Alat Masak Ini Berbahan Bakar Energi Terbarukan, Seperti Apa?

Indonesia negara kaya sumber energi terbarukan tetapi pemanfaatan minim. Berangkat dari pemikiran itu, Wahono Handoko dan Randy Ariaputra berkreasi dengan membuat alat memasak (kompor) berbahan bakar bioetanol, diberi nama “Gastrik.”

Maret lalu, gastrik dipamerkan di Gedung Graha Shaba Pramana, Universitas Gadjah Mada. Untuk mendukung upaya ini, Wahono mengatakan, gastrik berbeda dari kompor bioetanol lain. Ia memanfaatkan energi listrik guna memudahkan pengoperasian pemakai.

Mereka berpandangan, pemprosesan bioetanol adalah teknologi mudah hingga gampang diadopsi petani atau usaha kecil. Untuk bahan baku sangat beragam bisa dari tanaman berpati seperti singkong, sorgum, dan lain-lain. Tanaman bernira, misal, batang sorgum, tetes/molasses, nira nipah. Juga lignosellulosa, mulai diaplikasikan dengan rumput gajah.

“Kami mengusung konsep rantai suplai bioetanol sebagai pasokan energi berkelanjutan dan ramah lingkungan untuk masyarakat. Menciptakan rantai pasok dari hulu sampai hilir, mengembangkan metode pembudidayaan tanaman penghasil bioethanol lebih efisien dan produktif,” katanya.

Dengan gastrik, sekaligus memberdayakan masyarakat dan meningkatkan nilai guna singkong, sorgum, nira nipah, sagu , rumput gajah dan lain-lain. “Semula dijual harga sangat murah ke tengkulak jadi lebih layak.”

Sebelum kompor dibagikan kepada masyarakat, terlebih dahulu dibangun unit usaha pengolahan bioetanol bekerjasama dengan Badan Usaha Milik Desa. BUMDes bertugas menjadi pengumpul varian tanaman penghasil bioetanol yang telah diolah menjadi bir fermentasi. Ia bahan baku pembuatan etanol.

Petani singkong, sorgum, dan lain-lain dapat menjual hasil panen bir fermentasi ke BUMDes dengan harga lebih mahal ketimbang menjual pada tengkulak.

BUMDes, kata Wahono, akan mengelola bir fermentasi untuk didestilasi menjadi bioetanol. “Bioetanol inilah yang akan dimasukkan ke tabung gastrik dan dijual per tabung di bawah harga elpiji tiga kg,” katanya.

Dari penjualan bioetanol—dengan penukaran tabung kosong dengan berisi–, BUMDes akan memperoleh keuntungan buat pendapatan desa.

Menurut dia, beberapa manfaat bisa diperoleh sekaligus, seperti gastrik sebagai kompor pengganti elpiji berbahan bakar non fosil, ramah lingkungan dan anti meledak. Persediaan bahan bakar terjamin karena dikelola BUMDes dan menambah pendapatan desa serta meningkatkan kesejahteraan petani.

Wahono optimistis, kehadiran gastrik mendukung proyeksi pengembangan energi terbarukan 23% pada 2025. “Bahan bakar bersih rendah emisi, praktis memiliki performa seperti kompor elpiji.”

Dia mengatakan, dampak negatif tidak ada, dan jelas banyak manfaat. Bahan bakar relatif murah per botol Rp7.500, bisa memasak dua hari tiga sampai empat jam nonstop.

“Kala pendistribusian botol bioetanol kita beri pewarna agar tidak disalahgunakan untuk hal-hal tidak bertanggung jawab, misal, dioplos untuk minuman.”

Energi listrik, baterai 9 volt, sebagai indikator lampu petunjuk kapan pembakaran siap hingga knop kompor bisa dibesar- kecilkan sesuai kebutuhan. “Ada tiga varian yaitu, kompor eco gastrik, bio gastrik, dan gastrik catering,” katanya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,