, , ,

Begini Ancaman Perubahan Iklim Terhadap Ekosistem Karst di TN Babul

Dampak perubahan iklim makin dirasakan, menyusul banyaknya bencana alam yang terjadi akhir-akhir ini. Tidak hanya longsor, banjir dan kekeringan, tapi juga munculnya potensi angin puting beliung yang kian meningkat. Kondisi ini menjadi kerawanan bencana di kawasan Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung (TN Babul), Sulawesi Selatan.

Dalam kick off meeting yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Makassar pada pertengahan Mei 2016 lalu, terungkap sejumlah hasil kajian terkait kondisi dan dampak perubahan iklim di wilayah ekosistem karst di TN Babul.

“Kami menemukan bahwa desa-desa sekitar karst di Kabupaten Maros, mulai terdapat ancaman kekeringan yang tak pernah terjadi sebelumnya. Ini sudah seringkali kami sampaikan agar hati-hati dengan tambang,” ungkap Roland A. Barkey, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M), Universitas Hasanuddin.

Keberadaan ekosistem karst di tiga daerah di Sulsel, yaitu Kabupaten Maros dan Pangkep dan Bone ini sangat penting dalam mendukung ketersediaan air di wilayah sekitarnya, karena sifatnya seperti spons yang menyimpan air.

“Kalau ini rusak maka tidak hanya banjir, bencana kekeringan pun akan mengancam,” tambahnya.

Terkait krisis air sendiri, menurut Roland, dari sebuah kajian yang dilakukan LP2M pada 2010-2012, diprediksikan bahwa Kota Makassar dan sekitarnya akan mengalami krisis air pada 2020 mendatang.

“Kita kaji pada sumber-sumber air yang ada, termasuk air tanah dan sungai. Kalau saran kami tentang infrastruktur-infrastruktur diperbaiki maka mungkin bisa tahan hingga 2040. Karst ini juga bagian yang tak terpisah karena fungsinya sebagai penyimpanan air,” tambah Roland.

Sedangkan kajian Tim Layanan Kehutanan Masyarakat (TLKM) di Desa Labuaja dan desa Samangki, Maros menemukan adanya dampak perubahan iklim, yaitu penurunan hingga 50 persen produktivitas petani.

“Kalau dulu petani bisa produksi padi sebanyak 18 karung, kini mereka hanya bisa dapat 9 karung. Penurunan produktifvitas ini diakibatkan oleh perubahan cuaca yang hampir sepanjang tahun terjadi, meningkatnya serangan hama tanaman dan rusaknya tanaman padi akibat terendam banjir, serta sulitnya mengeringkan gabah hasil panen,” ungkap Muhammad Ichwan, Direktur TLKM.

Bagi kesehatan, perubahan iklim ini menyebabkan kondisi kerentanan bagi munculnya beragam penyakit, yang berdampak pada hilangnya waktu kerja petani serta tingginya tingkat kejenuhan.

Cuaca yang lebih hangat juga mengubah habitat, adanya perubahan siklus hidup berbagai hama tamaman, serta adanya pergeseran pola tanam.

“Perubahan iklim juga berdampak pada semakin berkurangnya suplai air yang kemudian mendorong petani melakukan peladangan berpindah, mencari sumber-sumber air potensial di sekitar yang berdampak pada meningkatnya perambahan hutan untuk pertanian,” tambahnya.

Rentan Kebakaran

Dampak lain yang adalah meningkatnya potensi kebakaran karena suhu yang meningkat. Tercatat pada 2015 lalu kebakaran hutan sempat melahap puluhan hektar hutan yang berada dalam kawasan TN Babul.

Menurut Sahdan Zunaidi, Kepala TN Babul, meski secara fisik dampak perubahan iklim belum terlihat betul di TN Babul namun secara iklim sudah terasa panas.

Diakui Sahdan bahwa ekosistem karst di TN Babul masih terus terjaga karena adanya upaya pengawasan dan sosialisasi yang terus dilakukan oleh pihak TN.

“Kita sering terjun sosialisasi ke masyarakat akan pentingnya karst untuk penyimpanan air dan tempat kehidupan bagi satwa-satwa.”

Keberadaan ekosistem kars dalam kawasan TN Bantimurung-Bulusaraung, Sulawesi Selatan berfungsi sebagai penyedia air bagi wilayah sekitarnya. Terdapat banyak gua-gua bawah tanah yang menjadi cadangan air yang berpotensi rusak karena aktivitas tambang. Foto: Wahyu Chandra
Keberadaan ekosistem kars dalam kawasan TN Bantimurung-Bulusaraung, Sulawesi Selatan berfungsi sebagai penyedia air bagi wilayah sekitarnya. Terdapat banyak gua-gua bawah tanah yang menjadi cadangan air yang berpotensi rusak karena aktivitas tambang. Foto: Wahyu Chandra

Potensi ancaman potensial yang ada selama ini, meski dalam skala kecil adalah tambang-tambang liar, berupa pengambilan batu gamping yang dilakukan oleh masyarakat untuk kebutuhan bahan bangunan.

“Ini ada di beberapa tempat di Pangkep dan Maros, meski sekarang sudah berkurang. Kita sering melakukan upaya-upaya patroli, melakukan pendekatan ke masyarakat serta pemberdayaan bagi masyarakat. Ada banyak potensi yang bisa dikembangkan  masyarakat seperti gula aren, madu, pakan ternak, yang hasilnya bisa dirasakan langsung masyarakat,” ujarnya.

Potensi bencana lain, seperti kebakaran hutan juga masih menjadi ancaman karena kondisi lahan kering dan musim kemarau dan dampak El Nino pada 2015 lalu.

“Potensinya menjadi besar ketika masyarakat kemudian melakukan pembakaran di sawah-sawah, yang dampaknya bisa merembet ke daerah hutan sekitarnya. Dalam setiap sosialisasi, ini yang selalu kita sampaikan agar mereka tidak lagi membakar sawah.”

Terkait upaya penyelamatan ekosistem karst, Sahdan berharap agar upaya-upaya yang dilakukan tidak hanya terpaku pada wilayah taman nasional saja, tapi juga daerah sekitarnya, karena telah menjadi sebuah ekosistem yang terkait satu sama lain.

“Meski berada di luar kawasan, namun ibarat pondasi, kalau pondasinya diganggu bisa berdampak secara keseluruhan. Seluruh karstnya harus dijaga karena saling berkaitan meski di luar zone TN. Seperti sebuah batu utuh. Kalau digali bisa longsor karena banyak lubang-lubang yang saling terkait dibawahnya.”

Menanggapi berbagai kajian tersebut, Asmar Exwar, Direktur WALHI Sulawesi Selatan, membenarkan adanya kondisi keterancaman kawasan TN Babul dari beragam bencana alam.

“Secara history  wilayah-wilayah tersebut, khususnya Maros memang menjadi langganan banjir, angin puting beliung serta kekeringan di musim kemarau,” katanya.

Asmar menilai ancaman di kawasan TN Babul ini tidak hanya dari dampak perubahan iklim, tapi juga dari banyaknya perizinan tambang.

“Kalau dilihat dari Rencana Tata Tuang, hampir sebagian besar karst diluar Taman Nasional di Kabupaten Maros yaitu sekitar 19 ribu hektar lebih diarahkan untuk izin pertambangan. Ada sekitar 34 izin usaha di sana. Itu adalah ancaman nyata terhadap keberlangsungan karst,” tambahnya.

Terdapat dua pabrik semen di kawasan karst Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, yaitu PT Bosowa dan Tonasa. Selain itu terdapat puluhan izin pertambangan lainnya yang berpotensi mengganggu keberlangsungan ekosistem karst. Foto: Wahyu Chandra
Terdapat dua pabrik semen di kawasan karst Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, yaitu PT Bosowa dan Tonasa. Selain itu terdapat puluhan izin pertambangan lainnya yang berpotensi mengganggu keberlangsungan ekosistem karst. Foto: Wahyu Chandra

Asmar juga menyoroti krisis air yang terjadi, dimana sebagian besar masyarakat di kawasan TN Babul mulai kesulitan mendapatkan air. “Ini problem tersendiri karena karst merupakan penyimpanan air. Ini termasuk dalam kategori rentan terhadap bencana.”

Dia berharap, upaya pemerintah terkait ekosistem TN Babul tidak mengabaikan keberadaan masyarakat sekitar, yang sangat tergantung pada sumber daya air untuk lahan pertanian.

Ketersediaan Data dan Informasi

Arif Wibowo, Kasubdit Identifikasi dan Analisa Kerentanan KLHK mengatakan kick off meeting ini bertujuan untuk memahami secara menyuluruh berbagai permasalahan terkait ekosistem TN Babul. Salah satunya kajian Adaptasi Perubahan Iklim untukThe 3rd National Communication (TNC).

“Kita ingin memahami karakteristik dampak atau resiko yang harus kita miliki. Kita akan bingung kalau tak ada data ini, karena kita ingin menyelamatkan karst dan masyarakatnya. Selama ini kita belum ada indikator untuk mengontrol semuanya,” katanya.

Menurut Arif, ketersediaan informasi menjadi penting terkait isu keretanan dan resiko. Oleh karena itu, dia berharap hasil dari kajian dan penggalian informasi bisa digunakan semua pihak.

“Namun perencanaan awal, indikatornya harus jelas dan sama disepakati. Kita ingin menjaring informasi dari berbagai pihak. Ada sharing mau kemana. Jangan sampai hanya jadi buku laporan saja yang tak dipakai.”

Arif berharap dari hasil kajian akan muncul permodelan dari berbagai aspek. Terkait TN Babul misalnya, bagaimana fungsi karst, sumber daya alam didalamnya, kondisi keanekaragaman hayati, wisata dan pertanian.

“Kalau modelnya sudah adalah maka ini bisa direplikasikan ke tempat-tempat lain dengan ekosistem yang mirip.”

Pemilihan TN Babul sebagai ekosistem percontohan untuk karst, menurut Arif, karena TN Babul termasuk kawasan strategis nasional.

“Kita juga lihat aspek pada sifatnya ekosistemnya, sumber pendapatan masyarakat sekitar, tingkat tekanan tinggi dari luar, dampak perubahan iklim yang sudah terlihat serta ketersediaan data.”

Selain di TN Babul yang mewakili ekosistem karst, terdapat sembilan daerah lain yang menjadi wilayah kajian pilot TNC ini, ini dengan karakteristik yang beragam, seperti Tana Toraja untuk wilayah dataran tinggi, terumbu karang di Wakatobi, agroforestry di Bandung, peningkatan air laut dan pesisir di Pangandaran, pertanian di Indramayu, produksi madu di Sumbawa, penanganan Danau Singkarak, agropolitan di Malang dan intrusi air laut di Karawang.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,