Gugatan tersebut telah didaftarkan Walhi Aceh bersama penasehat hukumnya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Banda Aceh, Kamis (28/7/2016), dengan nomor 25/G/2016 PTUN.BNA.
Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur mengatakan, Bupati Aceh Tamiang telah mengeluarkan Surat Keputusan Bupati Nomor 541 tahun 2016 tentang Izin Lingkungan kepada PT. TSA untuk industri pabrik semen. Luas areal pabrik dan penambangan seluas 2.549,2 hektare itu berada di Kampung Kaloy, Kecamatan Tamiang Hulu, Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh.
“Surat keputusan itu telah diumumkan di media massa, padahal pertambangan tersebut berada dalam KEL yang merupakan daerah lindung,” ungkap Muhammad Nur.
Izin tersebut bertentangan dengan beberapa aturan hukum. Sebut saja UU Nomor 11 tahun 2015 tentang Pemerintah Aceh yang menyebutkan, pengelolaan KEL harus dalam bentuk perlindungan, pengamanan, pelestarian, pemulihan fungsi kawasan dan pemanfaatan secara lestari. “Perusahaan semen ini juga beroperasi di kawasan karts seluas 8.037,29 hektare dan di sumber air utama masyarakat Aceh Tamiang.”
Izin lingkungan ini juga bertentangan dengan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No.1095 K/30/MEM/2014 tentang Penetapan Wilayah Pertambangan Pulau Sumatera, tanggal 26 Februari 2014 Jo SK Menteri ESDM No.1456 K/20 Mei/MEM/2000 tentang Pengelolaan Kawasan Karst.
Jika melihat aturan, pabrik semen memang tidak boleh beroperasi karena terletak di wilayah larangan pertambangan, di daerah karst kelas satu. Bupati Aceh Tamiang juga tidak mengindahkan PP Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRW), Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang merupakan kawasan strategis nasional.
“Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) perusahaan tersebut pun masih bermasalah dan belum diperbaiki. Banyak aturan yang dilanggar. Walhi Aceh memutuskan menggugat izin lingkungan tersebut, dengan harapan izinnya dicabut,” papar Muhammad Nur.
Kepala Divisi Advokasi Walhi Aceh Muhammad Nasir menambahkan, dampak lain dari pembangunan pabrik semen di Aceh Tamiang, bukan hanya persoal lingkungan dan rusaknya sumber air, tapi juga akan terjadi perebutan air antara pabrik semen, perusahaan sawit, dan masyarakat. “Bila dilihat dari kapasitas produksi, dipastikan PT. TSA membutuhkan air sebanyak 2.857,14 ton air per hari.”
Nasir mengatakan, Aceh Tamiang merupakan daerah rawan banjir. Bukan dalam arti kelebihan air, akan tetapi karena daerah aliran sungai dan resapan airnya rusak akibat eksploitasi dan ekspansi lahan untuk perkebunan sawit skala besar. Perkebunan berbentuk hak guna usaha (HGU) di Kecamatan Tamiang Hulu, Aceh Tamiang itu seluas 7.409,96 hektar, di bawah penguasaan enam perusahaan.
“Dengan sendirinya, perusahaan semen dan perusahaan kelapa sawit akan berebutan air di sumber yang sama, yaitu sungai yang bermuara ke kawasan karst di KEL.”
Air juga menjadi kebutuhan pokok bagi warga. Jumlah penduduk Kecamatan Tamiang Hulu sebanyak 18.197 jiwa. “Jika perusahaan semen berdiri, air bersih untuk masyarakat akan hilang, bukan hanya dikuras oleh perkebunan sawit, tapi juga pabrik semen,” ujar Nasir.
Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, Askhalani, yang selama ini memantau korupsi di bidang pertambangan mengatakan, izin lingkungan untuk usaha pertambangan di KEL tidak bisa dikeluarkan sendiri oleh bupati. “Bupati harus minta persetujuan Gubernur Aceh. Setelah disetujui, izin lingkungan boleh dikeluarkan.”
Pertemuan
Pada 14 April 2016, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya telah menggelar pertemuan dengan Wali Nanggroe Aceh Malik Mahmud Al Haytar dan Gubernur Aceh Zaini Abdullah. Dalam pertemuan tersebut, Menteri LHK mendiskusikan masalah-masalah kehutanan di Aceh, terutama dalam kaitannya dengan KEL dan Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRWA).
Siti Nurbaya mengatakan, dalam kaitannya dengan perubahan iklim, kawasan strategis seperti KEL perlu dikelola dengan memperhatikan berbagai perspektif, mulai dari lokal, nasional, regional, dan global.
“Sesuai arahan presiden tentang moratorium sawit dan tambang, harus dilakukan review izin usaha sawit dan pertambangan di KEL guna mempelajari daya lingkungan, perekonomian masyarakat, dan habitat satwa liar.”
Dalam periode review tersebut, sambung Siti Nurbaya, yang harus dilakukan adalah, penghentian sementara seluruh operasi pembukaan lahan oleh perusahaan-perusahaan sawit dan tambang yang berlokasi di Kawasan Ekosistem Leuser.