, , , ,

Organisasi Lingkungan Dorong Pergub Reklamasi Pasca Tambang, Gubernur: Saya Setuju

Sejak pemerintah pusat memberlakukan Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2014 tentang larangan ekspor mineral mentah, banyak perusahaan tambang di Sulawesi Tengah, setop operasi. Mereka menghentikan operasi bukan tanpa masalah, kerusakan lingkungan ditinggal begitu saja. Untuk itu, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dan Yayasan Tanah Merdeka (YTM) mendorong pembuatan peraturan gubernur soal reklamasi pasca tambang ini.

”Terjadi pembiaran kerusakan lingkungan areal pengerukan tanpa reklamasi. Lokasi pengerukan rawan longsor, dan banjir jika musim hujan,” kata Adriansya Manu, Manager Kampanye dan Jaringan YTM saat konferensi pers bersama Jatam Sulteng di Palu, Senin (18/4/16).

Kadi , sapaan akrab Manu mengatakan, data berhasil dihimpun konsorsium YTM dan Jatam Sulteng sejauh ini, beberapa daerah belum reklamasi pascatambang, lubang-lubang galian masih menganga.

Hasil penelusuran Jatam Sulteng dan YTM menemukan, di Morowali ada 130 izin usaha pertambangan (IUP) baik dicabut maupun masih aktif. Dari keseluruhan IUP 32, menyetor uang jaminan reklamasi (jamrek) kepada pemerintah daerah Rp7,7 miliar. Mereka menguasai lahan 82.777 hektar di Morowali.

Di Kabupaten Banggai, IUP 61, lima menyetor jamrek Rp6,09 miliar dengan penguasaan luas tanah 207.840 hektar. Di Kabupaten Tojo Una-una ada 24 IUP, baru PT Arthaindo Jaya Abadi menyetor jaminan reklamasi Rp275 juta. Total areal kuasa tambang 484.633 hektar.

“Di Kabupaten Sigi, 11 IUP eksplorasi dikeluarkan pemerintah daerah, semua izin telah dicabut,” katanya.

Meskipun perusahaan sudah menyetor jamrek namun belum ada satupun areal pertambangan direklamasi. Fakta ini, katanya, mengkonfirmasi kejanggalan hukum pengusaha dan pemerintah.

Kadi mengatakan, pemegang IUP Eksplorasi, IUP operasi produksi wajib reklamasi pasca tambang meliputi lahan bekas tambang dan lahan luar bekas tambang yang terganggu akibat pertambangan. “Jika proses reklamasi tak dilakukan, pemerintah wajib rehabilitasi areal rusak menggunakan uang jamrek,” katanya.

Direktur Jaringan Advokasi Tambang Sulawesi Tengah, Syahrudin Ariestal Douw, menyampaikan, Jatam Sulteng dan YTM investigasi di Morowali dan beberapa daerah di Sulteng. “Ini berdasarkan Korsup mineral KPK kemarin. Pemprov Sulteng dianggap paling bagus dalam mengontrol perusahaan, dari ratusan izin itu. Di Morowali 92 IUP, Morowali Utara 29 IUP, Banggai dan Tojo Una-una ada pencabutan.”

Etal mengatakan, banyak perusahaan bermasalah secara dokumen, tak memiliki NPWP dan beberapa persyaratan lain. “Dari situ kita fokus invetigasi wilayah yang sudah dieksploitasi, jumlah uang disetorkan kepada pemerintah. Faktanya, perusahaan pergi dan meninggalkan lubang.” Jadi, katanya, dana di pemerintah daerah dari perusahaan tambang harus segera buat reklamasi.

Kedua lembaga ini mendorong gubernur mengeluarkan Pergub soal reklamasi pasca tambang guna menyelamatkan uang negara dan memulihkan wilayah bekas tambang.

Etal mendorong Pemerintah Sulteng mengambil uang jamrek untuk reklamasi. “Kami khawatir uang ini disalahgunakan. Sebenarnya disimpan pada rekening bersama hingga pemerintah punya hak menunjuk pihak ketiga untuk reklamasi.”

Hasil perhitungan investigasi lapangan pada tujuh perusahasan diperkirakan rata-rata areal rusak sekitar 27 hektar baik Morowali maupun Banggai.

Direktur YTM, Lahmudin Yoto mengingatkan, Pemerintah Sulteng lebih mengepankan dialog penyelesaian masalah lingkungan agar masalah yang timbul dari pengelolaan sumber daya alam bisa segera diatasi. Pemerintah Sulteng, harus bersedia menerima masukan berbagai pihak.

Direktur Jaringan Advokasi Tambang Sulawesi Tengah, Syahrudin Ariestal Douw (berbaju putih), bersama Gubernur Sulawesi Tengah, Longki Djanggola. Foto: Andika Dhika
Direktur Jaringan Advokasi Tambang Sulawesi Tengah, Syahrudin Ariestal Douw (berbaju putih), bersama Gubernur Sulawesi Tengah, Longki Djanggola. Foto: Andika Dhika

Gubernur dukung reklamasi pasca tambang

Gubernur Sulawesi Tengah, Longki Djanggola setuju masukan Jatam dan YTM. “Saya dukung mendorong reklamasi pasca tambang,” katanya saat menerima kunjungan YTM dan Jatam dan Celebes Institut di Palu (18/4/16).

Pemerintah Sulteng, katanya, mendukung gagasan Jatam dan YTM mendorong tata laksana reklamasi pasca tambang. Berdasarkan kewenangan UU, pemerintah provinsi berwenang dalam perizinan. “Memang kewenangan izin ada pada kami, bukan berarti pemerintah kabupaten menutup mata. Sebab, tambang di wilayah mereka, seharusnya pengawasan oleh bupati masing-masing,” katanya.

Sejauh ini, dana jamrek belum diketahui persis berapa jumlahnya. “Ada isu kalau dana jamrek masuk APBD. Ada pula bilang sudah raib.”

Dia mendorong evaluasi realisasi dan serapan dana jamrek. “Kita akan mencari tahu data berkaitan jamrek ini, agar dana bisa untuk perbaikan pascatambang.”

Pengalaman beberapa perusahaan yang menggunakan metode meratakan gunung untuk menutup galian tambang, katanya, akan menjadi salah satu opsi dalam reklamasi pascatambang ini. “Kita akan menuntut semua perusahaan pertambangan reklamasi dan perbaikan lubang galian.”

Protes besaran pendapatan ke daerah

Longki juga mengkritik metode penghitungan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang diterima Sulteng. Target dalam R-ABPB Sulteng Rp400 miliar dengan asumsi pendekatan barang hasil pengolahan smelter. Dalam realisasi, Sulteng hanya mendapatkan Rp10 miliar.

”Ini soal penerapan regulasi. Dulu kita diming-imingi nilai tambah hingga kita rame-rame tutup tambang yang hanya mengirim raw material. Kita dorong pembangunan smelter. Hasilnya sama saja dengan ekspor ore. Apa untungnya daerah mendorong pembangunan smelter?”

Longki telah mengirimkan nota keberatan pada pemerintah pusat. “Bulan lalu saya sudah mendatangi Kementerian Keuangan, menanyakan masalah ini.”

Setelah izin massif diberikan, tambang-tambang nikel marak beroperasi. Bahkan, di tepi jalan raya dan dekat pemukiman, izin bisa keluar. Foto: Sapariah Saturi
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,