,

Korupsi Sumber Daya Alam di Indonesia Belum Banyak Tersentuh

Eksploitasi dan pemanfaatan sumber daya alam yang tidak terukur di Indonesia, merupakan potensi tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara.

Staf Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW), Lais Abid mengungkapkan, ada indikasi suap dan manipulasi penerimaan negara yang dilakukan penyelenggara negara di tingkat nasional maupun daerah. Caranya, melalui sektor sumber daya alam yang pengusahaannya melibatkan pemerintah dan swasta. Indikasi ini mengarah korupsi bila hasil yang seharusnya diterima tidak masuk kas negara atau daerah, namun ke segelintir oknum birokrat dan swasta.

“Sumber daya alam (SDA) yang paling banyak potensi korupsinya ada di luar Jawa. Terutama soal perizinan tambang batubara, pembukaan kebun kelapa sawit, serta penambangan pasir besi,” ujarnya usai Workshop Liputan Konservasi Hutan dan Korupsi Sumber Daya Alam, di Malang, Jawa Timur, belum lama ini.

Lais mencontohkan, akar korupsi melalui manipulasi pajak, royalti, dan suap untuk memperoleh kemudahan perizinan, banyak dilakukan kepala daerah atau otoritas pemerintahan di daerah. Modusnya, terlibat memainkan proyek yang mengarah praktik korupsi.

“Misalnya, sebuah pertambangan menghasilkan sekian ton, namun dilaporan tidak sesuai kenyataan. Ini akar korupsi, karena ada aspek kerugian negara dan keterlibatan aparat pemerintahan.”

Banyaknya potensi korupsi tidak sebanding dengan upaya penegak hukum. Data ICW menunjukkan, pengungkapan kasus korupsi SDA tergolong kecil, karena aparat hukum hanya melihat dari sudut kejahatan biasa. Padahal, bila kapasitas, metode penyelidikan, hingga cara menghitung kerugian negara dimaksimalkan, kasusnya bisa ditarik ke tindak pidana.

“Potensi lost jauh lebih besar dibanding misalnya korupsi APBD atau korupsi pengadaan barang dan jasa. Kedepan, kami berharap korupsi sda banyak diungkap,” tandas Lais.

Kondisi bukit dan pegunungan di Malang yang gundul akibat pembangunan hunian dan alih fungsi lahan. Foto: Petrus Riski

Indikasi adanya praktik tindak pidana korupsi SDA diamini Ketua Profauna Indonesia, Rosek Nursahid. Pemberian izin membuka hutan untuk kepentingan komersial, disinyalir menjadi lahan basah praktik korupsi yang merugikan negara.

Rosek mengungkapkan, lemahnya pengawasan terhadap pemanfaatan hutan diluar peruntukannya, terutama pasca-otonomi daerah, merupakan bom waktu bagi kerusakan ekosistem dan kerugian negara.

Praktik korupsi SDA, menurut Rosek, dapat dilihat dari menurun drastisnya luasan hutan menjadi perkebunan atau kawasan komersial lainnya. “Kalau tidak diawasi akan menjadi bom waktu, kita tinggal menunggu kerusakannya.”

Meski belum memiliki data terkait kerugian ekonomi dari korupsi SDA, Profauna kata Rosek, memastikan korupsi ini merugikan negara secara ekonomi maupun ekologi. “Kalau ekologi kita tidak bisa menghitung secara kuantitatif, tapi yang pasti ini berkaitan dengan fungsi hutan sebagai penyedia air, penyangga bencana, serta tempat hidup satwa dan keanekaragaman hayati di dalamnya.”

Catatan Profauna terkait bencana ekologi akibat kerusakan lingkungan, khusus di Jawa Timur, dapat dilihat dari banjir besar di Malang Selatan, lumpur di lereng Gunung Kawi, banjir dan longsor di lereng Arjuno, serta banjir bandang di Ngantang-Kabupaten Malang. Semua bencana tersebut, berpangkal dari kerusakan hutan. “Dampak yang terjadi biasanya saat penghujan. Itu semua akibat deforestasi hutan,” tukas Rosek.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,