Hiu bisa berjalan? Hiu punya kaki? Mungkin pikiran-pikiran itu muncul kala mendengar nama satwa laut yang satu ini. Keunikan bentuk tubuh satwa inilah, hingga ia mendapat nama itu.
Ya, inilah hiu berjalan (walking shark) dengan nama latin Hemiscyllum halmahera, merupakan satwa laut endemik dari Maluku Utara.
Spesies ini salah satu kekayaan bawah laut dari negeri seribu pulau yang ditemukan Gerard. R. Allen, biologis asal Australia. Setelah penemuan itu, hiu berjalan, menjadi icon penting dan paling dicari para divers ketika menyelam di laut Ternate dan sekitar.
Hiu berjalan memesona dengan warna unik dan gerakan menawan. Seperti diklaim Allen, hiu family hemiscylliidae ini tak dapat ditemui di kawasan lain selain Malut. Meski tak asing bagi masyarakat Malut, namun ia baru booming ketika pertama kali terlihat Allen pada 2008 saat riset di laut Ternate.
Allen dan kolega, perlu lima tahun untuk menyatakan, hiu jenis bambu ini spesies baru, sebagaimana tertulis dalam Aqua International Journal Juli 2013.
Sebagaimana ditulis dalam jurnal itu, hiu ini disebut walking shark lantaran memiliki empat sirip mirip kaki di sisi tubuh. Keempat sirip ini membuat hiu seperti sedang berjalan saat berenang di dasar lautan.
Hiu ini hidup pada kedalaman dua sampai tiga-meter hingga puluhan meter di dalam laut. Ia juga memiliki pola warna dasar cenderung berbeda dari walking shark lain.
Dikutip dari artikel ilmiah tulisan biologis Gerald R. Allen, Mark V. Erdmann, dan Christine L. Dudgeon, bahwa Hemiscyllium halmahera, a new species of Bamboo Shark (Hemiscylliidae) from Indonesia.
Tulisan itu menyebutkan, tubuh Hemiscyllium halmahera berwarna dasar cokelat dengan sejumlah bintik gelap berbentuk poligon. Spesies ini tampilan mirip dengan Hemiscyllium galei dari Papua Barat, namun ada perbedaan pada pola bintik. Hemiscyllium galei memiliki tujuh bintik gelap berukuran besar pada sisi-sisi tubuh.
Hemiscyllium halmahera punyai sirip dada, panggul, dan punggung untuk ‘berjalan,’ Hiu ini mencari makanan ikan- ikan kecil dan invertebrata. Mereka biasa meletakkan telur- telur di langkan karang dan kerap ditemukan di karang-karang yang terisolasi. Mereka diketahui tak pernah menyeberangi lautan dalam.
Di mana bisa menjumpai hiu berjalan itu? Kala ke Malut, para wisatawan yang hobi menyelam tak perlu terlalu bersusah payah. Pada kedalaman dua sampai tiga meter di titik-titik selam di Kota Ternate, hiu ini sering muncul meski tak berkelompok.
“Kita kadang temui tiga, kadang satu. Kadang juga tidak ada. Ada yang ditemukan panjang satu meter bahkan di kedalaman 1,5 meter sampai 10 meter,” kata Adita Agoes, dive master Nasijaha Dive Center Ternate, di Ternate, pekan lalu.
Hiu ini, katanya sungguh memesona penikmat olahraga bawah laut ketika menyelam di sekitar Pulau Ternate.
“Walking shark biasa kami jumpai di titik selam 1,5 meter. Bahkan bisa ada di 15 meter. Kalau di Ternate di Taman Laut Ternate dari Pelabuhan Ahmad Yani hingga ke Dodoku Ali di Salero,”katanya.
Hiu berjalan endemik Malut, yang biasa dijumpai di periaran Ternate. Foto: dokumentasi Nasijaha Dive Centre
Masih banyak belum terungkap, jangan rusak laut
Adita, mengatakan, Allen pertama kali menjumpai walking shark di seputaran swering (Pantai Falajawa Ternate, red).
Keberadaan Hemiscyllium halmahera ini, katanya, menunjukkan kekayaan laut Malut, tinggi. “Jika walking shark termasuk ikan berukuran besar baru diklaim sebagai spesies baru, kemungkinan masih banyak ikan-ikan berukuran kecil belum teridentifikasi lantaran survei potensi biota laut Malut minim,” ujar dia.
Dia mengatakan, data kekayaan bawah laut Malut masih kurang. Masih sedikit, penelitian dilakukan.
Sejauh ini, survei biota laut baru di Halmahera Selatan, yakni Kepulauan Widi hingga Bacan dan Gura Ici pada 2005. Lalu Jailolo, Loloda, Morotai, Teluk Kao sampai Teluk Buli pada 2008. Kedua survei dilakukan Gerard Allen dan kolega, didukung Universitas Khairun dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
“Untuk Ternate, Tidore, Makian, Teluk Weda, dan Morotai Utara belum pernah ada survei.”
Dia menyarankaan, Hemiscyllium halmahera dapat menjadi pancingan bagi peneliti datang ke Ternate. Survei-survei ini, katanya, akan menghasilkan data valid yang menjadi landasan bagi organisasi masyarakat sipil lingkungan mengupayakan konservasi lingkungan.
“Jika lingkungan dan biota terjaga, animo wisatawan datang juga makin tinggi.”
Dia juga mengingatkan, agar pemerintah tak bisa seenaknya mengubah lingkungan, misal reklamasi massif.
Hiu berjalan bukan tanpa ancaman. Meskipun belum ada penelitian khusus dampak reklamasi dan aktivita lain terhadap hiu berjalan, tetapi hiu makin sulit ditemui.
“Sekarang, kalau turun diving malam hari beruntung kalau bertemu,” katanya.
Dia menduga, hiu berjalan makin sulit ditemui karena mulai banyak sampah di Taman Laut Ternate. Reklamasi yang getol dilakukan pemerintah Ternate beberapa tahun belakangan ini, katanya, juga ancaman bagi hiu berjalan.
Dengan reklamasi (penimbunan) laut, hiu yang kerap terlihat di antara karang sekitar laut Ternate kemungkinan tergusur.
Hiu berjalan. Foto: dokumentasi Nasijaha Dive Centre