,

Hidup Kian Sulit, Ribuan Petani di OKI Minta Kebun Sawit dan Karet Jadi Lahan Pertanian

Luar biasa! Sebanyak 25 ribu hektare lahan perkebunan karet dan sawit milik warga di Kecamatan Lempuing dan Lempuing Jaya, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, akan dikembalikan menjadi lahan pertanian. Namun mereka minta bantuan pemerintah untuk mencabut tunggul karet dan sawit.

“Mereka butuh bantuan untuk mencabut tunggul-tunggul karet dan sawit yang akan dipangkas  nanti,” kata Dodi, Camat Lempuing Jaya, saat menghadiri panen padi IP 100 Reguler di Desa Sungai Belida, Kecamatan Lempuing Jaya Kamis (17/03/2016).

Dijelaskannya, salah satu faktor yang mendorong masyarakat ingin mengembalikan perkebunan menjadi lahan pertanian karena terpuruknya harga karet dan sawit, yang menyebabkan mereka kesulitan memenuhi kebutuhan hidup termasuk pangan.

“Dulu ketika karet dan sawit menjadi primadona, banyak lahan persawahan dialihfungsikan ke perkebunan dan sekarang para petani ingin mengembalikan ke lahan pertanian,” kata Dodi.

Kepala Dinas Pertanian OKI, Syarifuddin, membenarkan keinginan masyarakat tersebut. Di Kecamatan Lempuing dan Lempuing Jaya sekitar 25 ribu hektare lahan perkebunan milik warga yang ingin dijadikan lahan pertanian.

Keinginan warga ini jelas didukung Pemerintah OKI, sebab dapat membantu target pemerintah terkait pangan. “Kita siap membantu petani. Untuk pencabutan tunggul-tunggul karet dan sawit Pemerintah OKI telah menganggarkan dana Rp100 juta.”

“Untuk sementara, kita fokuskan dulu pengalihfungsian lahan di dua kecamatan tersebut, memang sejauh ini baru dua kecamatan itu yang mengusulkan,”jelasnya.

Kabupaten OKI merupakan kabupaten di Indonesia yang setiap musim kemarau menjadi sorotan international, sebab kabupaten yang sebagian besar berupa lahan rawa gambut ini selalu mengalami kebakaran.

Lahan rawa gambut ini sebagian besar dikuasai perusahaan hutan tanaman industri (HTI) dan perkebunan sawit. Masyarakat yang berkebun umumnya karet dan sawit.

Lahan konsesi sebuah perusahaan hutan tanaman industri di Kabupaten OKI, Sumsel yang terbakar. Foto: Gita Rolis

Menurut Hendri Saragih dari Serikat Petani Indonesia (SPI), beberapa waktu lalu, pengolahan lahan gambut oleh sejumlah perusahaan, baik perkebunan sawit maupun HTI di Sumatera Selatan, bukan hanya menyebabkan kerusakan lahan gambut bersama kekayaan hayati dan situs sejarah, juga memiskinkan masyarakat yang umumnya petani.

Selain itu, upaya bisnis perkebunan yang dilakukan pemerintah dengan melibatkan masyarakat, seperti perkebunan karet, menyebabkan para petani hidup bergantung dengan permainan pasar global. “Ketika harga karet turun, mereka hidup miskin. Bahkan seperti saat ini mereka mengalami kesulitan makan,” kata Hendri.

Bencana kabut asap sebenarnya penderitaan lain dari berbagai penderitaan mereka. “Jika mereka makmur, mungkin mereka sudah pergi meninggalkan desa karena kabut asap. Tapi jangankan ongkos, buat makan sehari-hari saja mereka kesulitan,” katanya.

Oleh karena itu, pemerintah harus memberikan fasilitas dan mendorong masyarakat di pedesaan untuk kembali hidup sebagai petani sesungguhnya. “Mereka harus  menanam padi, sayuran, buahan, serta sungai dan rawa gambut sebagai penghasil ikan tetap dijamin keberadaannya,” katanya. “Caranya beri mereka lahan buat bertani, termasuk pula modalnya,” tambahnya.

Rustandi Adriansyah, ketua Badan Pengurus Harian (BPH) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sumsel mengatakan kehidupan petani di wilayah lahan gambut saat ini sudah lepas dari nilai-nilai adatnya. “Hutan dan lahan gambut yang dirusak untuk kepentingan perkebunan dan industri mengubah kehidupan masyarakat. Masyarakat tidak lagi hidup berdasarkan nilai-nilai yang sebelumnya sangat menjunjung kebersamaan dan arif terhadap alam.”

“Hidupkan kembali masyarakat adat, saya percaya persoalan yang dialami masyarakat di sekitar lahan gambut akan terselamatkan. Hidup makmur, sehat dan tenang seperti di masa lalu,” ujar Rustandi.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,