaman dulu.

Sejak abad ke-19, wilayah hidup Orang Rimba di kawasan Bukit Duabelas sudah tertera dalam Traktat Melayu. Dalam beberapa tulisan Belanda juga disebutkan kawasan yang sekarang menjadi TNBD adalah otonom yang dilindungi keberadaannya oleh Sultan Melayu bagi Orang Rimba. Ini berbeda dengan Orang Rimba lain yang hidup di luar TNBD. Mereka dianggap ‘liar’ dan tak bisa diatur.

Orang Rimba di dalam wilayah Air Hitam, menyebut dulu kawasan Bukit Dua Belas diatur oleh seperangkat aturan yang dikenalkan Kesultanan Melayu lewat perangkat pengawas, yaitu jenang dan waris.

Di sisi lain mereka punya tugas yang harus dilakukan yaitu membantu tugas Orang Melayu mengambil sumberdaya alam yang ada di hutan untuk dijual ke luar. Orang Melayupun harus izin ke jenang dan waris serta Orang Rimba untuk masuk ke dalam hutan.

Salah satu kelompok Orang Rimba. Mereka perlu mendapat perhatian. Foto: Dok KKI Warsi

Sebelum tahun 1980-an, seluruh kawasan di sekitar TNBD saat ini masih berupa hutan. Pepohonan dan binatang liar masih banyak. Saking banyaknya, jika berburu tak perlu berlari-lari mengejar binatang buruan. Cukup menunggu di balik pohon, ketika ada binatang lewat bisa langsung ditombak.

Pada 1980-an, pembukaan lahan hutan sekitar untuk logging dilakukan. Orang luar sudah mulai merambah hutan. Perusahaan pembalak kayu masuk ke kawasan Bukit Dua Belas dan mengkapling-kapling wilayah itu. Hanya tersisa sedikit yang masih steril dari orang luar. Pemerintah mulai masuk dengan program “pemberdayaan masyarakat terasing’ namun gagal.

Pada 1990-an, pembukaan lahan masif untuk transmigrasi dan perkebunan sawit, illegal logging terjadi. Hutan sekitar TNBD dibuka untuk pemukiman dan sawit. Batas hutan dan desa sudah sedemikian terbuka.

Sebelum menjadi TNBD, kawasan ini dideklarasikan sebagai Cagar Biosfer (CB) seluas 28.707 hektar yang ditetapkan pada 25 April 1984. Berkat kajian Warsi pada tahun 1997-1999, areal CB disetujui pemerintah menjadi seluas 33.000 hektar.

Presiden Gus Dur pula yang menetapkan kawasan adat Orang Rimba menjadi Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD) seluas 60.500 hektar pada 23 Agustus 2000, saat itu Muslimin Nasution menjabat Menteri Kehutanan.

Di dalam TNBD, sesuai aturan zona Kemenhut terdapat tujuh wilayah besar dan 9 ketemenggungan wilayah hidup Orang Rimba.

Ketumenggungan tersebut adalah: Kejasung Besar Ulu (Tumenggung Si Tenang), Kejasung Besar Ilir (Tumenggung Jelitai), Kejasung Kecil (Tumenggung Marit, Tumenggung Ngamal), Makekal Ulu (Tumenggung Mirak), Makekal Ilir dan Sungkai (Tumenggung Bedinding Besi), Air Hitam (Tumenggung Tarib, Tumenggung Mbiring, Tumenggung Besiring), Terap (Tumenggung Mija), dan Serengam (Tumenggung Marit).

Kini, yang tinggal di kawasan TNBD hanya tersisa kelompok Celitai, Jelitai, Grip, Melimun. Selebihnya seperti Ngukir, Ngadap, Ngamal/Mena, Girang/Meta, Nyenong, Maritua, Betaring, Ngelam, Majid sudah berpindah ke luar. Belakangan kelompok Tumenggung Buyung dan Hasan (dari Air Hitam), Kelompok Cukai (dari Air Hitam), dan Tumenggung Lidah Pembangun (berasal dari Kejasung Kecil) pun keluar.

Sebagian kalangan menilai zonasi yang dibuat Kemenhut turut mendorong eksodus ini. Terbagi ke dalam enam zona: inti, rimba, pemanfaatan, tradisional, religi, dan rehabilitasi, sistem zonasi tidak seluruhnya mengakomodasi kepentingan Orang Rimba, karena zonasi dianggap datang sepihak dari pemerintah, bukan murni dari aspirasi Orang Rimba.

Sedangkan sedikitnya 100 ribu hektar hutan di sekitar kawasan TNBD, yang dulunya juga menjadi tempat hidup Orang Rimba sudah habis dibagi-bagi oleh 16 perusahaan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri (HTI). Enam perusahaan berbatasan langsung dengan TNBD.

Ruang hidup mereka yang semestinya terjamin atas hadirnya TNBD justru mengalami kontradiksi.

Mengecek kesehatan Orang Rimba yang dilakukan oleh Fasilitator Warsi. Foto: Laender/ Dok KKI Warsi
Mengecek kesehatan Orang Rimba yang dilakukan oleh Fasilitator Warsi. Foto: Laender/ Dok KKI Warsi

Pembabatan hutanpun menyebabkan hilangnya sumber hidup Orang Rimba. Tidak hanya jernang dan binatang buruan, tetapi pohon yang dijadikan sumber bahan obat-obatan, lebah madu, dan buah-buahan juga musnah digantikan sawit dan tanaman kayu HTI.

Akibatnya, Orang Rimba tidak bisa memenuhi kebutuhan pangannya secara layak. Gizi yang diperolehpun tidak lagi mencukupi. Kondisi tempat hidup yang memburuk dalam beberapa tahun terakhir menyebabkan banyak anak Orang Rimba yang malnutrisi bahkan meninggal dunia.

Konflik horisontal dengan masyarakat desa maupun pihak perusahaan yang mengantongi konsesi terus terjadi. Orang Rimba selalu menjadi korban dari konflik yang terjadi. Akibatnya, sebagian besar Orang Rimba banyak yang melakukan eksodus ke wilayah selatan yaitu kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT).

Orang Rimba juga tertarik ke luar karena tergiur dengan tawaran dari Dinas Sosial untuk memukimkan mereka. Misalnya Tumenggung Jelitai, Melimun, Ngamal, dan Girang yang dimukimkan di Sungai Geger, Desa Padang Kelapo, Kecamatan Marosebo Ulu, Kabupaten Batanghari.

Selain perumahan, mereka dijanjikan pemerintah sarana semacam sekolah, puskesmas, dan lahan usaha untuk perkebunan. Namun sampai dinantikan lima tahun, hanya pemukiman saja yang dibangun. Kondisinya pun memprihatikan, banyak rumah yang mengalami rusak berat dan longsor sehingga Orang Rimba takut tinggal di sana. Praktis dari 55 rumah yang diberikan hanya tiga yang dihuni.

Sejak akhir 1990-an, kompetisi dan eskalasi konflik antara Orang Rimba dan orang luar semakin meningkat.

Konflik selalu dipicu masalah-masalah sepele. Misalnya Orang Rimba dituduh maling ayam, maling pete, senggolan motor, berebut buah semangkuk (tunom), hingga dituduh mencuri sawit masyarakat desa.

Menurut catatan Warsi, sejak 1997 telah terjadi lima kasus konflik Orang Rimba dengan warga yang menyebabkan 14 nyawa Orang Rimba melayang. Hanya satu kasus pembunuhan yang masuk ke pengadilan dan pelaku divonis hukuman mati, selebihnya kasus pembunuhan dan penganiayaan terhadap Orang Rimba diselesaikan di luar pengadilan, yaitu lewat sistem ganti rugi uang tunai.

Menurut Manajer Komunikasi KKI Warsi, Rudi Syaf, saat ini terdapat tiga kategori Orang Rimba. Pertama, yang tinggal di dalam hutan. Mereka menempati kawasan TNBD di Kabupaten Sarolangun, Merangin, dan Batanghari, dan kawasan TNBT yang terletak di perbatasan Provinsi Jambi dan Riau.

Kelompok ini tidak tinggal menetap, hidup menggantungkan hutan, dan nyaris tidak bersentuhan dengan kehidupan luar hutan. Jumlah mereka terbesar, mencapai ribuan orang.

Kategori kedua adalah Orang Rimba yang tinggal di kawasan perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (HTI). Mereka banyak yang menjadi pengemis di jalan perkebunan, bahkan beberapa menjadi pengemis hingga ke Kota Jambi, sampai ke Riau.

“Mereka bertahan karena di tempat itu leluhur, kakek, dan orangtua tinggal. Namun, kini tempat itu sudah menjadi konsesi perusahaan, dijadikan perkebunan sawit dan HTI,” ujar Rudi Syaf.

Kelompok ketiga adalah Orang Rimba yang menetap di desa. Mereka tidak berpindah-pindah lagi dan sudah berinteraksi dengan masyarakat desa. Kelompok ini tinggal di rumah-rumah yang dibangunkan pemerintah.

Di luar itu, pemerintah juga kerap salah mengasosiakan antara Orang Rimba dengan kelompok suku lain. Seperti misal yang diungkap oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang, Ferry Mursyidan Baldan dalam penjelasannya tentang Permen nomor 9/2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat, termasuk Suku Anak Dalam.

Dalam penjelasannya, Ferry menyebutkan Orang Rimba sudah diberikan lahan seluas 2.000 hektar sehingga PT Asiatic Persada tak boleh sesukahati mengusir mereka dari wilayah tersebut.

Urusan pembagian lahan 2.000 hektar dengan Orang Rimba jelas hal yang berbeda. Suku Anak Dalam yang dimaksud Ferry adalah suku Orang Batin 9 – yang telah berkonflik dengan PT Asiatic Persada berpuluh-puluh tahun. Budaya maupun bahasa Orang Batin 9 dengan Orang Rimba jauh berbeda.

menteri Sosial Kofifah menjadi nara sumber di Benor FM radio Komunitas Orang Rimba Foto Ade Chandra Dok KKI WARSI
Menteri Sosial Kofifah menjadi nara sumber di Benor FM radio Komunitas Orang Rimba Foto Ade Chandra Dok KKI WARSI

Masa Depan Orang Rimba

Menurut Adi Prasetijo pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah masih terperangkap dalam pendekatan teknokratis. Untuk mendorong agar Komunitas Adat Terpencil (KAT) Pemerintah tidak mau repot-repot melihat konteks historis dan sosiologis budaya. Pemerintah mendekati permasalahan lewat pemetaan sejumlah masalah teknis yang menjadi penghalang mereka untuk maju.

Celakanya, pendekatan ini cenderung berorientasi pada nilai kebudayaan mayoritas, termasuk konsep desa (fisik, ruang, dan sosial) yang notabene berasal dari konsep Jawa, termasuk orientasi pembangunan fisik yang menekankan kepada pembangunan pemukiman.

Indikator keberhasilan ditekankan secara sepihak, tetapi tidak melihat akar permasalahan utama yang terjadi yaitu menipisnya hutan sumber penghidupan Orang Rimba selama ini.

Padahal hutan bagi Orang Rimba, atau kelompok suku asli lain, tidak hanya berfungsi sebagai sumber penghidupan tetapi juga sebagai sumber identitas budaya. Hutan bagi mereka juga merupakan sumber ritual budaya.

Gaya hidup suku-suku asli kerap dilihat sebagai ‘penyakit sosial’ yang perlu disembuhkan dan diperadabkan. Tak ayal, mereka dipaksa untuk melakukan integrasi sosial dengan budaya yang lebih mayoritas. Akibatnya identitas budaya yang amat lekat dengan konsep teritori komunal, tanpa kepemilikan pribadi, terabsorsi kedalam budaya mainstream. Padahal hutan dan hidup nomaden selama ini adalah cara Orang Rimba membentuk ikatannya dengan ruang hidupnya.

Bermukim permanen bagi Orang Rimba, berarti harus siap bertahan dan bersaing dengan masyarakat desa. Tinggal menetap berarti harus berintegrasi dan harus ‘diperadabkan’ mulai dari agama, struktur sosial, pemukiman, hingga standard kesehatan. Alih-alih menyatukan, memaksakan memukimkan berarti memisahkan mereka dengan kosmologi ruang yang terbangun.

Adi mengakui bahwa saat ini diskriminasi masih terjadi terhadap Orang Rimba, stigma bahwa mereka adalah masyarakat tidak beradab masih melekat pada sebagian masyarakat. “Pertama kali masuk hutan tahun 1997 bertemu Orang Rimba mereka masih sangat naif,“ tutur Adi mengenang saat perjumpaan pertamanya.

Sebaliknya Orang Rimba yang telah mengalami dominasi dan hegemoni budaya selama ratusan tahun, masih merasa inferior saat berhadapan dengan orang luar.

“Bahkan bagi sebagian orang, pantang makan bersama dengan Orang Rimba, itu sama saja tindakan yang najis.”

Lantas bagaimana konsep ideal membangun mereka?

Dalam konteks ini, Adi percaya, tiap masyarakat akan terus berubah. Tapi perubahan adalah pilihan dan konsensus. Dan tidak berubah pun bukan berarti “terbelakang”.

“Mereka punya hak untuk hidup sesuai dengan pilihan mereka. Sama seperti warga negara lain. Itulah hak identitas budaya. Ada yang mau hidup menetap silakan, mau hidup di hutan juga harus dilindungi dan dibantu aksesnya.”

Maka, yang mesti dilakukan Jokowi bukan saja dengan memfasiltasi Orang Rimba untuk hidup menetap dan berumah, tapi harus melindungi hak mereka dengan menjamin ruang hidupnya agar tidak terusir, termasuk menjaga dari para okupan lahan dan pengambilalihan oleh perusahan sawit.

Semoga kunjungan Presiden tidak saja membuat Orang Rimba bahagia untuk saat ini, tetapi juga membawa secercah harap bagi masa depannya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,