,

Jumlah Harimau Global Meningkat Pertama Kalinya dalam 100 Tahun. Benarkah?

Jumlah harimau di alam liar di dunia diprediksi meningkat untuk pertama kalinya sejak lebih dari 100 tahun. Dalam laporan yang dirilis oleh WWF dan Global Tiger Forum (GTF) pada 10 April kemarin menyebutkan saat ini diprediksi ada 3.900 ekor harimau di alam liar di seluruh dunia.

Jumlah tersebut meningkat dari perkiraan jumlah 3.200 ekor harimau pada tahun 2010. Peningkatan jumlah harimau tersebut terutama berada di India, Rusia, Nepal dan Bhutan.

“Untuk pertama kalinya setelah beberapa dekade penurunan konstan, jumlah harimau sedang meningkat. Ini menawarkan kita harapan dan menunjukkan bahwa kita dapat menyelamatkan spesies dan habitat mereka ketika pemerintah, masyarakat lokal dan konservasionis bekerja sama,” kata Direktur Jenderal WWF International, Marco Lambertini dalam siaran pers mereka.

WWF dan GTF merilis data populasi harimau di alam liar terkait dengan pertemuan konservasi harimau di New Delhi, India. Pertemuan tersebut sebagai tindak lanjut Tiger Summit di Rusia 2010, yang salah satu kesepakatannya adalah inisiatif Tx2, yaitu program menggandakan jumlah harimau liar menjadi 6.000 ekor pada tahun 2022.

WWF dan GTF merilis data tersebut berdasarkan sumber utama data dari IUCN Red List of Threatened Species account for tigers.  Namun data IUCN itu disebutkan hanya mencakup data dari 2009 sampai dengan 2014. Mereka kemudian menambah data dengan mengkompilasi  dari beberapa negara yang yang memiliki data tambahan.

Rilis data tersebut menyebutkan harimau liar di India meningkat dari perkiraan rata-rata 2.226 ekor pada 2014, dibandingkan pada 2010 yang berjumlah 1.706 ekor. Tercatat sebanyak 1.686 ekor terdokumentasi kamera jebak. Sedangkan Bangladesh menjadi negara dengan penurunan jumlah harimau dengan estimasi 440 ekor harimau pada 2010 menjadi 106 ekor di 2015

Peluang Penambahan Populasi

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Universitas Minnesota, RESOLVE, Smithsonian Conservation Biology Institute, Rainforest Alliance, Stanford University, dan World Resources Institute (WRI) menyebutkan bahwa terdapat cukup habitat hutan yang tersedia untuk mengembalikan harimau dari ambang kepunahan.

Penelitian yang berjudul Tracking changes and preventing loss in critical tiger habitat yang telah diterbitkan  di Science Advances mengindikasikan program Tx2 dapat dicapai dengan tambahan investasi konservasi.

Sebaran populasi harimau di dunia pada 2014, berdasarkan catatan selama lima tahun yaitu 2009 - 2014. Sumber : IUCN 2015
Sebaran populasi harimau di dunia pada 2014, berdasarkan catatan selama lima tahun yaitu 2009 – 2014. Sumber : IUCN 2015

Penelitian menyebutkan bahwa populasi harimau dapat kembali bila habitat dan mangsa bagi harimau tersedia luas dan perburuan dikontrol. Sebagai contoh, Nepal dan India masing-masing melaporkan peningkatan populasi harimau sebesar 61 dan 31 persen. Peningkatan ini sebagian besar disebabkan oleh inisiatif konservasi seperti pemeliharaan lintas batas Lanskap Terai Arc.

“Sangat luar biasa dan tidak disangka bahwa habitat harimau relatif terpelihara dengan baik selama kurun waktu 14 tahun. Hal ini bukan merupakan tanda bahwa habitat harimau berada dalam situasi aman, namun hal ini menunjukkan bahwa harimau dapat kembali dari ambang kepunahan jika kita membuat pilihan pengelolaan hutan yang tepat, ” kata Anup Joshi, peneliti di Universitas Minnesota dan penulis utama dalam siaran pers mereka.

Tetapi untuk mencapai tujuan Tx2,  membutuhkan upaya pencegahan kehilangan habitat harimau yang signifikan di masa depan, restorasi koridor-koridor utama antara bagian-bagian hutan yang tersisa, tindakan negara-negara untuk mengimplementasikan infrastruktur hijau untuk mencegah fragmentasi habitat.

Penurunan range harimau di alam liar sebesar 42 persen antara 2006 dan 2014. Sumber : IUCN 2015
Penurunan range harimau di alam liar sebesar 42 persen antara 2006 dan 2014. Sumber : IUCN 2015

Penelitian juga menyebutkan pengurangan habitat hutan global dari harimau sebesar 8%  atau 79.600 km persegi antara 2001-2014, yang berdampak pada hilangnya habitat yang dapat mendukung sekitar 400 ekor harimau.

Sebagian besar (98%) kehilangan hutan di habitat harimau hanya terjadi di 10 lanskap, seringkali disebabkan oleh konversi hutan alami menjadi perkebunan untuk komoditas pertanian seperti kelapa sawit.

Lanskap dengan kehilangan hutan tertinggi adalah di wilayah Malaysia dan Indonesia dengan pengembangan kelapa sawit yang besar, seperti di ekosistem Bukit Tigapuluh di Sumatera yang telah kehilangan 67% sejak 2001, menyebabkan hilangnya habitat yang dapat mendukung 51 harimau.

Perlunya Penelitian Berkelanjutan

Direktur Program Senior Tiger Panthera Dr John Goodrich yang merupakan penulis utama IUCN Red List of Threatened Species account for tigers mengapresiasi rilis status jumlah harimau liar oleh WWF dan GTF.

 “Perluasan dan presisi pemantauan populasi harimau dan menghasilkan data dasar lonjakan pada jumlah harimau liar yang tetap di Asia adalah sebuah prestasi yang luar biasa dan bukti dedikasi berbagai harimau negara untuk menyelamatkan warisan nasional mereka,” kata Goodrich dalam siaran pers Panthera.

Estimasi populasi harimau di alam liar di tiap negara pada lima tahun terakhir (2009 - 2014). Sumber : IUCN 2015
Estimasi populasi harimau di alam liar di tiap negara pada lima tahun terakhir (2009 – 2014). Sumber : IUCN 2015

Goodrich melanjutkan untuk untuk melihat perubahan sesungguhnya tentang jumlah harimau dan pemantauan yang akurat dan melestarikan spesies, maka perbandingan populasi di tiap negara dan penelitian dengan ilmu pengetahuan terbaik yang tersedia harus dilaksanakan di seluruh negara dimana terdapat sebaran harimau.

IUCN juga menegaskan bahwa harimau telah kehilangan 40 persen habitatnya sejak tahun 2010.

Menurutnya, laporan status jumlah harimau tersebut semestinya tidak mengubah Negara-negara yang terdapat harimau liar untuk mengurangi kontribusi untuk menjamin kelangsungan hidupnya.

Harimau di alam liar, lanjutnya, terus mendapat tekanan, terancam oleh perburuan dan perdagangan illegal satwa liar, penggundulan hutan dan konflik dengan manusia ketika mangsa harimau juga diburu secara berlebihan.

“Penegakkan hukum yang lebih baik dan pemantauan ilmiah yang ketat dari harimau, termasuk mangsa harimau, dan usaha manusia, semuanya diperlukan untuk melindungi harimau liar,” tegas Goodrich.

Deforestasi Tinggi

Tiger and Elephant Specialist WWF Indonesia, Sunarto merasa optimis terhadap upaya konservasi harimau liar menanggapi rilis status jumlah harimau dari WWF dan GTF.

Dia membenarkan rilis tersebut yang menyebutkan bahwa deforestasi di kawasan konservasi harimau di Indonesia masih tinggi, bukan hanya di luar tapi juga di dalam kawasan konservasi. “Tiga dari lima (dan 5 dari 10) lanskap konservasi harimau memiliki deforestasi tertinggi ada di Indonesia,” katanya.

screenshot video kamera jebak WWF - Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Video ini merekam sepasang harimau sumatera yang sedang bercumbu. Sumber : WWF - TNBBS
screenshot video kamera jebak WWF – Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Video ini merekam sepasang harimau sumatera yang sedang bercumbu. Sumber : WWF – TNBBS

Fakta lainnya adalah bahwa banyak kawasan lanskap konservasi harimau yang tumpagn tindih dengan perkebunan dan HTI, sehingga apabila tidak diterapkan best management practices, nilainya bagi habitat harimau sangat rendah.

Kekhawatiran lainnya yaitu beberapa perkebunan dan HTI mulai mengubah tipe komoditas yang semakin tidak bersahabat bagi bagi satwa. “Sebagai contoh, HTI yang awalnya banyak menggunakan akasia, kini banyak yang mulai beralih ke Eucalyptus,” lanjutnya.

Tidak hanya luas deforestasi yang perlu dikawatirkan, tetapi juga fragmentasi hutan dan gangguan terhadap habitat satwa juga penting.  “Bahkan, saat ini ada indikasi kuat bahwa perburuan merupakan ancaman utamanya yang dulu hanya di Indochina, sekarang juga Sumatera,” tambah Sunarto.

Metode Penelitian Terbaru

Praktisi konservasi harimau, Hariyo T Wibisono, melihat dari 76 lanskap konservasi harimau di dunia, sebagian besar masih ada ruang untuk peningkatan populasi harimau.

“Justru di India, lanskap konservasi harimau sudah optimal carrying capacity-nya. Hal ini menarik karena dalam laporan itu dinyatakan peningkatan harimau di alam liar terjadi di India, Rusia dan Vietnam,” kata Hariyo yang dihubungi Mongabay, menanggapi laporan status populasi harimau dari WWF dan GTF.

(Ilustrasi) Harimau Sumatera. Foto: Rhett A. Butler
(Ilustrasi) Harimau Sumatera. Foto: Rhett A. Butler

Hariyo mengkritisi laporan tersebut yang menyebutkan bahwa tidak ada survei nasional yang sistematis telah dilakukan dengan cukup akurat untuk memberikan estimasi populasi di Sumatera.

“Mereka menyatakan dalam tulisan itu Indonesia seolah-olah tidak menggunakan metode standar dan baku. Padahal teman-teman WWF Indonesia tahu bahwa sekarang ini di lima lokasi yang telah disurvey yaitu Bukit Barisan Selatan, Seblat, Leuser, Ulu Masen dan Berbak. Semua disupport oleh satu lembaga khusus untuk harimau, disuplai standar portokol, sehingga pernyataan Indonesia datanya tidak komparabel itu salah besar,” kata Hariyo yang merupakan salah satu peneliti dan penyusun laporan IUCN Red List of Threatened Species account for tiger.

Selain menggunakan metode baku dan terstandar sehingga datanya bisa diperbandingkan, survey harimau di Indonesia juga menggunakan kamera jebak dengan grid yang bisa dikomparasikan. “Sehingga pernyataan tersebut tidak ada alasan,” tegasnya.

Meskipun begitu, dia menyatakan bahwa berdasarkan kajian ilmiah IUCN, habitat harimau di Indonesia masih bisa mendukung kehidupan kucing besar itu, sehingga masih terbuka lebar kemungkinan untuk peningkatan populasi harimau sumatera di alam liar.

Dari laporan IUCN dan WWF-GTF tentang harimau tersebut, Indonesia bisa menjadi prioritas wilayah untuk konservasi harimau. “Semoga ini bisa menjadi dukungan internasional kepada kita,” tambahnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,