Kondisi Orangutan di Eks PLG Kalteng: Hutan Terbakar, Dipindahkan Tak Ada Jaminan Tempat

Setelah kebakaran tahun 2015, Hutan Desa Kalawa, satu bentang hamparan hutan di atas kubah gambut seluas 16 ribu hektar di Kecamatan Kahayan Hilir, Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng, kondisinya amat memprihatinkan.  Tegakan pohon berukuran besar tak lagi terlihat, sementara sisa pohon yang terbakar banyak berserakan. Hitam, mati dan meranggas, tanpa ada lagi tutupan kanopi dedaunan di atasnya.

Area ini masuk dalam area Blok C, eks Proyek PLG (Pertanian Lahan Gambut) Sejuta Hektar tinggalan rezim Orde Baru yang gagal. Menurut citra satelit NOAA, sepanjang Juli-November 2015 tercatat 4.771 titik api di kawasan Blok C ini. Inilah yang membuat ribuan hektar kawasan tersebut terbakar hebat.

Pada pertengahan Juni lalu, Mongabay Indonesia berkunjung ke area ini. Kali ini untuk melihat dampak kebakaran hutan terhadap satwa liar, khususnya orangutan. Saat dikunjungi, kami jumpai banyak sarang orangutan baru maupun yang lama yang berada di sepanjang aliran kanal primer Blok C eks PLG. Kanal  yang sekaligus merupakan pemisah utama TN Sebangau dan area Hutan Desa Kalawa.

Saat dijumpai sarang ini jumlahnya puluhan. Namun, ada fenomena yang sama, sarang sudah tidak lagi berada di ketinggian pohon tinggi, namun hanya sekitar 2-5 meter saja dari muka tanah. Pohon yang dijadikan tempat bersarang pun, tidak lagi tertutup dengan dedaunan yang rimbun.

Tampaknya, tidak ada pilihan bagi orangutan di sini. Mereka terpaksa harus beradaptasi untuk dapat sekedar bertahan hidup.

“Orangutan terpaksa bersarang di dahan pohon yang rendah, karena pohon yang besar sudah habis terbakar tahun lalu,” jelas Odom, aktivis dan peneliti dari BOSF (Borneo Orangutan Survival Foundation).

“Orangutan biasanya bersarang di atas pohon dengan diketinggian di atas sepuluh bahkan 20 meter. Tapi karena habitatnya terlanjur rusak, mereka terpaksa bersarang dekat di atas tanah.”

Kala berjalan di sekitar kanal, kami menemukan beberapa sarang orangutan lain yang letaknya dekat muka tanah. Dalam kondisi normal, bersarang di atas tanah dengan ketinggian 1-2 meter, bukanlah pilihan lazim orangutan. Aneh dan sangat berbahaya, karena terlalu dekat dalam jangkauan pengganggu.

Odom sedang menunjukkan sarang orangutan yang ada di atas permukaan tanah. Hal ini tidak lazim dalam perilaku orangutan. Foto: Indra Nugraha
Odom sedang menunjukkan sarang orangutan yang ada di atas permukaan tanah. Hal ini tidak lazim dalam perilaku orangutan. Foto: Indra Nugraha

Jelang beberapa saat, tampak seekor orangutan jantan berusia sekitar 14-18 tahun terlihat berjalan di pinggir kanal. Saat bersua kami, orangutan itupun kaget, dia lalu mencoba berjalan tergesa di atas tanah dengan langkah yang tak lazim. Sejurus dia pun menaiki sebuah pohon yang hanya setinggi lima meter saja. Sebagai respon alami bentuk proteksi diri, dia lalu mematahkan ranting pohon yang terbilang minim di pohon tersebut.

Tentu, keberadaan orangutan jantan itu sangat mudah terlihat oleh orang-orang yang biasa lalu lalang di pinggir kanal. Situasi ini tentunya terbilang amat rawan bagi tindak perburuan.

“Ini anda bisa lihat sendiri. Bagaimana kalau ada orang jahat yang berniat berburu orangutan? Pakai jaring saja, pasti kena. Orangutan ini mudah sekali ditangkap,” ujar Odom.

Odom menjelaskan fenomena orangutan membuat sarang di pinggir kanal, adalah indikasi orangutan melarikan diri dari habitat alaminya, hutan yang telah terbakar. Selain mendekatkan diri pada pasokan sumber air, juga karena tidak ada lagi pepohonan untuk ditinggali. Di sini, orangutan pun hanya makan pucuk buah dan dan beberapa jenis daun dari perdu-perduan.

“Kondisinya amat memprihatinkan. Ketersediaan pakan di wilayah ini sangat rendah. Orangutan hanya mengandalkan pucuk buah kelakai dan perdu untuk bertahan hidup. Tak ada pohon buah atau sumber pakan lainnya,” jelas Odom.

Pengangkutan kayu dan hasil hutan lain yang melewati kanal Blok C. Foto: Indra Nugraha
Pengangkutan kayu dan hasil hutan lain yang melewati kanal Blok C. Foto: Indra Nugraha

Bertahan Hidup Sulit, Lokasi Translokasi pun Tidak Tersedia

Menurut Bernat Ripoll Capilla, co-director BNF (Borneo Nature Foundation) dalam wawancaranya dengan Mongabay Indonesia, di sekitar blok C eks PLG sebelum kebakaran terdapat sekitar 1.500 individu orangutan, sementara di lokasi hutan desa diperkirakan terdapat 232 individu orangutan.

Namun sejak kebakaran 2015, belum ada lagi survey komprehensif terbaru untuk menghitung populasi orangutan di wilayah tersebut. Padahal pasca kebakaran kini kawasan blok C yang tersisa hutannya hanyalah 40 persen, sementara tutupan pepohonan di hutan desa yang ada pun hanya tinggal tersisa sekitar 17 persen saja.

Menurut Capilla, orangutan tidak bisa dibiarkan terus-menerus dalam kondisi seperti ini, layaknya pengungsi. Alasannya orangutan membutuhkan protein untuk bertahan hidup, seperti rayap, daun, dan beragam jenis buah-buahan. Orangutan yang tinggal di blok C sendiri kondisi pasti kurus akibat kekurangan pakan.

“Dedaunan yang tersisa untuk pakan hanya ada kelakai, tapi sudah tak ada lagi hutan untuk mereka bisa tinggal hidup. Kondisi ini tentu tak cukup buat mereka,” jelas Capilla. “Mereka pun rentan terhadap perburuan dan konflik akibat perjumpaan dengan manusia.”

Monterado Friedman, humas BOSF Nyaru Menteng merespon apa yang diungkapkan Capilla. Dia setuju orangutan yang tinggal di pinggir kanal Blok C tidak dapat didiamkan begitu saja. Menurutnya, saat survey BOSF yang dilakukan 16-20 Februari 2016, pihaknya menjumpai langsung tujuh individu orangutan di lapangan.

“Per 1 km kita menemukan lebih dari tiga sarang. Artinya di wilayah itu padat populasi orangutannya,” jelas Friedman. Melihat kondisi seperti sekarang, dia menyarankan orangutan yang ada di wilayah itu untuk ditranslokasi ke hutan yang lebih aman.

Lahan hutan yang terbakar di Kalteng pada tahun 2006. Foto: OUTrop

Masalahnya apakah lokasi itu tersedia?

“TN Sebangau sudah padat, sudah lebih enam ribu orangutan. Sudah tidak mungkin orangutan dilepasliarkan lagi disana. Oke kita rescue, tapi lalu mau dipindah kemana?” paparnya Friedman beretoris. “Kalau masalah persoalan translokasi dan rescue orangutan yang terjebak kami sudah pengalaman. Total antara November 2015 sampai Januari 206, kami sudah rescue 79 individu orangutan di sepanjang sungai Mangktub sampai Bantekong.”

Untuk itu, Friedman mendesak agar pemerintah dapat langsung turun tangan terlibat dalam pencarian dan penyediaan habitat orangutan yang aman. Aman, baik dari kebakaran, maupun masih layak secara ketersediaan pakan. Demikian pula, lokasi ini harus jauh dari permukiman warga, sehingga kedepannya konflik orangutan dengan manusia dapat dihindari.

Menurutnya, kawasan hutan Desa Kalawa yang ada di sepanjang kanal Blok C sekarang sudah tidak layak lagi untuk  orangutan. Ditambah lagi kanal sekarang digunakan warga sebagai jalur transportasi dan pengangkutan berbagai hasil hutan seperti kayu, rotan dan yang lainnya. Seringnya frekuensi perjumpaan dengan manusia, tidak baik bagi satwa liar seperti orangutan.

“Kami sudah sampaikan persoalan ini kepada Pemkab Pulang Pisau. Orangutan di sepanjang aliran kanal Blok C harus ditranslokasi, tapi mereka bilang tak boleh dipindahkan. Harus tetap disitu. Saya juga tidak tahu apa alasannya. Kalau melihat kondisi sekarang, tak ada cara lain, orangutan harus dipindahkan. Kedepan akan lebih banyak lagi ancamannya di situ,” pungkas Friedman.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,