Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Sawit (Crude Palm Oil/COP Fund) terbentuk dengan pertimbangan utama menjamin pengembangan perkebunan sawit berkelanjutan. Ini seperti tercantum dalam pembuka Peraturan Presiden No 61 Tahun 2015, soal penghimpunan dan penggunaan dana perkebunan sawit. Bagaimana serapan dan penyaluran dana dalam perjalanan setahun ini? Apakah berjalan sesuai pertimbangan kala pembentukan badan ini?
Sampai triwulan pertama 2016, badan ini berhasil menghimpun dana sawit Rp2,86 triliun. Sebelumnya, pada 2015, dana sawit terkumpul Rp6,5 triliun.
Pengumpulan dana ini dari pungutan ekspor sawit dan CPO. Ada lima eksportir terbesar membayar pungutan periode 2015, yakni, Wilmar Nabati Indonesia, Sumber Indah Perkasa, Maskapai Perkebunan Leidong West Indonesia, Musim Mas dan Sari Dumai Jati.
Direktur Eksekutif BPDP Sawit Bayu Khrisnamurthi menyebutkan, target pengumpulan pada 2016 sebesar Rp9,5 triliun. ”Itu (Rp2,86 triliun, red.) sudah mencapai target 2016,” katanya. Adapun ekspor dari Januari-Maret mencapai 7,42 juta ton.
Pemasukan dana ini, tak hanya dari produk mentah juga produk turunan sawit. “Dari jumlah itu produk medium, artinya intermediate industry olahan lebih lanjut dari CPO mencapai 87,2%,” katanya.
Hingga kini, produk turunan minyak sawit di Indonesia, triwulan pertama mencapai 6,47 juta ton. Sisanya, ekspor CPO. Jelas, kebijakan penghimpunan dana ini, katanya, mampu menjadi pemantik ekspor produk turunan CPO. ”Kebijakan itu meningkatkan hilirisasi.”
Porsi besar buat biodiesel
Adapun penghimpunan dana ini terbagi dalam beberapa sektor, antara lain, penanaman kembali, peningkatan sumber daya manusia, peningkatan sarana dan prasarana, promosi dan advokasi, dan riset.
Untuk peningkatan sarana dan prasarana termasuk subsidi biodiesel. “Terbesar biodiesel, 90% untuk stabilisasi harga melalui subsidi diesel,” kata Dadan Kusdiana, Direktur Penyaluran Dana BPDP Sawit.
Pasalnya, melalui biodiesel yang dikenal sebagai B-20 ini mampu mengurangi emisi karbon hingga 18 juta ton per tahun, mengurangi impor minyak mentah hingga 6,9 juta kiloliter dan biodiesel 2,5-3 juta kiloliter. Biodiesel 20% (B20), adalah kegiatan mencampur bahan bakar minyak (BBM) solar dengan CPO.
Dengan peningkatan biodiesel ini, serapan sawit domestik meningkat di tengah permintaan dunia rendah. Penerapan pajak impor juga berdampak pada ekspor sawit.
Adapun capaian biodiesel pada 2015 sebesar 905.000 kiloliter dengan target awal 1,5 juta kiloliter, baik untuk public service obligation (PSO) atau subsidi, non-PSO maupun pengguna langsung. ”Memang jauh dari target, kita juga baru memulai Agustus.” Biodiesel, katanya, sudah produksi dan mendapat subsidi periode Januari-Maret mencapai 600.000 kiloliter. Sedang target biodiesel 2016 antara 3,2-3,7 juta kiloliter. ”Kalau melihat pertiga bulan ini, saya optimis angka bawah 2,8-3,2 juta kiloliter,” katanya.
Untuk target penyaluran biodiesel sebesar 2,7 juta kiloliter. Berdasarkan data BPDP, PT Pertamina (Persero) membeli biodiesel sekitar 200.000 per bulan pada triwulan pertama 2016.
Khusus subsidi biodiesel kepada produsen, katanya, dari dana sawit Rp1,9 triliun. ”Kami sudah menyalurkan Rp641,5 miliar Januari-Maret 2016,” ucap Bayu. Sedangkan, besaran subsidi April-Mei menjadi Rp5.000, sebelumnya Rp3.000 per liter.
Kondisi kini, ada selisih antara harga CPO pasar dunia dengan harga minyak global. ”Harga CPO global membaik.” Pada Maret 2016 mendekati US$700 per ton, naik dari US$450 per ton pada Agustus 2015. Harga minyak dunia kisaran US$30-US$40 per barel.
Peremajaan tanaman
Replanting ataupun peremajaan tanaman menjadi sektor kedua prioritas penyaluran dana, setelah subsidi biodiesel. Target penyaluran dana pungutan sawit untuk replanting 2016 sebesar Rp1 triliun. Adapun, triwulan I 2016 dana tersalurkan mencapai Rp16,75 miliar.
Keseluruhan, target 2016, program peremajaan yang sedang proses ada 4.396 hektar dengan 2.140 petani dalam 12 koperasi pertanian. Masing-masing, katanya, mendapatkan sokongan dana Rp25 juta per hektar. Hingga April 2016, terdapat dua koperasi yang mendapatkan dukungan BPDP.
Badan ini juga menginisiasi proses 9.994 hektar lahan petani kecil skema peremajaan dengan BRI.
Dadan menjelaskan, dana BPDP akan tersalurkan kepada petani plasma dan swadaya. ”Upayakan ke petani swadaya, yang memang tak memiliki induk, dibandingkan petani plasma.”
Dia menegaskan hanya mendukung petani berlahan legal. BPDP juga akan membantu sertifikasi sawit berkelanjutan seperti Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).
Adapun prasyarat dalam penyaluran dana sawit ini, antara lain petani kecil luas lahan kurang empat hektar, yang mengajukan dari koperasi atau kelompok tani berkelompok bersama-sama memiliki lahan kurang 300 hektar. Ada bank menyatakan setuju bekerja sama dengan petani. Terakhir, lahan petani potensial mendapatkan ISPO.
Terkait sosialisasi, BPDP bekerjasama dengan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki). Keduanya, menjadi sarana perpanjangan tangan BPDP. Keduanyapun menjadi sarana peingkatan SDM petani.
Tak hanya petani, rentang waktu antara Januari-Juni 2016, BPDP memfasilitasi sembilan kelas pelatihan terkait sawit dan 270 siswa SMK dalam 12 provinsi. Begitu juga pelatihan bagi petani guna meningkatkan produktivitas, CPO berkelanjutan dan penanaman kembali.
Riset
BPDP juga andil dalam penelitian seiring peningkatan produksi turunan sawit dan peremajaan tanaman. Pada 2016, dana riset Rp146 miliar, masing-masing proposal Rp1 miliar. ”Sudah berjalan 46 proposal sejak 2015,” ucap Dadan.
Tahun ini, kuota 100 proposal. Kini, lebih 200 proposal masuk dan akan diseleksi. BPDP memiliki program penelitian khusus bekerjasama dengan IPB dan BPPT. Palm oil emulsion, katanya, sebagai agen dalam pemadaman api (IPB) dan sawit tua untuk bahan bioethanol dengan BPPT.
Pengalokasian dana BPDP sudah mulai berjalan sejak terbentuk awal tahun lalu. Tak semua alokasi dana dijabarkan. Soal promosi dan advokasi mereka tak menyebutkan gamblang seperti apa dan berapa alokasi dana buat itu.
Tak adil buat petani?
Zenzi Suhadi, dari Walhi Nasional mengatakan, kebijakan dana ini baik, namun konteks tak adil bagi petani. ”Implementasi cuma terakses bagi kelompok petani yang memiliki relasi dengan korporasi tertentu,” katanya.
Dia menilai, dengan ada CPO-Fund, pertama, korporasi diuntungkan karena model ini bisa mengikat petani di bawah kontrol perusahaan. Kedua, pola kemitraan dengan bagi hasil tak menguntungkan petani. Petani hanya mendapatkan persentase keuntungan selisih harga jual dengan biaya produksi dan pengurangan utang pembuatan kebun.
”Jika hanya membangun relasi dengan korporasi dan “petani”nya ini jelas tak adil.”
Seharusnya, kata Zenzi, prioritas CPO-Fund petani korban konflik perampasan tanah oleh korporasi. Pasalnya, ribuan rakyat menjadi korban perampasan tanah dan kehilangan sumber penghidupan sehari-hari.
Walhipun merekomendasikan, BPDP bisa menyalurkan pembiayaan peningkatan kapasitas petani dari penyedia TBS menjadi penghasil CPO dan turunan.
Petani, katanya, juga ambil bagian dalam kesempatan mengakses teknologi dan pasar. Selama ini, di tangan pemilik modal, petani tak mengetahui margin harga CPO dan TBS.
Walhi mengharapkan, CPO-Fund masuk APBN, hingga ada audit dan pertanggungjawaban sistem ini. Jika tak adil dan transparan akan menjadi ladang korupsi dari korporasi ke korporasi.
Achmad Suhada, dari Greenpeace menyebutkan, sebaiknya pola CPO-Fund ini untuk meningkatkan dan menyambung komitmen sawit berkelanjutan. ”Memperkuat peran petani mandiri yang tersebar dan belum tertata baik oleh Kementerian Pertanian.”
Dengan lembaga ini diharapkan skema “no deforestasi” petani kecil juga menjadi bagian. Achmadpun mengapresiasi, pemberian bantuan revitalisasi perkebunan, juga kerjasama dengan lembaga penelitian resmi Indonesia dalam pengembangan riset.
CPO-Fund, katanya, perlu mengutamakan prinsip transparansi dan kredibilitas dalam penyaluran dan penggunaan dana. ”Publik perlu mengetahui mekanisme dan penggunaan. Jadi perlu audit publik pada periode tertentu.”
Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto menyebutkan, CPO-Fund masih sangat sulit diakses petani kecil. ”Tak ada beda dengan revitalisasi tanaman sawit yang dikeluarkan Kementan dengan memberikan subsidi bunga dari pemerintah.”
Adapun temuan SPKS, memperlihatkan, ada prasyarat mengikuti regulasi perbankan. Padahal, titik akses ke perbankan seringkali menyulitkan petani. ”Kalau sama saja, mungkin regulasi membantu, tapi manfaat tak dirasakan petani.”
Darto mengatakan, penyaluran dana dan sosialisasi melalui Apkasindo perlu dicek kembali. “Apakah dalam pengelolaan, perusahaan amdil bagian, bukan petani? Skema penyaluran dana CPO-Fund turut dikaji. Ini tugas Kementan agar menarik bagi petani biasa. Jika tidak, pada tidak mau.”