,

Begini Bila Musisi Suarakan Masalah Lingkungan

Menjelang Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup (PNLH) XII, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menggelar pentas seni dan budaya dengan judul “MusiKita”. Pentas itu digelar tepat di depan rumah dinas Walikota Palembang, pada hari Minggu (24/4/16). Dalam pagelaran tersebut, sejumlah musisi menyatakan melawan perampasan sumber-sumber produksi masyarakat.

Iksan Skuter, salah satu musisi yang terlibat dalam pagelaran itu, membawakan sekitar enam lagu. Sebelum menyanyikan “Lagu Petani”, ia sempat menyampaikan kepada penonton bahwa lagu tersebut didedikasikan untuk petani yang sedang berjuang melawan korporasi-korporasi besar di Indonesia.

“Dan hingga pabrik datang, suaramu menghilang,” demikian salah satu penggalan syair “Lagu Petani” yang dinyanyikannya.

Di pertengahan lagu tersebut, Iksan memberi jeda. Kemudian, ia melempar pertanyaan kepada penonton, “pernah tahu ada petani yang mati dibunuh?”

Pertanyaan itu merujuk Salim Kancil, petani di Lumajang yang menolak pertambangan. Benar saja, setelah “Lagu Petani, Iksan Skuter menyanyikan “Kisah Kakek dan Cucu”.

Diceritakan dalam lagu tersebut, seorang kakek di suatu pagi dan di sebuah desa, sedang memeluk cucunya sambil bernyanyi. Mulanya, segala sesuatu nampak indah dan baik-baik saja. Namun, menjelang siang, sejumlah orang mulai datang membawa batu, kayu dan parang. Mereka kemudian menggiring paksa sang kakek ke balai desa dan memaksa melepaskan pelukan mesra untuk cucunya.

“Jauh di sana, nyawa murah harganya. Jauh di sana, uang seperti agama. Jauh di sana, nyawa mudah hilangnya. Jauh di sana, uang seperti agama,” Iksan menyanyikan bagian ini sambil setengah berteriak.

Malam itu Iksan Skuter menggunakan topi hitam dengan simbol bintang merah di bagian tengahnya. Ia terlihat begitu emosional ketika menyanyikan dua lagu yang didedikasikan untuk petani tadi. Sesaat kemudian ia berseru, “Hidup Petani!” yang dibalas penonton dengan teriakan serupa.

“Saya mencoba konsisten menyuarakan isu-isu kerusakan lingkungan di seluruh Indonesia, lewat musik,” demikian dikatakannya.

Bagi Iksan Skuter, musik adalah media yang paling mudah dicerna semua umur dan di semua jaman. Dengan musik, ia bisa menyuarakan isu-isu lingkungan. Iksan memberi contoh, ia dan teman-temannya sempat terlibat dalam penolakan revitalisasi hutan Kota Malang. Kata dia, program revitalisasi itu menggunakan dana CSR sebuah perusahaan.

“Padahal, hutan itu merupakan hutan kota terakhir di kota Malang.”

“Alhamdulilah kita berhasil mempertahankan hutan kota tetap sebagai hutan kota. Tapi tetap melalui media seni. Biar orang simpatik dengan yang kita lakukan,” ungkap Iksan Skuter.

Kepedulian serupa juga dilakukan oleh Melanie Subono. Tak sekedar bermusik, penyanyi yang satu ini juga menyaksikan, mendengar dan merasakan secara langsung kegelisahan masyarakat terdampak pembangunan.

Melanie mengakui, sebagian besar wilayah di Indonesia yang pernah didatanginya adalah daerah-daerah tercantik di dunia, yang tak bisa ditandingi negara lain. Dalam setiap kunjungannya, ia sering bertemu dengan masyarakat-masyarakat yang mencintai dan siap mempertahankan daerahnya.

“Tapi yang terjadi sama saja di daerah manapun. Orang-orang yang punya level dan pangkat tertentu, melihat bahwa daerah itu bisa dijadikan uang, tanpa melibatkan masyarakat sekitar. Malah, masyarakat disingkirkan,” sesalnya.

“Kita masih punya pemerintah yang tidak peduli rakyat, pemerintah yang rakus dan cari duit dari rakyatnya.”

Permasalahan itu kemudian cenderung melahirkan konflik, baik antara masyarakat dengan korporasi maupun masyarakat dengan aparat negara. Namun, Melanie menilai, masyarakat tidak pernah mengharapkan terjadinya konflik. Dia percaya, masyarakat hanya berusaha mempertahankan tanahnya. Sebab, mereka lahir, menghasilkan dan hidup dari tanah itu.

“Tanah itu adalah hak mereka. Masyarakat sebenarnya hidup damai sampai semua direbut dari mereka,” ujar Melanie.

Melanie mengaku, aktifitas dalam gerakan dan kampanye penyelamatan lingkungan hidup berdampak pada ancaman, album tidak boleh rilis serta larangan pentas. Meski demikian ia tidak ambil pusing dengan konsekuensi yang diterimanya. Ia sudah terlanjur yakin dengan perjuangan penyelamatan lingkungan hidup tersebut.

Bersolidaritas Dengan Berbagai Cara

Dalam momentum itu, Melanie juga mengajak masyarakat untuk memperjuangkan penyelamatan lingkungan hidup dengan berbagai cara. “Bergerak tidak harus ikut turun ke jalan. Loe bisa bantu lewat sosial media, dukung produk-produk lokal, loe bisa membantu dengan banyak hal,” demikian Melanie Subono mengajak masyarakat yang memadati lokasi kegiatan.

Side event PNLH XII itu juga menghadirkan Marjinal, band punk legendaris di Indonesia. Mike, sang vokalis mengatakan, keterlibatan masyarakat dalam penyelamatan lingkungan hidup sangat dibutuhkan.

Menurutnya, saat ini, manusia sudah hidup di dunia yang sudah sangat tua dengan sistem kelola lingkungan yang bobrok. “Ada kemungkinan kita dikelilingi bahaya,” tutur Mike.

Artinya, ia menjelaskan, perjuangan mempertahankan lingkungan hidup yang sehat sudah harus menjadi tanggung jawab bersama. Senada dengan Melanie Subono, Mike juga mengajak tiap orang untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki.

“Yang suka bermusik, coba menghubungkan dengan situasi nyata di lingkungan hidupnya. Yang suka menggambar, menulis, mendongeng, mungkin masih ada hubungannya dengan persoalan-persoalan lingkungan hidup, silakan berjuang dengan cara masing-masing,” pungkas Mike.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,