Degradasi Lahan Pertanian Ancam Swasembada Pangan Nasional

Swasembada pangan gencar digalakan sebagai upaya mewujudkan program nawacita pemerintahan Jokowi – JK, sebagai keinginan mengembalikan kedaulatan serta ketahanan pangan Indonesia. Tetapi persoalan degradasi dan penyusutan lahan produktif pertanian menjadi ganjalan nyata yang menghambat.

Padahal, Pemerintah telah menargetkan Indonesia dapat mencapai swasembada padi, jagung dan kedelai 2018 mendatang.  Kondisi tersebut tentu mengganggu produktivitas hasil pertanian dan dianggap sebagai  ancaman utama bagi target swasembada pangan nasional yang dicanangkan pemerintah.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian, Muhammad Syakir, mengatakan, Indonesia memiliki sekitar 191 juta hektar lahan hijau, yang 64 juta hektar di antaranya hanya untuk digunakan sebagai lahan pertanian. Dari luasan tersebut, ada 8,1 juta hektare yang secara eksis digunakan sektor pertanian.

“Berbicara pangan kedepan, maka berbicara masalah sumber daya lahan. Lahan di  Indonesia tidak semata – mata untuk mendorong swasembada pangan saja, tetapi juga andil besar untuk fungsi lain salah satunya berkontribusi penopang lingkungan,” ujarnya, pada Jumat (19/08/2016), di Universtas Padjajaran (Unpad), Jatinangor, Jabar.

Dia memaparkan, Indonesia harus mampu mengelola dengan baik sumber daya lahan untuk mengoptimalkan fungsi – fungsi pangan yang semakin komplek kedepan.

“Apakah bila 8,1 juta hektar tadi didorong secara optimal meningkatkan potensi genetik tanaman tentunya adalah tidak bisa. Maka, sumber daya lahan harus di optimalkan,” katanya.

Syakir mengungkapkan, rata – rata produksi padi nasional berkisar 5,5 ton/hektar, tapi kini pertanian nasional sudah bisa produksi 8 – 10 ton/hektar. “Kita tidak terbelakang di Asia soal pertanian. Produksi kita masih besar dibandingkan Thailand,” katanya.

Dikatakan dia, lahan pertanian 8,1 juta hektar tersebut tidak semuanya subur dengan sebagian lahannya belum optimal. Perlu ada intensifikasi untuk peningkatan produktifitas sesuai karakeristik pertanian di Indonesia

Seiring dengan meningkatnya daya konsumsi akibat peningkatan populasi manusia, pihaknya perlu menyeimbangkan aspek suplai kebutuhan pangan, dimulai dari hal yang mendasar yaitu memperluas lahan pertanian atau peningkatan produktifitas.

Berdasarkan data yang diperoleh, sumber daya lahan Indonesia terus menciut akibat konversi dan degradasi yang disebabkan oleh sistem pengelolaan tidak baik. Berdasarkan perkiraan sementara dengan mempertimbangkan laju konversi lahan, tahun 2045 akan diperlukan tambahan lahan sekitar 14,9 juta hektar, terdiri dari 4,9 juta hektar sawah, 8,7 juta hektar lahan kering, dan 1,2 juta hektar lahan rawa.

Plang bertulis "tidak dijual" ditancapkan di lahan pesawahan di Jalan Soekarno - Hatta Gede Bage, Kota Bandung, Sabtu, (13/08/2016). Sebagian kalangan menilai lahan pertanian perlu dipertahankan sebagai penyeimbang ekosistem ditengah konversi lahan untuk pembangunan. Foto : Donny Iqbal
Plang bertulis “tidak dijual” ditancapkan di lahan pesawahan di Jalan Soekarno – Hatta Gede Bage, Kota Bandung, Sabtu, (13/08/2016). Sebagian kalangan menilai lahan pertanian perlu dipertahankan sebagai penyeimbang ekosistem ditengah konversi lahan untuk pembangunan. Foto : Donny Iqbal

“Dengan kondisi demikian, maka ada tiga hal yang perlu dilakukan untuk merealisasikan swasembada pangan, yaitu intensifikasi di lahan pertanian eksisting, perluasan lahan, dan pengendalian konversi lahan pertanian, termasuk perbaikan pemupukan menuju pemupukan berimbang,” ujar Syakir.

Upaya Strategi Pemupukan Berimbang

Guru Besar Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan Unpad, Hidayat Salim, menilai penyusutan lahan pertanian bukan masalah apabila peningkatan produksi pertanian bisa ditingkatkan.

“Dulu tahun 1972, luas pengairan waduk Jati Luhur (Purwakarta) 270 ribu hektar dengan produksi panen 2 ton/hektar. Kini lahan irigasinya tersisa 114 ribu hektar dan rata – rata produksinya 6 – 7 ton/hektar di Jawa Barat,” ungkapnya di acara yang sama.

Dia memaparkan, tanah pertanian perlu kombinasi pemupukan berintetragasi untuk menjaga dan memulihkan unsur hara dalam tanah. Dia menyebutkan, pemupukan berimbang memiliki dua manfaat utama. Pertama, meningkatkan hasil pertanian dan yang kedua memperbaiki kesehatan tanah.

Hidayat mangatakan pupuk berimbang menjadi solusi terbaik, kombinasi antara pupuk organik dan pupuk anorganik secara terintegrasi dan berimbang akan saling mendukung terhadap kesehatan tanah, kualitas tanah, produktivitas tanah dan tanaman, secara berkelanjutan.

“Pupuk anorganik berfungsi sebagai nutrisi tanaman, pupuk organik sebagai pembenah tanah dan pupuk hayati sangat beguna sekali untuk dekomposer kerena mengandung mikroorganisme yang berfungsi sangat luar biasa,” imbuhnya.

Pupuk Berimbang

Direktur Petrokimia Gresik Rahmat Pribadi mengatakan, sejauh ini petani Indonesia masih menggunakan sebagian besar pupuk anorganik sebanyak 68% sebagai penyubur tanaman.

Dia mengungkapkan, saat ini sebagian pupuk non subsidi masih diimpor dari luar negeri untuk memenuhi pupuk. Dikatakan Rahmat, setiap tahunnya impor benih padi dan jagung terus mengalami peningkatan.

Hematnya, saat ini kondisi lahan pertanian di Indonesia rata-rata dalam ‘tidak sehat’. Pasalnya, kandungan karbon organiknya masih rendah. Padahal idealnya karbon organik mesti mencapai 5%, namun tingkatnya hanya 1,5%.

“Kalo tanah ‘sakit’ pasti berpengaruh pada produktifitas. Maka dari itu kami mengembangkan pupuk dengan kandungan 500 kg organik, 300 kg NPK, 200 kg urea, supaya pemupukan berimbang bisa berjalan dengan baik,” ucap Rahmat.

Untuk itu, dia menyarankan petani agar menggunakan pupuk organik. Terlebih, dengan penggunaan pupuk berimbang ini relatif menaikkan produksi hingga 15-20%. Kisarannya naik sekitar 1 hingga 1,5 ton/hektar. Dia menyebutkan, kontribusi biaya pupuk terhitung sebesar 15-30% dari total biaya produksi.

Peran

Pimpinan Komisi IV DPR RI Herman Khaeron, pada acara yang sama menegaskan untuk subsidi pupuk ini pemerintah menganggarkan biaya yang tidak sedikit. Dalam setahun APBN 2016 telah mengucurkan sebanyak Rp31 triliun. Dia menyebutkan selain penyerapan anggaran mensubsidi pupuk, pemerintah juga mengalokasikan dana untuk subsidi benih sebesar Rp1 triliun

Dikatakan Herman, pertanian Indonesia memiliki masalah yang cukup komplek. Maraknya alih fungsi kawasan bisa mencapai 100 – 120 ribu hektar setiap tahun. Dia menambahkan, Selain ingin menggenjok produktivitas, saat ini jumlah petani di Indonesia menurun, dari sebelumnya 31 juta, kini hanya tersisa sebanyak 26 juta petani.

“Pembangunan pertanian kita fokusnya masih terhadap intensifikasi pada angka produktivitas. Perlu menjangkau tahapan ekstensifikasi untuk pengembangan pertanian kedepan. Dan diversifikasi yang jika dilakukan agar memaksimalkan keuntungan lalu bisa memangkas ongkos produksi dan distribusi,” kata dia.

Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaeman (kanan) memanen padi menggunakan mesin combain harvester sebagai langkah memodernisasi pertanian dalam acara Gelar Teknologi Pertanian Modern bertema Modernisasi Pertanian untuk Swasembada Pangan, di Desa Gardu Mukti, Kecamatan Tambak Dahan, Kab. Subang Jawa Barat, pada Selasa (20/10/2015). Acara tersebut adakan untuk sosialisasi modernisasi pertanian guna mewujudkan swasembada pangan nasional. Foto : Donny Iqbal
Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaeman (kanan) memanen padi menggunakan mesin combain harvester sebagai langkah memodernisasi pertanian dalam acara Gelar Teknologi Pertanian Modern bertema Modernisasi Pertanian untuk Swasembada Pangan, di Desa Gardu Mukti, Kecamatan Tambak Dahan, Kab. Subang Jawa Barat, pada Selasa (20/10/2015). Acara tersebut adakan untuk sosialisasi modernisasi pertanian guna mewujudkan swasembada pangan nasional. Foto : Donny Iqbal

Herman mengungkapkan, seminggu lalu Food and Agriculture Organization (FAO) merilis data terbaru bahwa Indonesia mengalami ketahanan pangan meningkat dan peningkatan ketersedian pangan. “Tapi kalo kita tinjau dari ketersediaan pangan kita, justru menurut saya, lebih banyak didorong oleh impor,” jelasnya.

“DPR telah mengesahkan sejumlah undang-undang guna mendukung pertanian berkelanjutan dan konservasi tanah dan air di Indonesia. Namun hal ini harus menjadi usaha kolaboratif antara pemerintah, pelaku usaha, penyuluh pertanian, hingga petani, juga masyarakat,” ujar Herman.

Sementara itu, Rektor Unpad Tri Hanggono Achmad merespons positif diadakannya seminar nasional bertema pencapaian kedaulatan pangan ini. Dia menyebutkan, seminar ini merupakan wujud dari konsep pentahelix untuk mengatasi masalah yang berkembang saat ini dan untuk menghadapi tantangan ke depan.

“Seminar ini merupakan kolaborasi konsep Pentahelix. Kolaborasi antara akademisi, pelaku bisnis, komunitas, birokrasi, dan media untuk bersama – sama mewujudakan cita – cita bangsa yang berdaulat, khususnya pangan,” pungkasnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,