BRG Dorong Kubah Gambut Segera Jadi Zona Lindung

Presiden Joko Widodo kembali menginstruksikan Badan Restorasi Gambut segera beraksi memperbaiki ekosistem gambut pada rapat koordinasi, Jumat (12/8/16), bersama kementerian dan lembaga terkait.

Peta  indikatif BRG memperlihatkan, ada sekitar 2 jutaan  hektar lebih gambut dalam (kubah). Badan yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden ini mendorong agar lahan seluas itu  termasuk di dalam konsesi, segera menjadi kawasan lindung.

“Kita usulkan segera jadi kawasan lindung tetap,” kata Kepala BRG, Nazir Foead, di Jakarta, Senin (15/8/16).

Adapun luasan sekitar dua juta hektar ini, terdiri satu juta hektar lebih kubah gambut belum terbuka alias masih berhutan, sekitar satu juta hektar sudah dikelola alias ada penanaman.

“Peta gambut kita overlay ke izin-izin perkebunan, HPH dan HTI dan izin yang sudah definitif. Ada ratusan perusahaan di situ,” katanya.

Meski perusahaan mengantongi izin, BRG akan memastikan melalui payung hukum agar tak ada pembukaan lahan.

BRG juga akan mengkaji modifikasi perizinan dan mendorong moratorium sawit berlangsung permanen.

“Moratorium itu sementara, saya dorong jangan sementara tapi permanen.”

Modifikasi izin, katanya, tak mengurangi luasan pemegang konsesi, hanya ditetapkan sebagai kawasan lindung. Kala mendapatkan izin pengelolaan konsesi, perusahaan telah mendapatkan mandat mengklasifikasi zona bisa dimanfaatkan dan tidak.

“Hanya zonasi dalam izin diatur ulang, itu bagian mandat peraturan.”

Dia mencontohkan, perusahaan A sudah memiliki izin 15.000 hektar, ternyata 4.000 hektar gambut belum dibuka. “Kami ubah sistem izin hingga 4.000 hektar menjadi kawasan lindung, tetapi izin tetap 15.000 hektar.”

Bagaimana jika konsesi sudah ditanami?

Nazir mengatakan, akan memberikan kelonggaran satu daur penanaman untuk lahan konsesi yang sudah terlanjur ditanami. Hal ini sesuai peraturan Presiden soal investasi keterlanjuran.

Setelah selesai, tak boleh tanami lagi. “Saya optimistis perusahaan yang mengikuti peraturan konsisten tentang perlindungan gambut dalam bisa menerima dengan baik.”

Meskipun bisa satu kali  masa tanam, perusahaan wajib menjaga wilayah konsesi agar tak terbakar. Salah satu, menggunakan alat pendeteksi dini kebakaran hutan dan lahan.

Untuk itu, BR akan berdialog dengan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) dan perusahaan terkait.

Nazir menyebutkan, BRG bekerja sama dengan Universitas Kyoto dan Universitaas Hokaido, dan lembaga riset Research Institute for Human and Nature (RIHN) dari Jepang untuk pemantauan kondisi muka air gambut. Alat ini menggunakan teknologi sesami  atau alat pengukur sensor online. Alat ini mampu memantau kelembapan, suhu, dan naik turun muka air gambut.

Bersama BPPT, BRG akan berkolaborasi penggunaan maupun pemantauan. Data akan diteruskan kepada Kantor Presiden dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

”Kami telah menanam alat deteksi di 40 lahan gambut di tujuh provinsi,  seperti Jambi, Sumsel, Riau dan Kalteng.

Meski baru tahap percobaan, dia berencana memasang di semua lahan gambut di Indonesia setelah peta restorasi gambut selesai. Biaya yang digelontorkan sekitar Rp36 miliar bantuan Jepang.

Sumur bor

Sumur bor, salah satu langkah BRG mengoptimalisasi pembasahan gambut. Sebanyak 6.000 sumur akan dibangun di Kalimantan Tengah, Riau, Kalimantan Selatan dan Sumatera Selatan. Untuk 2016, akan dibangun sumur bor dengan fasilitas lengkap 4.000 unit.

Hingga kini, BRG baru membangun sumur 250 di Kalteng dan 50 di Riau.

”Sumur bor mampu mengatasi kebakaran cepat karena menggunakan sumber air. Terutama musim kemarau, air dri sumur bisa disedot membasahi lahan gambut,” katanya.

Pembuatan sumur bor,  memerlukan kedalaman hingga 20 meter dengan daya tampung 14.000 liter air, selang 30 meter dengan biaya pembuatan Rp2,5 juta per sumur.

Berbeda dengan unit pemadam kebakaran, sekali beroperasi hanya menampung air sekitar 5.000 liter air. Kelemahan, sumur bor tak mampu berpindah tempat dibandingkan unit damkar.

BRG pun mendorong perusahaan membuat sumut bor sebagai pencegahan. ”Daripada rugi. Biaya pencegahan hanya setengah dari kerugian kala kebakaran,” katanya.

Data dari presentasi BRG
Data dari presentasi BRG

 

Prioritas restorasi

Nazir mengatakan, ada empat prioritas restorasi disiapkan BRG. Pertama, prioritas restorasi pasca kebakaran 2015. Ia meliputi seluruh lahan bergambut yang terbakar 2015, berizin maupun tak berizin, berkubah atau tak berkubah. “Berkanal atau tak berkanal, kawasan budidaya atau lindung.”

Kedua,  prioritas restorasi kubah gambut berkanal (zona lindung). Ia kawasan bergambut dalam (kubah) yang berkanal meskipun pada 2015, tak terbakar tetapi pernah mengalami kebakaran.

Ketiga, restorasi kubah gambut tak berkanal (zona lindung). Restorasi ini di gambut dalam (kubah) berizin maupun tidak, Ia terdiri lahan gambut yang sudah masuk area moratorium, plus gambut berizin yang masih utuh.

Keempat, restorasi gambut  non kubah, berkanal. Restorasi ini, katanya , di gambut non kubah, sudah dimanfaatkan, terindikasi dengan kanal,  tetapi tak pernah terbakar. Hidrologi di kawasan ini, katanya, perlu pemantauan agar tak mudah terbakar.

“Dari keempat tipe restorasi ini, kami coba fair untuk, mempertimbangkan prioritas agar tak terjadi kebakaran.  Akan bagus sekali kalau restorasi fokus keempat hal itu,” ucap Nazir, pekan lalu dalam pertemuan di Kantor Staf Presiden.

 

Harus tegas

Sebelumnya,  dalam rapat bersama organisasi masyarakat sipil di Kantor Staf Presiden (KSP) muncul desakan BRG bertindak tegas. Kala, gambut dalam di konsesi, terlebih yang sudah dibuka, harus tegas masuk kawasan lindung, tak perlu bernegoisasi lagi.

Woro Supartinah, Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) mendesak BRG tak perlu ragu menjadikan lahan gambut dalam di konsesi perusahaan sebagai zona lindung.

“Buat jawab yang salah, jangan ragu-ragu.  Cabut izin.”

Nazir menjawab, perusahaan diberi waktu dua tahun buat melakukan restorasi. Kala dalam dua tahun restorasi tak jalan, baru pencabutan izin.

“Dua tahun terbakar, diambil alih, manajemen di bawah kendali pemerintah. Ketika dua tahun gagal, pemerintah akan cabut ziin di situ. Itu kita dorong konsisten, apalagi kalau alat sesame jalan,” katanya.

Tak jauh beda dikatakan Nordin, Direktur Save Our Borneo. Dia mengatakan, pemerintah harus bertindak tegas para perusahaan yang beroperasi di gambut dalam.

Namun, Nordin, menyadari, kondisi industri persawitan di negeri ini cukup rumit. Perusahaan-perusahaan ada yang bisa langgeng beroperasi walaupun tanpa izin jelas, bahkan ada yang tak berizin sekalipun .

“Sulit minta pertanggungjawaban restorasi kepada perusahaan yang legalitas saja meragukan. Bagaimana ya, mau minta restorasi sama mereka kalau memang tak berizin.”

Dia meyarankan, BRG meneliti lebih jauh perizinan sawit di daerah yang masuk wilayah restorasi, seperti di Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.

Perusahaan sawit tak berizin, harus ada hukuman tegas.

“Bagaimana caranya harus bertanggungjawab, dengan harus memulihkan lahan dan kasih hukuman lain, ganti rugilkah, pidanakan.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,