, , ,

Kala Air Bersih Merauke Makin Menipis

Setiap hari, Petrus Onin, mendorong gerobak air dan menjual kepada warga. Air bersih makin sulit, lantaran lama tak turun hujan. Pria kelahiran Distrik Asgon, Kabupaten Mappi, yang tinggal di Merauke ini tiap hari membawa air kepada pelanggan. Per gerobak isi 15 jerigen, harga Rp100.000.

Untuk mendapatkan air, Onin rela ngantri. “Kami perlu air bersih untuk dijual kepada masyarakat jadi rela antri,” katanya.

Sejak pagi hari, dia dan teman sesama penjual air sudah mengambil air dari sumur. Sehari, dia mengantar air ke pelanggan sampai dua kali. Dia berkeliling Kota Merauke mengantar air bersih ke rumah tangga yang membutuhkan.

Dulu, kondisi tak seperti ini, katanya, musim kemarau maupun hujan, air melimpah. Kini berbeda. Harga air pun melonjak. Kala musim penghujan, per gerobak Rp50.000, sekarang naik dua kali lipat karena permintaan makin banyak.

Kekurangan air juga terjadi di daerah transmigrasi, tak hanya buat konsumsi warga juga irigasi sawah. Waduk dan parit kekuragan air, bahkan kering. Secara umum, warga Merauke, mendapatkan air bersih, berharap dari turun hujan.

“Untuk semaikan bibit padi saja tak ada air. Kita mengandalkan mobil tangki ukuran 5.000 liter buat mandi dan minum,” kata Shintia, warga Kampung Marga Mulya, Distrik Semangga.

Sugeng Wijanarko, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Merauke membenarkan, panas berkepanjangan menyebabkan Merauke mengandalkan air gerobak.

Bahkan, katanya, panas diperkirakan terus berlangsung sampai Maret. El-Nino menguat mulai Januari 2016 puncak Maret. April hingga Mei, melemah. “Orang Merauke harus berhati-hati menggunakan cadangan air,” katanya.

Pasokan air Merauke, sebagian juga dari Rawa Biru. Namun, debit air rawa ini mulai berkurang karena juga mengandalkan hujan.

Pemda Merauke, katanya, harus berpikir mengatasi masalah ini. “Apakah perlu mendatangkan air bersih hingga musim panas selesai?”

Hujan tak datang bukan hanya susah air juga ancaman kebakaran. Pantauan BMKG kebakaran hutan terjadi di sekitar Tabonji dan Kimaam. Dia meminta warga waspada. “Semua di Merauke harus sadar mengatasi kebakaran. Jangan lagi membakar hutan.”

Penebangan hutan di sekitar DAS Kali Maro. Foto: Agapitus Batbual
Penebangan hutan di sekitar DAS Kali Maro. Foto: Agapitus Batbual

Kiris air

Pastor Anselmus Amo, Direktur Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke menyatakan, Merauke krisis air karena iklim global dan perubahan ekosistem. Krisis Merauke, katanya, karena kondisi kontur tanah berpasir hingga penguapan tinggi.

“Tanah Merauke, jika satu dua tetes langsung tidak berbekas. Cepat menguap, meresap. Merauke cepat manampung air dan tak bertahan lama.”

Amo meminta, Pemda Merauke segera memetakan sumber air, tak hanya di Rawa Biru. “Kita berharap Rawa Biru terpelihara. Semua penduduk Merauke harus merawat daerah itu. Bukan hanya PDAM atau penduduk sekitar.”

Dia mengingatkan, agar jangan menebang, menggali pasir di penyangga Rawa Biru, misal, Rawa Dogamit, di pesisir pantai seperti Dusun Ndalir, marak penggalian pasir.

“Air Rawa Dogamit sekarang asin. Padahal tumbuh berbagai pohon penyangga Rawa Biru. Orang Merauke mesti prihatin. Mau minum air Rawa Biru bagaimana? Tidak tebang pohon tapi tak ada yang merawat, dan bakar hutan. Kalau kita tidak mau tanam pohon, jangan rajin membongkar hutan. Sumber air tidak ada lagi.”

Dia mengatakan, sepanjang Jl. Raya Mandala hingga Bandara Mopah, masih ada cadangan air bersih. Sayangnya, ‘pembangunan ‘ malah menebang pohon yang dulu ditanam Belanda.

Merauke, katanya, harus ditanami banyak pohon kalau mau lindungi mata air. “Jangan merusak alam tetapi malas tanam.”

Sumur air bersih yang tinggal sedikit. Foto: Agapitus Batbual
Sumur air bersih di Merauke, yang tinggal sedikit. Foto: Agapitus Batbual

Selain itu, katanya, Pemda Merauke, juga harus memelihara sumber air seperti daerah alisan sungai (DAS) Kali Maro, Kali Bian dan Kali Kumb. Kini, beberapa hulu kali ini sudah dikuasai perusahaan sawit.

Orang Merauke, katanya, kini mulai merasakan panas berkepanjangan. Dia baru dari Satuan Pemukiman Transmigrasi VII yang kekeringan. Ada enam sumur tetapi semua berair salobar (asin). Warga, berharap, drainase dan waduk tetapi air sudah terintrusi air laut.”Bila sumber air tidak ada, penduduk Merauke mau kemana? Sedang sepanjang Kali Kumb, Bian dan Maro, terjadi pembukaan hutan. Bila tak dihentikan bahaya bagi penduduk.”

Kondisi Merauke parah berganda. Sudahlah hutan terbabat kayu habis, setelah itu ditanam sawit. Tanaman ini sangat rakus air. “Darimana dapat air?”

Ditambah lagi mega proyek yang dicanangkan Presiden Joko Widodo sawah 1,2 juta hektar. “Merauke menjadi lumbung beras nasional, percuma. DAS tak tertata. Penduduk Merauke mau mengambil air darimana tak jelas. Depan mata, sawah, sawit terhampar luas.”

Dia menyarankan lagi, Pemda Merauke membuat skala prioritas, dengan membenahi lingkungan hidup, perlindungan sumber-sumber air, merawat DAS, maupun menghentikan penebangan hutan buat mega proyek. “Jangan taruh kepentingan segelintir pengusaha dan pejabat atas nama kesejahteraan masyarakat.”

Pastor Anselmus Amo, Direktur Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke . Foto: dokumentasi Pastur A Amo
Pastor Anselmus Amo, Direktur Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke . Foto: dokumentasi Pastur A Amo
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , ,